Prof Rochmat Wahab (kiri) dan suasana demo Bupati di Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo. (FT/duta.co)

SURABAYA | duta.co – Prof Dr H Rochmat Wahab, MPd, MA, Ketua Tanfidziyah PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Periode 2011-2016, mengaku prihatin dengan kondisi politik mutakhir, di mana marwah politisi santri, semakin jeblok. Munculnya orasi ‘Gak Gus-Gusan, Gak Peduli Anak Kiai’ sebagaimana berita duta.co, harus jadi pelajaran bersama.

“Diksi orasi demo elemen anti korupsi di Kabupaten Sidoarjo, harus menjadi bahan introspeksi politisi santri. Rakyat sudah muak, bahkan jengkel dengan tingkah koruptif. Sehingga dugaan korupsi Bupati Sidoarjo, H Ahmad Muhdlor Ali (putra KH Agoes Ali Masyhuri red.) menjadi sasaran,” demikian Prof Dr H Rochmat Wahab kepada duta.co, Senin (6/5/24) malam.

Menurut Prof Rochmat, adalah sah-sah saja bagi santri mau pun kiai, berpolitik. Kanjeng Nabi Muhammad SAW juga berpolitik. “Tetapi, berpolitik itu tidak harus menjadi anggota dewan, tidak harus masuk Parpol, tidak harus menjadi pejabat seperti bupati, gubernur atau menteri bahkan presidan. Ingat pesan almaghfurlah KH Sahal Mahfudh (15 tahun sebagai Rais Am PBNU red), soal politik tingkat tinggi (high politics), ini sering kita abaikan,” tegasnya.

Masih menurut Prof Rochmat, strata Gus dan Kiai, hari-hari ini memang sangat seksi, dianggap sangat menguntungkan, terutama dalam kancah politik praktis. Gus dan Kiai mereka anggap sangat menguasai umat. Karena itu, menjadi sasaran empuk gerakan politik.

“Ada 2 kemungkinan. Pertama, kiai atau pesantren bisa memberi dukungan untuk meraih kesuksesan calon dalam Pemilu atau Pilkada. Umumnya dapat dimanfaatkan oleh salah satu Paslon. Bahkan, mungkin dua Paslon atau semua Paslon yang ada,” urainya.

Kedua, Kiai atau Pesantren bisa dimanfaatkan Parpol sebagai institusi politik praktis, baik itu kiainya atau anak kiai (Gus) untuk maju dalam Pilkada atau Pemilu. Sah-sah saja. Tetapi, peluang ini wajib dikelola dengan baik. Jika berhasil, nama baik kiai, gus atau pesantren menjadi baik. Sebaliknya, jika tidak amanah, risikonya sangat berat,” tambahnya.

Untuk itu, lanjut Prof Rochmat, tidak ada pilihan lain kecuali menentukan pilihan sesuai dengan kemampuan, termasuk dalam mempertanggungjawabkan. “Kiai atau Gus, atau pesantren secara institusi, harus bisa berembug dengan sebaik-baiknya, sehingga tetap bisa membawa nama baik, termasuk komunitas pesantren dan gus. Harus diakui, beban mereka lebih berat.”

Prof Rochmat juga tidak menampik, bahwa, berpolitik itu baik, sepanjang dilakukan secara moral, sebagai media dakwah, bukan semata-mata berkuasa. Karena itu, politisi santri harus berintegritas, jujur dan bersih. “Dalam Islam kita bisa mengambil contoh, Rasulullah berpolitik, meski pun tidak persis. Dalam NU – sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah – ada 9 pedoman berpolitik bagi warga NU,” katanya.

Salah satu isi dari 9 pedoman berpolitik itu, katanya, adalah akhlaqul karimah. Tidak boleh mengorbankan hajat orang banyak. Maka, bagi politisi santri jelas ‘haram’ hukum korupsi itu. “Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Inilah salah satu butir 9 pedoman berpolitik itu,” pungkas Prof Rochmat. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry