“Tapi, lebih dari itu, muktamar berjalan di luar aturan jam’iyah, di luar akhlak dan tradisi serta nilai dasar yang, selama ini, dibangun dengan susah payah oleh para pendiri NU.”

Oleh: Choirul Anam*

SKENARIO 2: Pemaksaan dan Kecurangan dalam Muktamar Jombang. Belum dan tidak
pernah terjadi muktamar NU dan hajatan besar lainnya, diwarnai kebrutalan, kekerasan, kecurangan dan juga politik uang. Kecuali pada dua muktamar terakhir. Yaitu Muktamar NU ke 32 di Makasar (2010), dan Muktamar NU ke 33 di Alun-Alun Jombang (2015). Dan secara kebetulan, kedua muktamar kotor itu mengantarkan Kiai SAS terpilih sebagai Ketua Umum PBNU.

Muktamar Makasar diselimuti money poltics para politisi, sekaligus melunturkan radisi suksesi melalui bai’at kiai. Sedangkan muktamar Jombang lebih parah lagi. Bukan cuma pemaksaan gaya preman, tipuan dan manipulasi peserta, serta kecurangan saja yang mereka pertontonkan.

Tapi lebih dari itu, muktamar berjalan di luar aturan jam’iyah, di luar akhlak dan tradisi serta nilai dasar yang, selama ini, dibangun dengan susah payah oleh para pendiri NU.

Wajar, jika kemudian muncul teriakan keras dari nahdliyin, mempertanyakan: Apakah semua itu terkait dengan tampilnya Kiai SAS sebagai Ketum PBNU? Lalu bagaimana model relasi kaum liberal dan politisi dengan para kiai selama ini? Seimbang, atau justru politisi mengendalikan kiai? Kenapa para kiai terdiam ketika melihat penyimpangan aturan dan nilai-nilai dasar organisasi? Apa memang tidak mengetahui, atau terkendali politisi? Wallahua’lam.

Faktanya, kini banyak kiai NU yang nurut saja diminta politisi untuk tampil menjadi jubir partai. Muktamar Jombang, bisa menjadi saksi runtuhnya wibawa kiai dan naiknya pamor politisi dalam NU.

Cobalah tengok! Muktamar digelar di Alun-Alun terbuka, dan registrasi peserta dipusatkan di GOR dekat Undar (Universitas Darul Ulum). Sedangkan beberapa pesantren hanya dijadikan transit peserta. Aneh tapi nyata bro!

Pantauan lapangan menunjukkan sedari awal akan terjadi kekacauan. Pendaftaran peserta misalnya, karena baru dibuka Jum’at sore (31 Juli 2015), maka peserta dari luar Jawa yang sejak Rabu siang (29 Juli 2015) sudah berdatangan ke Jombang, terpaksa (sebagian besar) transit dulu ke Pondok Pesantreng Tebuireng. Dan sebagian kecil lannya diarahkan panitia ke Pesantren Denanyar, Tambakberas dan Rejoso.

Di Tebuireng, peserta disambut hangat KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) bersama pengurus pondok dan para santri. Mereka merasa at home seperti berada di lingkungan keluarga sendiri. Sempat berziarah ke maqbarah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Gus Dur dan sejumlah tokoh pendahulu lainnya. Juga mengadakan istghotsah dan berdiskusi tentang nasib NU ke depan.

Sedangkan jadwal pelaksanaan muktamar, antara lain, dapat dituturkan berikut ini. Sabtu pagi (1 Agustus 2015), peserta yang menginap di Tebuireng berangkat menuju tempat pendaftaran yang dipusatkan di GOR Jombang. Begitu tiba di tempat, mereka terkejut karena suasana GOR berbeda jauh dengan Tebuireng yang sejuk, bersahabat dan penuh canda-tawa. Udara GOR terasa panas dan panitia tidak bersahabat. Aturan pendaftaran sering pula berubah, ditambah lagi sikap keamanan (mungkin preman berpakaian Banser) yang arogan.

Sikon inilah yang mengubah suasana batin peserta menjadi tidak nyaman. Tanda-tanda kekacauan dan kebrutalan panitia mulai dirasakan. Pos pendaftaran tidak dipersiapkan secara maksimal dan profesional. Pendaftaran peserta amburadul, berjubel, ruwet dan terjadi antrean panjang. Ini terlihat jelas dari pengaturan loket pelayanan dan petugas pendaftaran yang tidak memadai dengan jumlah pendaftar.

Atribut peserta seperti ID Card, muktamar kit dan lainnya, belum juga tertata rapi dalam sebuah tas. Jumlah perangkat komputer tidak sebanding dengan banyaknya peserta yang up date data. Server pun sering ngadat terganggu instalasi asal-asalan.

Sementara suhu udara GOR semakin tinggi, dan mesin pendingin tak mampu lagi menyejukkan. Akibatnya, pendaftar kian gerah dan lelah, karena proses pendaftaran berjalan seperti keong.Untuk penyelesaian seorang peserta saja misalnya, dengan ditandai mendapat ID card dan muktamar kit lainnya, rata-rata membutuhkan waktu lima jam. Bisa dibayangkan betapa ruwetnya cara kerja panitia. Sudah begitu, masih juga diwarnai tengkar mulut antara peserta dan pantia. Wow apa sebab bro?

Sebabnya, karena panitia mewajibkan pendaftar mengisi formulir sembilan nama calon anggota Ahwa terlebih dulu. Baru setelah itu boleh mendaftar. Bagi yang mau mengisi diberikan ID Card resmi dan muktamar kit lainnya, sebagai peserta muktamar. Tapi bagi yang tidak mau mengisi, mereka dikasih ID Card tidak resmi sebagai peserta. Di sinilah awal keributan itu terjadi.

Peserta protes keras dan menuding panitia diskriminatif. Wajar, karena Tatib pemilihan Rais Aam belum dibahas, dan muktamar pun belum resmi dibuka, tapi peserta diwajibkan mengisi sembilan (9) nama dari 39 (tiga puluh sembilan) nama kiai yang telah ditetapkan PBNU.

Kalaulah harus mengisi 9 nama, kenapa mesti dibatasi (diambil) dari 39 nama yang telah ditetapkan. Apa dasar, pasal, aturan dan ketentuan mana yang dipakai PBNU menetapkan 39 nama kiai calon anggota Ahwa.

Puncaknya, sejumlah peserta bergerak masuk ruang panitia guna mendapatkan penjelasan. Tapi karena pagar betis Banser menghadang, maka terjadi saling dorong. Arogansi Banser sempat melayangkan bogem mentah mengena seorang Rais Syuriyah dari PWNU luar Jawa. Pengawalnya tidak terima, dan langsung berusaha membalas. Keributan baku-hantam memalukan dan memilukan tak terelakkan.

Untung saja, Katib Aam KH. Malik Madani, segera turun tangan mengambil mic dan berseru: ”Panitia jangan main paksa. Bagi pendaftar yang mau mengisi nama calon Ahwa silakan dilayani, tapi bagi yang tidak bersedia mengisi, jangan pula dipaksa-paksa.” Mendengar seruan Kiai Malik, keributan langsung kembali tenang dan peserta merasa lega.

Namun suasana tenang itu tidak bertahan lama. Kepala pantia pendaftaran, Yahya Staquf, tiba-tiba muncul dan menuding Kiai Malik melanggar kesepakatan. “Mestinya Pak Malik musyawarah dulu dengan panitia, tidak boleh mengambil keputusan sendiri,”tandas Yahya yang menganggap Kiai Malik merusak skenario.

“Loh saya justru melerai agar tidak terjadi keributan. Coba, kalau tadi saya tidak datang, pasti terjadi keributan dan baku hantam semakin seru,”kata Kiai Malik menjawab teguran Yahya.

Tengkar mulut dua tokok PBNU itu, langsung mengundang wartawan membentuk kerumunan. Mungkin takut masuk koran, sejumlah personil Banser langsung mendorong Kiai Malik masuk mobil untuk dihadapkan kepada Ketum PBNU—Kiai SAS. Sedangkan Yahya, masuk ruang pendaftaran dan memberi instruksi untuk tetap mengharuskan pengisian 9 nama calon anggota Ahwa.

Dalam suasana kacau, campur aduk resah, jengkel, lelah itu, akhirnya peserta mengalah. Meski dalam keterpaksaan, mereka lalu mengisi 9 nama anggota Ahwa dengan harapan pendaftaran agar segera rampung.

Namun, kenyataannya, sampai dengan pukul 20.00 wib—ketika Presiden Joko Widodo tiba di Alun-Alun untuk membuka muktamar—masih terjadi antrean panjang. Akhirnya panitia mengubah aturan lagi, seluruh peserta diserukan mengikuti acara pembukaan dulu (meski tanpa ID Card) supaya terlhat penuh. Pendaftaran akan dibuka lagi setelah acara pembukaan.

Para pengamat dan wartawan ikut berhamburan menuju Alun-Alun tempat pembukaan Muktamar. Namun berita di berbagai media yang muncul, ternyata, malah keributan dan pertengkaran dua tokoh PBNU saat pendaftaran peserta. Wartawan lebih tertarik membandingkan dengan suasana Muktamar Muhammadiyah yang bersamaan waktu. Sehingga banyak headline berita koran berjudul:”Muktamar NU Gaduh, Muktamar Muhammadiyah Teduh”.

Kegaduhan itu baru intro atau warming up dalam lagu, film atau olah raga. Belum memasuki inti cerita. Belum menyentuh agenda utama seperti misalnya: Pleno pembahasan Tatib (Tata-Tertib). Pembacaan LPJ (laporan pertanggung jawaban) PBNU yang disertai PU (pandangan umum) peserta apa bisa diterima atau ditolak. Pembahasan program kerja dan pembuatan rekomendasi. Pembahasan dan penetapan AD/ART. Pembahasan Ahwa (mungkin bukan pembahasan, tapi pemaksaan karena sudah dimulai saat pendaftaran), dan pemilihan Ketua Umum PBNU yang baru (bersambung).

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry