“Jika sikap oposisi PKS ini berjalan secara konstruktif dan konsisten, maka, opisisi PKS tidak hanya untuk menjaga nalar demokrasi yang sehat, tetapi secara politik dapat mendatangkan berkah politik bagi PKS itu sendiri.”

Oleh : Umar Sholahudin*

MESKI sempat terdera “badai politik”, dengan eksodusnya para petinggi partai : Anis Matta, dkk, yang kemudian mendirikan partau baru : Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), namun tidak terlalu berpengaruh pada tingkat elektabiltas Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Pada Pemilu 2019 lalu, PKS meraup suara 8,21%. Angka ini bahkan lebih tinggi dari pemilu 2014, yang meraap 6,79%. Pada Pemilu 2019, PKS adalah salah satu partai dengan tingkat pertumbuhan politiknya cukup signifikan, ini kalau melihat partai-partai lainnya.

Pada Pemilu Presiden 2019, PKS mengusung Prawobo-Sandi dan kalah. Pasca Pemilu 2019, PKS memutuskan sikap politiknya, OPOSISI.

Sikap oposisi ini penting, mengingat enam dari sembilan partai tidak terlibat atau bergabung dengan partai koalisi pemerintahan Jokowi-Makruf, termasuk partai Gerindra yang tokohnya, Prabowo, mau menjadi Menhan.

Jika kita melakukan kalkulasi, partai koalisi pemerintahan Jokowi mendapatkan suara mayoritas di Parlemen, yakni lebih 80 lebih%. Tepatnya menguasai 471 dari 575 kursi atau 81,91 persen suara di parlemen. Sementara oposisi hanya memiliki kekuatan sebesar 20 persen.

Dengan dukungan kekuatan parlemen yang super jumbo, maka pemerintahan Jokowi-Makruf akan sangat mudah membuat dan mengeksekusi kebijakan-kebijakannya. Sebaliknya bagi kekuataan oposisi, jelas, tidak akan berimbang dan efektif dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintahan.

Besarnya kekuatan koalisi dan minimnya kekuatan oposisi di parlemen akan berpotensi besar terhadap hadirnya pemerintahan otoritarianisme. Pemerintahan menjadi tanpa kontrol dan kritik. Dengan modal dukungan parlemen yang sangat besar tersebut, Jokowi-Makruf bisa saja membuat dan mengekskekusi kebijakan-kebijakan “semau gue”.

Inilah ketakutan kelompok pro demokrasi. Pemerintahan gaya “Orde Baru” akan lahir dengan wajah baru. Dampaknya lanjutannya, ini sangat berbahaya dan akan mengancam kehidupan demokrasi Indonesia.

Keniscayaan Demokrasi

Dalam demokrasi; oposisi adalah sebuah keniscayaan. Hadirnya kelompok dan kekuatan oposisi (baik di parlemen maupun di masyarakat) sangat kita butuhkan untuk menghindarkan bangsa ini kembali ke rezim otoriatarianisme.

Demokrasi, mesti butuh oposisi, sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol kebijakan dan jalannya pemerintahan. Kekuatan oposisi merupakan salah satu pilar demokrasi yang memilki peran sangat strategis, di samping sebagai kekuatan pengimbang dan pengontrol, juga memiliki peran dalam upaya memberdayakan dan mendidik secara politik potensi masyarakat.

Praktik depolitisasi dan deparpolisasi yang berlangsung selama 32 tahun oleh Orde Baru telah menjadikan rakyat tidak berdaya secara intelektual (baca: kritis) dan politik dan demokrasi tak bisa berkembang dengan baik dan sehat. Kekuatan rakyat hanya untuk mainan rezim yang sedang berkuasa untuk memproduksi dan mempertahankan kekuasaannya.

Ini yang kemudian memunculkan performance pemerintahan yang otoriter dan sentralistik. Sebaliknya pada saat yang sama terjadi pengkuburan demokrasi.

Kekuatan oposisi jangan sampai menyusut, karena jika menyusut, maka itu akan dapat mengubur demokrasi itu sendiri, memunculkan otoritarianimse baru. Karena, ketika negara tidak ada kekuatan kontrol (baca:oposisi), negara akan semakin kuat. Sejarah orde baru  kiranya bisa jadi pelajaran. Ketiadaan oposisi menjadikan negara menjadi kuat, kekuasaan semakin mengerucut pada satu orang atau sekelompok elit.

Sikap politik PKS (baca: oposisi), setidaknya bisa menyelamatkan bangsa ini, agar tidak jatuh pada jurang demokrasi yang lebih dalam. Dalam negara demokratis, secara fatsun politik, Parpol yang kalah dalam Pemilu, otomatis menjadi partai oposisi atau menjadi kekuatan kontrol dan penyeimbang atas Parpol penguasa.

Dalam konteks ini, langkah politik PKS sebagai langkah politik sangat elegan dan lebih bermartabat daripada berkoalisi.

Namun demikian,  oposisi PKS, secara kuantitas sangat lemah sehingga kurang efektif untuk mengontrol kekuasaan presiden dan jalannya pemerintahan lima tahun ke depan, khususya di palemen.

Namun bukan berarti tidak bisa optimal. Jika sikap oposisi PKS ini berjalan secara konstruktif dan konsisten, maka, opisisi PKS tidak hanya untuk menjaga nalar demokrasi yang sehat, tetapi secara politik dapat mendatangkan berkah politik bagi PKS itu sendiri. Salah satunya adalah insentif elektoral.

Insentif Elektoral

Sikap politik oposisi PKS selama ini, setidaknya telah membuahkan hasilnya, yakni tingkat elektabilitasnya mengalami pertumbuhan signifikan. Sejak 2020 lalu, beberapa lembaga survei seperti  LSI, Voxpol, Charta Politca, dan Litbang Kompas, secara berkala me-release elektablitas partai-partai.

PDI-P masih menjadi partai nomor wahid. Dari berbagai survei tersebut, PKS berada pada posisi lima besar. Sebut saja misalnya, survei Litbang Kompas februari 2021 lalu, menempatkan PKS (5,4%) urutan ke empat di bawah PKB (5,5%), Voxpol menyebut 7,6%, LSI menyebut 8,15, dan Charta Politica menyebut Juli 2020 : 8,1%, dan 2021 triwulan I : 8,2%).

Dari data-data tersebut, para pollters, menyebut PKS merupakan satu-satunya partai yang memiliki grafik elektabilitas yang meningkat, ini kalau kita bandingkan dengan partai lainnya.

Selama ini, publik menilai PKS cukup konsistensi dalam menyuarakan sikap oposisinya. Hal ini terlihat dari sikap kritisnya terhadap isu-isu aktual dan kontroversial, di antaranya RUU KPK, RUU KUHP, RUU Cipta Kerja, Perppu Covid-19, dan beberapa kebijakan pemerintah lainnya yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat.

Namun demikian, insentif elektoral PKS ini tidak hanya berkah dari sikap politik oposisinya, melainkan juga karena soliditas internal organsasi dan sepak di masyarakat. Perubahan logo partai yang lebih fressh, dan jargon baru yang lebih membumi; “Bersama Melayani Rakyat”, semakin menguatkan elektabilitas partai.

Publik juga menilai PKS partai yang cukup konsisten menjaga citra partai yang simpatik dan santun. Masyarakat tertarik bukan karena nilai figuritas partai, namun lebih karena faktor konsistensi dan kolektivitas partai dalam membangun citra diri dengan slogan “Bersama Melayani Rakyat”.  Ini bukan hanya basa-basi politik saja. PKS telah melakukan berbagai kegiatan peduli sosial, baik pada saat Pemilu maupun di luar Pemilu. (*)

*Umar Sholahudin adalah Dosen Sosiologi Politik FISIP Univ. Wijaya Kusuma Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry