“Kalaupun Tuhan sudah terlanjur menciptakan Palestina sebagai negara perang, maka ayo ‘rayu’ dan ‘lobby’ Tuhan kita untuk merevisi blueprint takdir Palestina, agar menjadi negara yang rukun, damai, dan sejahtera seperti Indonesia.”

Oleh Dr H Syarif Thayib, SAg MSi.

BANYAK berseliweran di WhatsApp Group pada Handphone penulis ajakan untuk Demo “Save Palestina” atau “Free Palestina”. Kemudian seperti biasa dalam flyer gambar mau pun keterangan tulisannya tersebut ada seruan untuk berdonasi membantu Palestina.

Mulai sekarang, penulis serukan, Stop BAPER Palestina..!! Mengapa?

Rebutan Warisan

Perang di Palestina bukanlah perang agama Islam melawan Yahudi dan seterusnya. Penulis lebih percaya apa yang disampaikan oleh Gus Muwafiq, bahwa yang terjadi disana adalah perang antarsaudara tunggal kakek moyang yang sedang memperebutkan “tanah warisan” bernama Palestina.

Kita (jelas) mengutuk kekerasan. Anak-anak yang tidak bersalah, ikut menderita lahir-batin. Tetapi, ini semua akibat dari para pihak yang berebut tanah warisan. Mereka yang berebut sejatinya ada tiga. Umat Yahudi, umat Nasrani, dan umat Islam. Ketiga agama mereka itu sama-sama disebut sebagai agama Samawi, karena punya Tuhan, ada Nabinya, juga kitab sucinya.

Ketiga umat itu berasal dari Bapak moyang yang sama, yaitu Nabi Ibrahim. Dari istri Sayyidati Hajar Nabi Ibrahim memiliki putra Ismail, hingga bersambung pada keturunan dan atau umat baginda Muhammad SAW. Sedangkan dari istri Sarah lahir seorang putra bernama Ishak yang kemudian berlanjut hingga berketurunan Bani Israil (umatnya Nabi Musa) dan bersambung sampai umat Nasrani (pengikutnya Nabi Isa).

Sebagai saudara tua, Umat Yahudi tentu merasa paling berhak atas wilayah Palestina. Mereka tidak akan mengalah begitu saja untuk meninggalkan Palestina, apalagi disana ada “Tembok Ratapan” yang sangat sakral sebagai tempat berdoa paling agung, sebagaimana Ka’bah bagi umat Islam.

Saudara tua kedua adalah umat Nasrani yang juga merasa berhak memiliki Palestina sebagai kota sucinya, karena Isa Almasih atau oleh mereka disebut tuhan Yesus Kristus dilahirkan oleh Bunda Maryam di Bethlehem, Palestina.

Sedangkan saudara bungsunya, yaitu umat Islam juga merasa paling berhak atas Palestina, karena agama Yahudi dan Nasrani yang asli telah melebur dalam Islam dengan kitab sucinya yang disempurnakan Tuhan bernama Alquran, ditambah Masjidil Aqsa yang di Palestina itu adalah kiblat shalat pertama umat Islam.

Karena umat Yahudi dan Nasrani yang selama ini berkembang dan hidup di Palestina merasa “saudara tua” maka mereka menolak klaim Islam bahwa semua agama Samawi (Yahudi – Nasrani) bermetamorfosis dalam Islam.

Islam Move On

Perang “saudara” (warga Palestina dan Bani Israel) itu sudah berlangsung lama. Maklum, yang diperebutkan mereka adalah tempat suci untuk bisa menghubungkannya dengan Sang Maha Kuasa. Maka Rasulullah SAW sering bersedih — dalam shalat — yang ketika itu masih menghadap Masjidil Aqsa Palestina.

Kesedihan Rasulullah SAW semakin menjadi-jadi ketika orangorang tercinta yang selalu mendukung dakwahnya wafat, yaitu istri (sayyidati Khadijah) dan paman beliau Abu Thalib. Kemudian Allah SWT menghiburnya dalam perjalanan agung bernama Isra’ Mi’raj.

Pada saat itulah turun perintah shalat, disusul beberapa saat kemudian perintah untuk kembali menghadap kiblat aslinya, yaitu Masjidil Haram. Hal ini tertuang dalam QS. Albaqarah ayat 144:

“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.”

Penulis merasa bahwa ayat ini adalah ajakan untuk Move On. Umat Islam tidak boleh hanyut dalam kesedihan. Tidak larut terbawa perasaan atas apa yang terjadi pada kota suci Palestina yang memiliki Masjidil Aqsa. Bahwa kita berharap Palestina merdeka, itu jelas. Tetapi, ini tidak terkait dengan salah satu agama.

Waspadai Penumpang Gelap

Jika perang Palestina adalah perang agama, atau murni perang antarpenjajah dan negara merdeka yang terjajah, pastilah seluruh negara-negara dunia akan mengutuknya dan menghabisi sang penjajah. Faktanya yang terjadi tidak semua negara sepakat akan hal itu. Saudi Arabia yang jelas-jelas negara Islam pun nyaris tidak pernah tegas menentang agresi militer Israel ke Palestina.

Ormas terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah lebih memilih jalur diplomasi politik kelas tinggi (high politic). Keduanya tidak mengambil jalur pengerahan massa atau demonstrasi turun ke jalan dan seterusnya. NU, Muhammadiyah dan Ormas moderat lainnya tetap mengirim bantuan kemanusiaan pada Palestina. Mereka memberi kepercayaan yang setinggi tingginya kepada pemerintah untuk mengirim pasukan perdamaian, tenaga medis, dan lain-lain ke Palestina.

Demonstrasi dengan pengerahan massa besar-besaran rentan ditunggangi oleh kepentingan (politik) tertentu. Lihat saja faktanya. Di setiap kerumunan massa pasti ada orasi. Dan yang memanfaatkan panggung-panggung gratis disana kali ini adalah Bacapres, Bacagub, Bacaleg atau calon peserta Pemilu 2024 lainnya.

Belum lagi upaya penggalangan dana dilakukan oleh lembaga-lembaga filantropi yang tidak jelas legalitasnya. Penulis pernah menanyakan hal itu kepada si-pengirim flyer atau gambar untuk penggalangan dana for “Free Palestina” atau “Save Palestina” dan seterusnya.

Ternyata Nomor rekening atas nama yayasan-yayasan disana kebanyakan illegal, tidak memiliki izin sebagai lembaga yang boleh menggalang dana sosial dan lain-lain, baik yang dikeluarkan oleh BAZNAS, Kemenag RI, maupun instansi terkait.

Hal itu bakal mudah sekali dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dan bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, kelompok, maupun organisasi terlarang yang sudah dibubarkan oleh pemerintah.

Skandal ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang banyak diendorse oleh ustadz-ustadz “selebritis” beberapa waktu lalu hendaknya menjadi pelajaran bahwa kita harus cerdas menyalurkan donasi kita kepada lembaga legal dan akuntabel, seperti BAZNAS (badan amil zakat nasional) milik pemerintah, atau melalui lembaga amil zakat terpercaya lainnya, seperti LAZ (lembaga amil zakat) NU dan LAZ Muhammadiyah.

Doa Mengubah Takdir Perang

Cara cerdas sebagai umat untuk membantu Palestina adalah mendoakannya. Bacakan serutin mungkin Qunut Najilah pada shalat Rawatib, gelar Istighasah, Dzikir bersama dan lain-lain.

Kalaupun Tuhan sudah terlanjur menciptakan Palestina sebagai negara perang, maka ayo ‘rayu’ dan ‘lobby’ Tuhan kita untuk merevisi blueprint takdir Palestina menjadi negara yang rukun, damai, dan sejahtera seperti Indonesia.

Dalam Alquran Surat Ar-Ra’d ayat 39 ditegaskan: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah mengubah suatu takdir melainkan doa” (HR. AL Hakim, Hasan). Wallahu a’lam.

Jadi kalau muncul resolusi jihad yang konon digelorakan oleh sekelompok ulama dunia, menurut hemat penulis terlalu berlebihan. Permasalahan Palestina dengan Indonesia di era penjajahan dahulu sangat berbeda. Penjajah datang ke Indonesia murni karena misi 3G, yaitu Gold (memburu kekayaan), Glory (meraih kejayaan), juga Gospel (menyebarkan agama).

Berbeda dengan Israel yang enggan meninggalkan Palestina karena murni merasa dirinya sebagai saudara tua, sudah disitu jauh sebelum Islam lahir, sehingga merasa lebih berhak menguasai dan mengatur tanah suci itu.

Perang semakin berkepanjangan karena masing-masing pihak merasa paling benar dan lebih berhak atas Palestina, ditambah “organisasi” yang paling berpengaruh di Palestina adalah Hamas yang memiliki pasukan berani mati paling banyak.

Sayap ini seperti mengusung prinsip pokoke harus menang perang, tidak terbesit sama sekali di benak dan hati mereka untuk hidup damai berdampingan sesama umat manusia (Ukhuwah Basyariyah) seperti di Indonesia yang mengusung semboyan Bhineka Tunggal Ika; memiliki agama, suku, budaya, dan lain-lain tetapi tetap satu bangsa Indonesia. Wallahu a’lam.(*)

Dr H Syarif Thayib, SAg MSi. adalah Dosen UINSA, Pemerhati Palestina.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry