Panji Gumilang (FT/mediaindonesia.com)

“Panji Gumilang melakukan diskresi pada sesuatu yang bersifat baku. Dalam perkara ubudiyah seperti Kurban dan haji, tata caranya telah baku dan tidak ada diskresi di sana.”

Oleh Achmad Murtafi Haris*

PONPES al-Zaitun menjadi sorotan nasional. Panji Gumilang sang pengasuh pesantren, menjadi bulan-bulanan media dan ormas yang turun ke jalan untuk berdemonstrasi menuntut pembubaran pesantren.

TvOne membuat diskusi khusus berjudul “Menguji Kesaktian Al-Zaitun”. Judul yang mengisyaratkan kuatnya lembaga itu dalam berhadapan dengan tekanan publik.

Munculnya pelbagai pandangan miring atas al-Zaitun, tidak lepas dari kemegahan

pesantren itu secara fisik yang mengundang tanda tanya seputar bagaimana dan dari mana itu semua. Tentunya bukan semata iri orang mempertanyakannya. Tapi karena saking “wah”-nya sehingga tanda tanya besar bermunculan.

Kemegahan al-Zaitun memang luar biasa. Ia dibangun dengan infra struktur istimewa seperti jaringan listrik yang tertanam bawah tanah tanpa tiang dan kabel yang bergelantungan di atas jalan. Mirip yang ada di negara maju.

Al-Zaytun berdiri di atas 1200 hektar seluas kebun sawit milik pengusaha nasional. Jangankan seluas itu, cukup memiliki 10 hektar saja, sebuah pondok pesantren sudah hebat. Pondok Modern Gontor Ponorogo yang merupakan pesantren modern rujukan dan terbaik dengan 12 cabang pesantren putra dan dan 8 cabang pesantren putri, total luas kemungkinan tidak sampai segitu. Bagaimana pula Panji asal Gresik bisa membuat pesantren seluas itu.

Kemegahan fisik al-Zaytun tidak ayal memunculkan dugaan eksploitasi Panji Gumilang terhadap pengikutnya demi membangun pesantren. Pengamat menganalogikan Al-Zaytun dengan kapal mewah Titanic yang di balik kemewahan yang tampak, terdapat banyak peluh dan nyawa manusia yang dikorbankan. Di dasar kapal mewah itu, terdapat banyak orang yang bekerja mati-matian demi mewujudkan kemewahan di atas kapal. Mereka bekerja berdampingan dengan api untuk menggerakkan mesin Titanic demi kemewahan yang dijual oleh pemilik kapal kepada pelanggan.

Laporan masyarakat menunjukkan bahwa di balik kemegahan Al-Zaytun terdapat ribuan pengikut yang mangumpulkan dana dengan cara apa pun demi kemegahannya.

Unsur eksploitasi inilah yang menjadikan yang terpendam kemudian menjadi delik hukum yang menyeret Panji ke proses hukum. Semangat pengorbanan pengikut Panji Gumilang demi berkibarnya panji Islam berujung kekecewaan pengikut yang belakangan angkat suara.

Saking semangatnya memperjuangkan kejayaan Islam, Panji mengabaikan koridor yang selama ini telah menjadi konsensus ulama. Obyek garapan Panji adalah pesantren bukan bisnis duniawi yang mengutamakan kreatifitas.

Pesantren adalah pusat pendidikan penyebar nilai agama. Materi agama jika ditelaah, lebih bersifat pakem kehidupan. Dalam agama banyak praktek ritual yang tata caranya sudah ditetapkan sedari awal dan akan terus begitu sampai kapan pun. Kewajiban salat 5 waktu tidak bisa dikurangi atau ditambah selamanya. Tata caranya juga demikian. Salat jamaah wajib rapat. Karena ada wabah Covid, ulama berijtihad yang hasilnya memperbolehkan renggang untuk menghindari penularan virus. Setelah wabah berhenti, maka kembali ke asal, saf rapat. Tidak dipertahankan karena nyaman dengan yang selama ini, renggang.

Panji Gumilang melakukan diskresi pada sesuatu yang bersifat baku. Dalam perkara ubudiyah seperti Kurban dan haji, tata caranya telah baku dan tidak ada diskresi di sana.

Dalam diskursus hukum Islam, terdapat sesuatu yang tetap (al-thawabit) dan yang berubah (al-mutaghayyirat). Ada yang merupakan ketetapan dari Rasul (tawqifi) dan ada yang berkembang yang diputuskan oleh ulama (ijtihadi). Dan ada ibadah ritual (ibadah mahdah) dan ibadah sosial (ghairu mahdah). Perkara yang berada wilayah pertama, secara hukum bersifat pakem. Sedang yang di kedua bersifat dinamis. Panji memperlakukan yang pertama seperti yang kedua. Inilah masalahnya.

Secara sederhana, perkara yang tidak bisa dirubah (thawabit) adalah perkara yang telah ada petunjuk nas tentangnya secara pasti (qat’i) dan termasuk perkara pokok (usul). Seperti perkara-perkara dalam rukun Islam, iman, ihsan, pernikahan, transaksi, pidana, tata sosial, dan lain-lain yang tedapat teks pasti.

Sementara yang berubah, adalah perkara yang didasarkan pada teks yang berbeda tafsir tentangnya dan bukan termasuk perkara induk. Untuk ini, berlaku tradisi masyarakat, baik positif maupun negatif.

Panji Gumilang melakukan offside pada ranah awal: thawabit, tawqifi dan mahdah. Ustadz Abdussomad (UAS) berkomentar, kalau tidak dalam ilmu agamanya, jangan mengurusi perkara agama.

Artinya bahwa yang tidak banyak bergaul dengan kitab kuning, jangan berpendapat dalam perkara yang berkaitan dengan hukum Islam. Lakukan sesuai ahlinya. Panji ahli bangunan biar mengurus bangunan saja (pen.)

Panji Gumilang mengaku bermazhab Soekarno dan memang menurut penulis demikian adanya. Soekarno dalam Di Bawah Bendera Revolusi, buku yang terkumpul di dalamnya tulisan-tulisan Soekarno semasa perjuangan kemerdekaan, dia menyebut dalam artikel “Masyarakat Kapal Udara” (1940), bahwa ajaran Islam bersifat dinamis tidak jumud. Zaman dahulu najis terkena liur anjjng dibasuh dengan air 7 kali salah satunya dicampur tanah. Kata Soekarno, itu karena zaman dahulu belum ada diterjen sabun pencuci kotoran. Sekarang dengan adanya sabun, maka bisa diganti dengan diterjen sebagai pengganti tanah atau debu.

Sebuah pendapat yang oleh mayoritas ulama tidak bisa diterima. M. Natsir, pemimpin Masyumi menolak pandangan itu dan mengatakan bahwa ada aspek ibadah dalam penggunaan tanah yang tidak bisa diganti dengan sabun. Perkara najis telah menjadi bahasan fikih yang berdasarkan pada nas yang qat’i dan tidak bisa diubah begitu saja secara akal.

Menyederhanakan mengubahnya tanpa konsisten mempertahankan yang umum difahami ulama dari sebuah teks, inilah yang menjadi masalah dalam pola fikir Panji Gumilang. Yaitu menolak consensus atau ijmak ulama dan mendahulukan perubahan bedasarkan tafsir pribadi. Sesuatu yang tidak sejalan dengan paradigma agama yang berbasis teks suci. (*)

*Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry