Nanang Fatchurochman (FT/kemenag.go.id)
“Selepas Gus Dur, setidaknya ada empat tokoh santri yang ikut ambil bagian dalam kontestasi politik nasional seperti Hamzah Haz, KH Salahuddin Wahid, KH Hasyim Muzadi dan teranyar KH Ma’ruf Amin.”
Oleh Nanang Fatchurochman*

TANGGAL 22 Oktober selalu menjadi istimewa bagi kalangan santri atau yang juga sering disebut sebagai “kaum sarungan”. Karena pada tanggal itu diperingati Hari Santri sejak ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 22 tahun 2015.

Perayaan Hari Santri tahun ini mengusung tema “Jihad Santri Jayakan Negeri”. Tema tersebut dilandasi spirit kaum santri agar senantiasa berjihad dan berkontribusi untuk negeri. Santri harus ambil peran pada garda terdepan dalam melawan ketidakpahaman, kebodohan, dan ketertinggalan.

Tema tersebut benar-benar mencerminkan manifestasi santri sebagai kaum terdidik dan tercerahkan yang mempunyai jasa besar dalam catatan sejarah Indonesia.

Dalam konteks kepemimpinan, di setiap zamannya, kalangan santri juga tidak pernah absen untuk berkontribusi dan terlibat dalam urusan-urusan kebangsaan dan kenegaraan.

Hal ini karena seorang santri juga dapat menjadi politisi, pegiat sosial, pegiat pendidikan ataupun negarawan yang mampu beradaptasi dan tahan di segala iklim.

Keberadaan kaum santri sempat terhimpit oleh superioritas figur dari kalangan militer ataupun dari kalangan teknokrat yang langganan mengitari jagat wacana kepemimpinan nasional sejak Orde Lama hingga Orde Baru.

Namun semua itu berubah ketika Indonesia memasuki masa reformasi.

Naiknya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden bukan saja menandai suatu era baru kehidupan demokrasi Indonesia ke arah yang lebih inklusif. Lebih dari itu, pelantikan Gus Dur sebagai Presiden RI menjadi tonggak penting bagi kalangan santri untuk unjuk kemampuan mengabdi pada negeri di level tertinggi.

Faktanya, selepas Gus Dur, setidaknya terdapat empat tokoh dari kalangan santri yang ikut ambil bagian dalam kontestasi politik nasional seperti Hamzah Haz, KH Salahuddin Wahid, KH. Hasyim Muzadi dan teranyar KH Ma’ruf Amin.

Sejak saat itu, secara perlahan popularitas figur dari kalangan santri mulai menanjak bahkan menjadi tren dalam wacana politik dan kepemimpinan nasional kontemporer. Anggapan terhadap kalangan santri yang semula dicap sebagai kelompok pinggiran pun kemudian berubah. Tidak mengherankan apabila dalam dua dekade terakhir, figur-figur dari kalangan santri tidak pernah absen dari deretan daftar calon pemimpin nasional.

Segmen Kredibel

Segmen santri tiba-tiba saja menjadi segmen yang potensial atau paling tidak menjadi segmen yang dianggap cukup memiliki kredibilitas untuk menjadi pemimpin nasional. Akibatnya tidak sedikit tokoh dari kalangan santri terang-terangan menampakan kepercayaan dirinya.

Meningkatnya kepercayaan diri kalangan santri adalah hal positif. Dan, tidak ada larangan bagi siapapun untuk mendeklarasikan dan menyematkan label kesantrian apapun gelarnya.

Tetapi kita jangan lupa bahwa santri bukanlah label dagang. Karena status kesantrian seseorang mempunyai sakralitas tersendiri. Karenanya hal itu menjadi semacam pembeda dengan tokoh dari kalangan militer ataupun dari kalangan sipil lainnya.

Kalau demikian, tentu tidak semua tokoh bisa dengan mudah mengklaim diri untuk maju dalam kontestasi politik nasional sebagai perwakilan dari kalangan santri. Hal ini karena kesantrian seseorang juga harus dicirikan dengan bebeberapa parameter penting.

Lima Parameter

Dalam pandangan penulis, terdapat setidaknya lima standar indikatif yang harus dimiliki oleh sosok pemimpin ideal dari kalangan santri. Pertama, memiliki visi dan kecakapan ilmu sebagai standar nilai terpenting yang menjadi ciri yang harus dimiliki tokoh dari kalangan santri.

Secara spesifik kecapakan visi seorang santri harus terlihat dari caranya dalam mengkonstruksi ide besar dari ilmu agama yang dikonfigurasikan dengan wawasan global. Karena bila seorang santri tersandera oleh tekstualitas ilmu agama, maka dirinya akan menghadapi persoalan yang mungkin belum pernah terpikirkan atau dipelajari sebelumnya.

Ini sebagaimana pernah diungkapkan oleh Prof. Abdul Munir Mulkhan dalam karyanya yang berjudul “Moral Politik Santri”. Ia menjelaskan bahwa problematika yang terus berkembang di tengah masyarakat modern bisa saja tidak ditemukan referensinya dalam kitab kuning. Meski demikian kalangan santri dianggap tetap memiliki keunggulan tersendiri dibanding tradisi kepemimpinan intelektual modern. Sebab, budaya kritis dan elitis yang melekat pada kelompok intelektual cenderung tidak akomodatif terhadap cara berfikir dan gaya hidup masyarakat akar rumput.

Sebaliknya, tradisi pesantren yang mengajarkan moralitas dan sikap egaliter memungkinkan tokoh dari kalangan santri untuk menjangkau dimensi lapisan terbawah masyarakat kita. Bila demikian, maka figur ideal dari kalangan santri adalah seseorang yang merepresentasikan moralitas, keluasan visi dan berkemampuan dalam mengharmonikan berbagai ranah ilmu sehingga mampu menjawab problematika yang terus berkembang.

Kedua, seorang figur dari kalangan santri harus memiliki integritas sebagai nilai intrinsik yang tertanam dalam benaknya, dan terlihat dari tindakan serta rekam jejaknya. Seseorang harus mempunyai rasa malu mengangkat identitas kesantriannya bila dalam rekam jejaknya pernah tersangkut perbuatan yang tercela atau bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut seorang santri.

Ajaran kebajikan sebagaimana yang digariskan agama harus telihat dalam ucapannya, sikapnya dan tindakannya. Kesemuanya itu harus diperlihatkan secara konsisten sebagai manifestasi adanya integritas yang kuat. Karena ciri seorang yang memiliki integritas ialah setiap ucapan dan tindakannya tidak akan pernah lepas dari ajaran moral dan agama.

Seorang figur dari kalangan santri yang memiliki integritas tentu tidak akan pernah berurusan dengan otoritas penegak hukum. Bahkan idealnya, terendus oleh penegak hukumpun tidak akan pernah dialaminya. Namun bila yang terjadi kebalikannya, maka siapapun yang mengaku sebagai figur yang mewakili kalangan santri wajib untuk ditinjau ulang.

Parameter ketiga yang mutlak dimiliki oleh seorang santri ialah peran fungsionalnya. Yakni, suatu peran dalam mensyiarkan nilai nilai keagamaan lewat berbagai ruang, baik ruang pendidikan, lembaga organisasi, dan agenda-agenda kebangsaan serta kenegaraan. Ia harus terlibat aktif membawakan nilai-nilai toleransi yang diajarkan agama yang sangat relevan dengan fakta heterogenitas Indonesia.

Parameter penting keempat ialah terkait dengan jejak kepemimpinannya. Hal ini terutama yang bekenaan dengan eksposur terhadap kepemimpinannya dalam lembaga organisasi masyarakat, partai politik maupun pada lembaga pemerintahan.

Umumnya publik menangkap parameter ini sebagai sesuatu yang dikaitkan dengan popularitas dan elektabilitas seseorang. Padahal pemaknaannya bisa lebih luas dari itu. Karena eksposur yang lekat dalam memori kolektif kita juga mengandung pemaknaan tentang sejauh mana keterlihatan seorang pemimpin ditengah komunitasnya.

Dengan lain perkataan bahwa seorang pemimpin dari kalangan santri seyogianya memperlihatkan diri dengan eksposur positif lewat visinya, jasanya, maupun karya-karya besarnya. Parameter ini penting untuk dilihat agar jangan sampai ruang wacana kesantrian kita diisi oleh figur yang dinodai eksposur negatif.

Sementara itu standar nilai penting kelima adalah ihwal kejelasan sanad keilmuan. Parameter ini hendaknya tidak hanya diletakan pada tujuan untuk melihat kejelasan identitas seseorang. Tapi penting dilihat sebagai upaya untuk melacak transmisi ilmu, nilai, dan karakter yang diwariskan. Baik oleh gurunya (kiai) maupun oleh leluhurnya. Santri yang mempunyai sanad disiplin ilmu yang jelas akan memiliki semacam koridor untuk menjaga marwah kiainya dengan penuh kesadaran. Dan bahkan lebih jauh ia akan termotivasi untuk menciptakan karya dan jasa yang lebih besar dari yang diwariskan di pesantren.

Warisan Moral

Kesemua parameter sebagaimana diulas tadi tentu bukanlah standar formal melainkan standar etik yang penting dimiliki santri dalam mengembangkan integritas, visi dan jiwa kepemimpinannya. Karena para tokoh pendahulu yang berasal dari pesantren adalah nama-nama yang mempunyai peran besar dalam catatan sejarah.

Peran historis yang ditorehkan kaum santri di masa lalu membuat banyak tokohnya menyemat gelar prestisius sebagai pahlawan nasional. Nama-nama besar seperti K.H Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Wahab Hasbullah, dan K.H. Idham Chalid adalah deretan figur dari kalangan santri yang kiprahnya sedemikian harum.

Keharuman peran sejak masa kolonial hingga di masa awal kemerdekaan Indonesia yang diperlihatkan kalangan santri terhadap negeri harus dilihat oleh para penerusnya sebagai warisan bernilai tinggi. Dengan lain perkataan, figur dari kalangan santri harus melihat warisan tersebut sebagai rujukan pengabdian dan kontekstualisasi semangat zaman.

Karena keberhasilan seorang santri tidak diukur dari capaiannya dalam menduduki amanah diberbagai bidang, baik di level lokal maupun level nasional. Melainkan sejauh mana ia mampu menunjukan bahwa seorang santri memang berkapasitas menjadi pemimpin yang memberikan dampak positif bagi masyarakat, bangsa serta negara.

Selamat Hari Santri!

*Nanang Fatchurochman adalah Kakanwil Kemenag Provinsi Banten

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry