BERADA DI SINGAPURA: Sjamsul Nursalim, pemegang saham BDNI yang punya tanggungan BLBI. (ist)

JAKARTA | duta.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim yang berada di Singapura sejak beberapa tahun lalu agar pulang ke Indonesia. BDNI memiliki kewajiban kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) namun Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham diberi Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh BPPN ketika itu.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, dalam proses penyidikan kasus ini, pihaknya akan memeriksa Sjamsul. Untuk itu, Basaria meminta Sjamsul kembali ke Indonesia untuk mempermudah proses penyidikan. “Mudah-mudahan beliau datang ke kantor KPK. Memberikan penjelasan dengan rinci,” katanya dalam jumpa pers di Kantor KPK di Jakarta, Selasa (25/4) kemarin.

Keterangan Sjamsul Nursalim ini dibutuhkan penyidik untuk melengkapi berkas Syafruddin. Hal ini lantaran Syafruddin diduga merugikan keuangan negara terkait SKL yang diterbitkannya kepada Sjamsul selaku obligor BLBI.

Dikonfirmasi terpisah, Maqdir Ismail, pengacara Sjamsul Nursalim mengakui kliennya masih berada di Singapura. “Beliau masih di Singapura,” kata Maqdir.

Maqdir mengaku pihaknya belum mengetahui langkah KPK yang menetapkan Syafruddin sebagai tersangka terkait SKL kliennya. Namun, Maqdir memastikan, pihaknya akan mengambil sikap terkait langkah KPK ini.

“Sampai sekarang secara resmi kita belum tahu adanya penetapan pak SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung) sebagai tersangka. Tentu akan ada sikap setelah jelas penetapan Pak SAT sebagai tersangka berkenaan dengan hal yang pasti. Released and Discharged sudah diberikan oleh pemerintah dan BPPN sejak MSAA ditandatangani. Jadi SKL itu adalah kelanjutan dari penyelesaian BLBI,” katanya.

BLBI adalah skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat krisis moneter 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Kejaksaan Agung saat itu, MA Rachman, menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) terhadap 10 tersangka kasus BLBI pada 2004. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan Rp 138,4 triliun dari Rp 147,7 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional dinyatakan merugikan keuangan negara. Penggunaan dana-dana tersebut kurang jelas.

Basaria Panjaitan menjelaskan, kasus tersebut berawal ketika Syafruddin menjabat ketua BPPN pada April 2002. Kemudian pada Mei 2002, Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) atas proses likuidasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

“Hasil restrukturisasi adalah Rp 1,1 triliun dinilai sustainable dan ditagihkan dan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan,” jelas Basaria.

Namun, lanjut Basaria, pada April 2004 Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL (surat keterangan lunas) terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang memiliki kewajiban kepada BPPN. “Padahal seharusnya waktu itu ada kewajiban Sjamsul yang saya sebutkan tadi,” kata Basaria. hud, bsc

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry