SURABAYA | duta.co – Surat Edaran Menteri Agama No. 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla mendapat kritikan banyak pihak. “Tidak semua masalah harus kita atur dengan Surat Edaran (SE). Soal corong Masjid dan Masholla itu, setiap daerah tidak sama. Apa gunanya punya ribuan petugas penyuluh yang Negara bayar,” demikian salah seorang politisi kawakan di Jawa Timur terbaca duta.co,  di medsos nahdliyin, Kamis (24/2/22).

Yang lain menyoroti buah moderasi yang kelewat batas. Tidak paham kultur masyarakat setempat, dan bisa menepuk air di dulang. “SE itu akan berhadapan dengan masjid serta musholla (NU red.). Yang suka corong keras, itu kita. Sebelum salat subuh dimulai, setidaknya 1 jam speaker membangunkan jamaah. Di sini (Jawa Timur red) Anda bisa dengar syair ‘Tanpo Waton’ Gus Dur, surat ar-Rohman atau juz amma sebelum subuh 18.31 MB. Sudah begitu masih ada tarhim. Totalnya bisa lebih dari 1 jam,” demikian yang lain.

, Dr H Hidayat Nur Wahid (ft/hukumonline.com)

Wakil MPR RI sekaligus Anggota Komisi VIII DPR RI Dr H M Hidayat Nur Wahid, MA sangat mengapresiasi upaya hadirkan harmoni di antara Umat beragama. Tetapi ia mengkritisi Surat Edaran Menteri Agama No. 5 Tahun 2022 tentang Pengeras Suara Masjid dan Musalla yang tujuannya menghadirkan harmoni,  itu diberlakukan secara generalisasi, tidak mempertimbangkan kearifan lokal.

Dampaknya Surat Edaran tersebut justru dapat berbalik menciptakan keresahan, saling curiga dan disharmoni di kalangan masyarakat yang terhubung dengan Masjid dan Musholla, sebagaimana yang terjadi.

“Seharusnya, sebelum membuat Surat Edaran terbit, Menag terlebih dahulu membuat kajian yang obyektif dan komprehensif, serta berkomunikasi terlebih dengan para wakil Rakyat di Komisi VIII DPRRI, yang membidangi urusan agama. Karena mereka seperti saat reses sekarang ini, menyerap aspirasi konstituen dan warga, termasuk yang terkait dengan Masjid dan Musholla serta masalah harmoni antarummat beragama. Dan saya pun mendapatkan banyak aspirasi warga yang hampir semuanya menyayangkan dan tidak sependapat dengan Surat Edaran baru tersebut,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (23/2).

HNW sapaan akrabnya, mengatakan, bahwa sejatinya pengaturan mengenai penggunaan pengeras suara ini sudah ada sejak 1978, yakni melalui Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kep/D/101/1978. Kemudian dipertegas kembali keberlakuannya melalui Surat Edaran Dirjen Bimas Islam pada 2018.

“Ini sebenarnya bukan aturan yang baru, SE itu sudah ada sejak 44 tahun lalu. Namun, sayangnya, SE yang dikeluarkan oleh Menteri Agama saat ini berbeda secara mendasar karena generalisisasi pemberlakuannya di seluruh Indonesia, tanpa menyebutkan kembali soal kearifan lokal, serta obyektifitas membedakan Masjid dan Musholla di kawasan kota dan desa, di kawasan mayoritas Muslim atau minoritas Muslim,” tegasnya.

Tunjukkan Faktanya Ada Apa?

Ironisnya, tidak disebut adanya faktor krusial yang menjadi sebab serius mengapa SE itu dinaikkan kelasnya, dari SE Dirjen menjadi SE Menteri. Mestinya disebutkan fakta-fakta dalam rentang waktu 4 tahun dari tahun 2018 saat masih berbentuk Surat Edaran Dirjen Bimas Islam hingga tahun 2022 saat dinaikkan kelas menjadi Surat Edaran Menteri. Mestinya disebutkan ada masalah-masalah disharmoni apa? Sehingga SE tersebut perlu dinaikkan  kelasnya, dari SE Dirjen menjadi SE Menteri,” ujarnya.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini  menjelaskan bahwa Instruksi Dirjen Bimas Islam pada 1978 malah lebih baik, dan mestinya dalam rangka menghadirkan harmoni, justru Surat Edara Dirjen itu diperbaiki untuk diperkuat, karena berlaku obyektif dan adil, dengan mempertimbangkan aspek lokalitas, dan kebudayaan masyarakat setempat.

“Instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut, menyebutkan, bahwa ketentuan ketat terhadap penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla diberlakukan untuk kota besar, seperti ibukota negara, ibukota provinsi dan ibukota kabupaten/kota dimana penduduknya beraneka ragam, baik dari segi agama, jam kerja dan lain sebagainya,” urainya.

Namun, lanjutnya, Instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut juga mengecualikan pengaturan tersebut untuk masjid, langgar dan mushalla di desa/kampung, dengan tetap memperhatikan tanggapan dan reaksi masyarakat. Itu surat edaran yang bijak.

“Sayangnya, SE Menag yang baru ini tidak membuat pengecualian itu, malah diberlakukan secara general, dipukul rata untuk semua daerah di Indonesia, sekalipun juga tidak ada laporan adanya masalah serius  yang massif dengan terjadinya disharmoni akibat dari Pengeras suara dari Masjid atau Musholla,” ujarnya.

Justru Jadi Beban Takmir

HNW menjelaskan umumnya daerah-daerah di Sumatera seperti di Aceh, Sumatera Barat, Riau dll, juga Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, NTB, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku Utara, masyarakatnya sudah sangat harmoni dengan pengeras suara di Masjid dan Musholla.

Bahkan di Jakarta sekalipun, tegasnya, dalam reses ini, saya mendapatkan aspirasi dari banyak warga dan tokoh Masyarakat di Mampang, Kebayoran Lama dan Cempaka Putih, yang misalnya, mereka dengan tegas mengatakan bahwa selama ini tidak ada masalah dengan pengeras suara dari Masjid atau Musholla yang kumandangkan suara adzan, pengajian, tarhim dll-nya.

“Salah satu tokoh FKDM, Pak Warli,  malah menyampaikan bahwa Surat Edaran Menag itu justru bisa jadi beban di tengah warga sehingg bisa memicu terjadinya disharmoni. Karenanya beliau meminta agar SE Menag no 05/2022 itu dikaji ulang saja,” jelasnya.

Maka HNW khawatir, sebagaimana temuan di Jakarta seperti Cempaka Putih, Mampang, Kebayoran Lama dll, sikap yang men-generalisir seperti dalam Surat Edaran itu justru akan menimbulkan disharmoni di kalangan masyarakat, karena di daerah-daerah itu memang tidak ada masalah dengan penggunaan pengeras suara di masjid/musholla untuk kepentingan syiar agama Islam.

“Mereka yang sudah harmoni dan tidak ada masalah dengan pengeras suara, mestinya cukup diberi rambu-rambu umum soal pentingnya peran Masjid dan Musholla dan Pengeras suaranya dalam menjaga dan menguatkan harmoni dan kerukunan umat beragama,” tukasnya.

Problem Masjid bukan Speaker

HNW berpendapat seharusnya Menag juga fokus mengatasi persoalan yang ada di masjid dan masyarakat di lingkungan masjid. Karena pada periode 2018 saat SE masih di Dirjen, hingga 2022 saat SE naik kelas jadi tingkat Menteri, bukan soal Pengeras suara yang menjadi isu nasional, melainkan makin banyak kasus teror dan tindakan kriminal terhadap Masjid yang jadi korban vandalisme, Imam Masjid ada yang dianiaya sampai wafat (di Jateng dan Sulawesi), ada yang diserang sesudah mengimami salat Isya (di Pekanbaru), ada Ustadz seperti Syaikh Ali Jaber yang diserang saat lagi memberikan pengajian di dalam Masjid, ada kotak amal dicuri dari dalam Masjid, selain adanya Pengeras suara yang sudah tua yang bisa mengakibatkan suara tidak bagus, tapi belum bisa diganti karena keterbatasan kas keuangan Masjid.

“Dalam rangka menghadirkan harmoni masjid dan musholla dengan masyarakat sekitarnya terkait masalah-masalah yang menjadi isu nasional di atas, lebih tepat kalau Kemenag bukan hanya membuat SE (Surat Edaran), tapi membuat program bantuan langsung bagi Masjid dan Musholla untuk memasangkan CCTV dan insentif untuk bagian keamanan Masjid/Musholla, untuk meningkatkan keamanan bagi Imam, Muadzin, Ustadz maupun jamaah, juga adanya bantuan keuangan bagi Masjid/Musholla untuk memperbaiki atau membeli TOA yang bagus, sehingga bisa hadirkan suara yang menenteramkan, bagus dan tidak sumbang,” tuturnya.

Selain itu, HNW juga setuju dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berharap agar Surat Edaran itu tetap harus adil, memperhatikan maslahat masyarakat, tidak digeneralisir, dan proporsional agar pengaturan rumah ibadah hadirkan harmoni, sehingga tidak hanya menyasar kepada rumah Ibadah dari satu Agama saja seperti masjid atau musholla, tetapi juga terhadap rumah-ruman ibadah dari Agama yang lain.

“Pandangan MUI ini wajar, karena Menag sendiri sering menegaskan bahwa dirinya adalah Menteri Agama, bukan hanya Menteri Agama Islam, tapi Menteri untuk semua Agama yang diakui di Indonesia. Dan tentunya semua Agama, Umat beragama dan Rumah-Rumah Ibadahnya juga ingin menghadirkan harmoni dengan warga dan sesama. Dan Menteri Agama perlu membantu merealisirnya. Maka sewajarnya kalau SE Menag no 05 tahun 2022 itu direvisi dan dikoreksi, agar bisa berperan hadirkan harmoni untuk semua Agama dan rumah-rumah ibadatnya, dan tidak malah menjadi penyebab terjadinya disharmoni,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry