Dr Sholeh Basyari, Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS)

“Kemenangan, apalagi kekalahan pasangan AMIN, berpotensi menjadi alat pukul militer, nasionalis dan pebisnis terhadap kepentingan Islam. “

Oleh Dr M Sholeh Basyari*

KOALISI NasDem, PKB dan PKS — yang mengerek AMIN (Anies Basweda dan Muhaimin iskandar) —  mencoba tapil asyik. Ini tampak jelas dari wacana tentang tim pemenangan sekelas “kapten”. Bahkan slot itu kabarnya akan diisi perempuan (Najwa Shihab atau Khofifah).

Ini tampilan politik asyik dan menghibur. Setidaknya untuk “melupakan” memori publik tentang beban sejarah dua aliran ekstrem dalam politik Islam Indonesia.

Beban sejarah yang dimaksud adalah konflik dua kutub ekstrem Islam politik di masa orde lama (relasi Masyumi dan NU), serta pengusirin Gus Dur dari istana oleh konspirasi “Tentara-Islam modernis-kelompok nasionalis’ pada tahun 2001.

Pasangan AMIN ini sejatinya kaya dan kreatif menyusun, mengusung dan mem-framing banyak tema dan narasi kampanye. Tema dan narasi kampanyenya terasa “berkelas”, cair, mencerminkan bahasa milenial.

Harus diakui, tema dan narasi kampanye model ini lebih bisa menghunjam di khalayak, daripada tema dan tim kampanye yang dibangun Ganjar Pranowo ataupun Prabowo Subianto.

Tim pemenangan Ganjar misalnya,  tampil dengan dream teamnya. Dengan tampilan bertabur bintang, sejumlah mantan jenderal, pebisnis kelas satu serta ulama. Jelas, publik menjadi silau, segan dan seakan tidak membumi dengan sejumlah mantan jenderal, pengusaha, tokoh agama, yang menjadi tulang punggung tim pemenangan. Tim ini kurang cocok dengan psikopolitik generasi milenial.

Milenial juga kurang  happy dengan perfomen  Prabowo yang macho, heroik yang tampak sempurna. Milenial yang tidak mengalami peristiwa politik aliran, steril dari memori tentang komunisme, apalagi imperialisme, tampak enjoy dengan politik yang cerdas, riang, segar, dan bebas dari beban masa lalu.

Belum Siap Dipimpin Islam
Anies (kiri) dan Cak Imin (FT/Ridho)

Meski secara demografi, sumber daya, teknokrasi, lebih-lebih tema kampanye, pasangan AMIN unggul, tetapi stakeholder dan suprastruktur politik kita, belum bisa menerima.

Militer rasanya, belum bisa menerima kepemimpinan nasional dipegang kelompok Islam. Tidak beda dengan kaum nasionalis. Padahal masyarakat politik sadar, bahwa Indonesia ditopang oleh empat  kelompok berikut:  militer, nasionalis, tradisionalis dan modernis.

Penolakan  kaum nasionalis lebih didasarkan pada  trauma tentang Islam yang fundamentalis, radikal, bayangan tentang hukum potong tangan, cambuk dan rajam, akibat penerapan syariat Islam, seperti di Aceh kontemporer.

Demikian halnya dengan kalangan bisnis. Pebisnis secara umum kurang familier dengan sistem syariah, kepastian hukum terutama dari aturan ganda: hukum positif dan sistem syariah dunia bisnis. Bayangan kelam tentang Islam kian menjadi-jadi, bahkan gagal ditepis ketika PKS hadir.

Lebih-lebih terkait relasi Islam dan Militer di sejumlah negara Islam. Sejumlah kudeta militer di Mesir, Pakistan, Libya ataupun Bangladesh, bisa sebagai Paragon kepemimpinan Islam tidak populer.

Simalakama

Keberanian pasangan AMIN maju sebagai capres cawapres 2024, bisa mewujudkan simalakama bagi gerakan Islam Indonesia. Era Gus Dur, Amien Rais dan Akbar Tanjung saja, yang lebih kuat posisi tawarnya terhadap militer, nasionalis dan pebisnis, jatuh terbelah sebelum akhir periode. Apalagi pasangan AMIN yang hanya ditopang oleh HMI dan PMII. Tanpa PBNU dan PP Muhammadiyah.

Rendahnya posisi tawar pasangan  AMIN, tidak saja menjadi bulan-bulanan militer, nasionalis dan pebisnis, bahkan lembaga survey pun dengan tanpa dosa men-down grade seenaknya.

Rilis saiful Muzani hasil survei SMRC, yang menempatkan pasangan AMIN diurutan buncit dengan prosentase yang njomplang, adalah sebentuk “pelecehan” atas pasangan ini.

Kemenangan, apalagi kekalahan pasangan AMIN, berpotensi menjadi alat pukul militer, nasionalis dan pebisnis terhadap kepentingan Islam.

Jika menang, akibat hanya ditopang oleh faktor elektoral dalam Pilpres (faktor menang Pilpres saja) dan tanpa dukungan militer, nasionalis dan pebisnis, kemenangan tersebut bisa hanya sebatas di bilik suara, seperti yang terjadi dengan partai move forward-nya pita limjaroenrat di Thailand.

Sebaliknya, jika pasangan AMIN keok, petaka akan menyapu PKB dan PKS. Petaka ini tidak akan memberangus gerakan Islam Indonesia secara menyeluruh, Sebab PBNU jauh-jauh hari sudah menyatakan tidak ikut-ikutan urusan Pilpres. Sikap dan policy PBNU ini akan mendapatkan pembenaran faktual, beberapa waktu setelah Pilpres usai.(*)

*Dr M Sholeh Basyari adalah Direktur Ekskutuf CSIIS, Dosen Univ Nahdlatul Ulama (UNU), Jakarta.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry