Keterangan foto detik.com

 Yang tersisa kini adalah tembok permusuhan dan kebencian dalam hati yang sulit dihilangkan. Perdamaian hanya menjadi kata-kata jika tidak didasarkan pada keadilan.” Pidato Anwar Sadat

Oleh Achmad Murtafi Haris*

BANYAK yang bertanya mengapa dunia Arab tidak turun tangan secara militer saat Gaza digempur oleh Israel dan nyawa warga sipil melayang lebih dari 10 ribu. Mengapa Mesir yang ada di selatan Palestina, Yordania di timur, Syria dan Libanon di utara tidak mengirimkan tentara demi membela saudara seagama dan sebangsa Arab dari pembantaian Israel.

Ada beberapa faktor di sini untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, faktor sejarah perang Arab dan Israel yang sudah terjadi sejak tahun 1948 dan faktor ideologis yang membuat mereka meski punya persaudaraan agama dan rumpun namun mereka tidak sampai turun gunung membela Palestina dengan mengorbankan nyawa.

Faktor sejarah berpengaruh terhadap keputusan terlibat dan tidaknya berdasarkan pengalaman yang lewat. Sedangkan faktor kedua, ideologis adalah yang membentuk semangat yang bisa mengalahkan pertimbangan rasional.

Dari sisi sejarah, negara-negara Arab telah berperang untuk mengagalkan berdirinya negara Israel pada 1948, 1967, 1973. Perang pada saat itu melibatkan banyak negara Arab terutama Mesir, Yordania, Syria, Palestina, dan Libanon Selatan. Mesir disebut pertama karena dia negara terbesar Arab yang wilayahnya beirisan dengan Gaza. Yordania disebut kedua karena wilayahnya beririsan dengan Tepi Barat Palestina. Syria disebut ketiga karena beririsan Dataran Tinggi Golan. Dan Palestina disebut keempat, karena dia asalnya bukanlah negara sendiri tapi bagian dari wilayah negara lain terutama Turki Ottoman, dan Libanon Selatan yang beririsan dengan Israel di bagian utara. Dengan demikian Israel dikepung oleh 5 negara Arab yang terlibat langsung dalam perang Arab-Israel. Selain mereka terdapat negara Arab lain yang terlibat seperti Saudi Arabia, Irak, Aljazair dengan tingkat partisipasi yang berbeda-beda untuk menyebut tidak signifikan. Semua negara Arab dan Muslim terlibat membantu Palestina. Minimal dengan mendukung berdirinya negara Palestina yang berdaulat yang diwujudkan melalui sebutan negara Palestina meskipun sebenarnya dia masih belum berdaulat penuh. Karenanya dia bukan anggota PBB tapi pengamat. 139 dari 193 negara telah mengakui berdirnya negara Palestina yang dideklarasikan oleh PLO pada 1988. Negara-negara Eropa, Amerika, dan Australia tidak mengakui sementara negara-negara Asia, Afrika, dan Rusia mengakui negara Palestina.

Pada perang Arab-Israel 1948 umat Arab bersatu: Kerajaan Yordania, Kerajaan Mesir, Kerajaan Irak, Syiria, Kerajaan Arab Saudi, dan Libanon. Juga unsur non negara dan sukarelawan seperti al-Ikhwan alMuslimun, dari Pakistan, Yaman dan Sudan. Koalisi Arab melawan milisi-milisi Israel yang negaranya baru dideklarasikan. Tidak lama kemudian milisi itu berubah menjadi Angkatan Bersenjata Israel. Israel dibantu senjata oleh Cekoslowakia, Uni Sovyet dan Amerika secara politik dan persenjataan. Perang berlansung dari Mei 1948 – Maret 1949. Koalisi Arab 70.000 tentara dan Israel 100.000 tentara. Dengan kekalahan di pihak Arab dengan korban nyawa 20.000 dan 6500 di pihak Israel.

Pada awalnya Mesir Mampu menguasai wilayah yang diduduki Israel hingga mendekati Tel-Aviv. Namun kemudian datang serangan balik dari pihak Israel dengan persenjataan canggih dan pesawat tempur yang membuat mereka berhasil memukul mundur koalisi Arab hingga kembali ke pangkalan masingmasing. Koalisi Arab gagal menguasai tanah pendudukan namun membiarkan Tepi Barat yang menjadi permukiman warga Palestina dikelolah oleh Yordania dan Gaza oleh Mesir. Sebab kekalahan adalah karena rendahnya keterampilan tentara Arab. Tentara Israel kebanyakan adalah mantan tentara Sekutu yang ikut perang dunia I dan II. Sementara tentara Arab tidak terlibat dalam perang dunia sehingga kurang pengalaman dalam berperang. Bantuan dari Amerika dan negara sekutu sangat berpengaruh dalam keberhasilan memukul mundur tentara Arab. Tuntutan untuk memiliki negara sendiri memicu semangat tentara Israel untuk berperang. Mereka yang trauma terhadap tragedi Holokaus yang dilakukan oleh rezim Nazi Jerman atas mereka membentuk kesadaran kuat untuk membangun kekuatan dan soliditas politik.

Setelah kekalahan perang 1948, muncul perlawanan dalam bentuk sergapan oleh kelompok-kelompok bersenjata dari pelbagai unsur Arab. Mereka yang terusir dari tanah Palestina tidak terima dan melakukan perlawanan melalui perbatasan Syria, Tepi Barat dan Gaza. Serangan atas kota Galilee di Israel oleh kelompok Fidaiyyin membuat Israel marah dan mengancam untuk menumpas pelakunya. Mendengar adanya rencana serangan atas Syria karena dianggap mensponsori sergapan-sergapan milisi, Mesir mengerahkan tentara di perbatasan Israel membela Syria. Selain Fidaiyyun, pesawat tempur MiG 21 sesekali menyerang perbatasan Israel yang berhasil ditembak jatuh oleh Israel. Untuk menghentikan gerakan tentara Israel yang akan menyerang Syria, Mesir mengadakan parade militer untuk menggertak Israel agar mengurungkan serangannya atas Syria. Jika tetap menyerang, maka Israel akan berhadapan dengan dua kekuatan sekaligus Syria dan Mesir.

Dalam kondisi yang memanas Mesir menutup kanal suez dari kapal-kapal Israel yang hendak menyeberang. Larangan itu dilakukan untuk menekan Israel agar memberikan hak kembali para pengungsi Palestina yang terusir pada perang 1948. Baik Mesir mau pun Israel tidak ingin dianggap yang memulai menyerang. Hingga akhirnya pada 5 Juni 1967 pesawat tempur Israel secara mengejutkan menggempur pangkalan pesawat tempur Mesir di Sinai dan di banyak tempat sebelum tentara Mesir siap membalasnya. Pesawat tempur Israel terus membombardir kekuatan udara Mesir dan kendaraan lapis baja yang dimiliki hingga kekuatan Mesir lumpuh total. Serangan mendadak Israel yang bertumpu pada kekuatan udara menjadi penentu kemenangan Israel dalam waktu 6 hari. Pemboman landasan pacu pesawat tempur Mesir oleh Israel membuat 420 pesawat tempur Mesir tidak bisa terbang dan dibombardir habis oleh pilot Israel. Akibat dari kekalahan itu 80℅ peralatan perang Mesir hancur. 388 pesawat tempur Mesir dihancurkan dan 100 pilot terbunuh berbanding 19 pesawat tempur Israel yang berhasil dijatuhkan oleh tentara Mesir. Kurang lebih 20.000 tentara Arab tewas berbanding 1000 tentara Israel yang tewas. Peralatan perang tentara Arab hancur 80℅ sementara Israel hanya 5℅.

Kekalahan Mesir pada perang 1967 adalah karena sergapan pesawat tempur Israel yang lebih canggih daripada pesawat tempur Mesir. Pesawat Israel bantuan Amerika sementara Mesir dari Uni Soviet. Keraguan Mesir untuk menyerang justru menjadi malapetaka. Banyaknya pesawat tempur yang parkir berjejer menjadi santapan lezat pesawat tempur Israel untuk dibombardir satu dapat tiga yang mengakibatkan ludesnya 80℅ milik Mesir dan yang tersisa tidak bisa terbang karena landasan pacu hancur semua. Senapan yang digunakan yang pemberian dari Uni Soviet juga sudah tua. Setidaknya demikian kata Husein Haikal jurnalis Mesir yang terkenal. Mesir terlalu yakin bahwa mereka tidak akan diserang namun ternyata sebaliknya.

Akibat dari kekalahan Arab yang dipimpin oleh Mesir, Mesir kehilangan Provinsi Sinai, Gaza dan Yordania kehilangan Tepi Barat, Syria kehilangan Dataran Tinggi Golan. Jerusalem Timur yang menjadi hak Palestina sesuai peta PBB juga jatuh ke tangan Israel.

Bagi Mesir kekalahan ini sungguh menyakitkan. Pesawat tempur Israel sering seenaknya terbang di atas wilayah Mesir sengaja untuk menyakiti hati rakyat Mesir. Israel tahu Mesir tidak mampu menjaga wilayah udaranya karena sudah hancur lebur angkatan udaranya. Kekalahan telak pada perang 1967 membuat Gamal Abdel Naser mengundurkan diri dari posisi presiden. Namun rakyat Mesir menolak. Mereka turun ke jalan mengharap Gamal tetap bertahan dan dia pun menuruti. Sakit hati yang mendalam membuat Gamal sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada 1971.

Wakilnya, Muhammad Anwar el-Sadat, mengganti posisi Presiden dan target utamanya adalah merebut provinsi Sinai yang dikuasai Israel. Dengan alutsista atau persenjataan yang sangat terbatas dia berfikir untuk menang. Untuk itu strategi perang menjadi satu-satunya andalan. Untuk diketahui bahwa setelah Sinai dikuasai oleh Israel, Israel membangun benteng Bar Lev yang sangat kokoh untuk menghalangi Mesir merebut Sinai.

Seperti halnya Israel yang menang karena serangan dadakan, Mesir melakukan hal yang sama. Pada saat yang telah ditentukan dan dengan penuh rahasia, Mesir bersama Syria menyerang Israel. Mesir dari selatan Israel merebut Sinai dan Syria dari utara merebut Dataran Tinggi Golan. Tentara Mesir berhasil menyeberangi Terusan Suez dengan penuh rahasia dan memasang jembatan terapung untuk tentara menyusup. Mereka terus maju hingga sampai ke benteng Bar Lev dan merebutnya. Tentara terus merangsek dan tentara Israel tidak mampu mengatasi gempuran Mesir dan memilih fokus menghadang Syria di utara. Mesir berhasil merebut Sinai yang terdapat gunung tempat nabi Musa berdialog dengan Allah dan menerima wahyu 10 perintah Tuhan.

Alhamdulillah, penulis sudah sampai di sana dan melihat tentara Israel menjaga perbatasan. Sementara Syria hingga kini masih belum berhasil merebut Golan dan tetap dalam status perang. Sementara Mesir dalam status damai dan tetap memperjuangkan Palestina merdeka karena memang dalam sejarahnya ia, apalagi Gaza, bagian dari Mesir saat dan sebelum Turki Utsmani Utsmani berkuasa.

Setelah berdamai dengan Israel, Anwar Sadat berkunjung ke Israel dan berpidato di hadapan majlis Keniset (DPR) dan sekaligus mengatasnamakan rakyat Palestina untuk memperjuangkan nasib mereka. Dalam pidatonya Sadat berkata:

Anda ingin tinggal di tanah ini, sekarang kami terima. Kita hidup berdampingan dengan ikhlas. Sebelum ini kami menolak keberadaan Anda di sini karena alasan tertentu. Israel adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak yang didukung oleh kekuatan besar dunia. Kita telah berperang selama seperempat abad dan tembok yg memisahkan kita itu telah runtuh di tahun 1973 (dengan kemenangan Mesir).”

“Yang tersisa kini adalah tembok permusuhan dan kebencian dalam hati yang sulit dihilangkan. Perdamaian hanya menjadi kata-kata jika tidak didasarkan pada keadilan. Perdamaian bagi Israel adalah hidup di pada batas wilayah yang ditentukan berdampingan dengan tentangganga Arab dengan aman dan damai. Israel masih menduduki tanah yang di luar batas dan hendaknya mundur dari tanah tersebut termasuk Yerusalem yang selamanya akan menjadi tanah aman dan terbuka bagi ketiga agama samawi. Jika dilakukan maka akan hidup aman bersama tetangganya Arab dengan jaminan dunia internasional. Daripada kita mengembangkan kebencian dan sentimen perang Salib lebih baik kita mengikuti semangat toleransi Umar b. Khattab dan Shalahuddin Al-Ayyubi.”

“Mundurnya Israel dari tanah yang didudukinya pada perang 1967 adalah perkara yang wajib tidak bisa ditawar jika ingin hidup damai berdampingan dengan Arab. Tentang Palestina sungguh merupakan masalah besar yang sangat mengganjal. Tidak ada yang memungkiri hak warga Palestina atas tanah yang dia tempati berabad-abad. Bahkan Amerika sebagai sukutu utama Anda mengakui hak warga Palestina atas tanahnya. Jika Israel merasa berhak menduduki tanah yang tidak dihuni warga Palestina, maka warga Palestina lebih berhak mendapat legalitas atas tanah yang telah ditempatinya. Tidak ada gunanya Israel menunda-nunda berdirinya negara Palestina. Kita telah lama berperang dan kita (Mesir) mengakui berdirinya negara Anda hingga pada akhirnya, saat ini, kita mengakui berdirinya negara Anda.”

Hendaknyalah Anda yang tidak mengakui berdirinya negara Palestina selama ini melakukan apa yang kami lakukan terhadap Anda. Anda harus berani melakukan ini sebagaimana saya berani melakukannya. Apalah artinya hidup senang di balik penderitaan orang lain. Kaum ekstrimis (Israel) pasti tidak setuju ini. Untuk itu Anda harus berani seperti saya memilih perdamaian dan mengakui berdirinya negara lain. Demi perdamaian yang menyeluruh dan adil akuilah berdirinya negara baru Palestina tanpa takut.” (lihathttps://youtu.be/CsQ0bikGkXg?si=qBzSaoe898Ma9RAz)

Pidato Sadat ini membuat parlemen Israel panas. Hal ini lantaran berisi paksaan agar Israel manarik diri dari tanah yang direbutnya pada 1967 dan menekan Israel agar mendukung berdirinya Palestina. Perhatian Mesir yang besar terhadap Palestina dan kepemimpinannya atas dunia Arab menjadi tuntutan bagi pejuang Palestina untuk “berkonsultasi” kepada Mesir dalam mewujudkan mimpi mereka. Dan tampak bahwa pada akhirnya pejuang Palestina di bawah Yasser Arafat menerima keputusan berdamai dengan Israel melakukan perundingan di Oslo. Upaya ini berhenti semenjak Hamas memenangkan pemilu Palestina. Hamas dalam perjuangannya lebih memilih berinduk ke Iran yang tidak pernah berperang melawan Israel secara langsung.

Kesamaan ideologi Hamas dan Iran adalah sama-sama mengusung ideologi Islam. Sementara Mesir adalah nasionalis. Pemimpin Hamas mengaku bahwa mereka adalah anak ideologis Iran dan pengikut al-Ikhwan al-Muslimun yang asal Mesir dan selalu berseteru dengan pemerintah Mesir dan sekarang dilarang. Faktor ideologis ini yang menjauhkan Hamas dari sesama negara Arab.

Seandainya Hamas berkonsultasi kepada pemimpin Mesir tentu Hamas diarahkan untuk menempuh perundingan dan tidak memilih perang yang banyak memangsa warga sipil. Faktor ideologis ini pula yang menjadikan perang terakhir hanya didukung oleh Hautsi Yaman dan Hizbullah Lebanon dan Iran yang tidak bisa berbuat banyak karena akses yang jauh.

Iran sempat mengirim senjata melewati Teluk Arab dan Laut Merah namun dicegat oleh Israel. Sempat terdengar bahwa serangan Hamas 7 Oktober kemarin tidak berkonsultasi dengan pemimpin Iran. Suatu hal yang membuat Iran tampak tidak total dalam terjun ke medan laga. Hizbullah Libanon pun demikian seperti induknya tidak total menyerang sesuai kata pemimpin Syiah Lebanon, Hasan Nashrullah, bahwa serangan akan dilakukan jika telah memiliki senjata pamungkas yang bisa membumihanguskan Israel sekali sikat. Pernyataan ini mengandung arti menunggu senjata nuklir Iran tuntas dibuat. Waallahu’alam. (*)

Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry