JAKARTA | duta.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus celah korupsi dalam program pupuk bersubsidi di tingkat perencanaan, penentuan harga pokok penjualan hingga penyaluran komoditas tersebut sepanjang 2014-2016. Hal itu terungkap Laporan Hasil Kajian Kebijakan Subsidi di Bidang Pertanian yang terbit pada awal Maret.

KPK menemukan kerawanan korupsi di program subsidi di antaranya adalah perencanaan alokasi pupuk dan benih bersubsidi, mekanisme penetapan Harga Pokok Penjualan (HPP) dan pengawasan yang tak maksimal.

Kajian itu menyatakan mekanisme penetapan HPP dapat membuka celah transaksional. Selama ini, HPP terbagi menjadi dua yakni HPP awal oleh Kementerian Pertanian dan HPP yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Mekanisme penetapan HPP komoditas pupuk bersubsidi membuka celah korupsi dan mendorong inefesiensi di tingkat produsen,” demikian kajian KPK yang dikutip Duta.co, Selasa (21/3/2017).

KPK menyatakan peluang transaksional kental muncul saat proses penilaian riil HPP, terutama saat menentukan komponen biaya produksi yang layak masuk sebagai penyusun HPP.  Celah korupsi, kata kajian itu, semakin terbuka karena aturan yang digunakan dalam mengevaluasi komponen HPP pupuk bersubsidi relatif umum dan multitafsir.

Kajian itu juga membeberkan perbandingan HPP antara pemerintah dengan BPK. Salah satu contoh adalah perusahaan milik negara yang berada di bawah kendali PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC).

Perusahaan itu mengendalikan PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). HPP awal Pusri Palembang untuk pupuk area sepanjang 2013-2015, misalnya, memiliki harga yang berbeda per tonnya dengan HPP hasil audit. Ini terdiri dari Rp2,60 juta/ton (HPP awal) dengan Rp3,48 juta/ton (HPP audit); Rp2,79 juta/ton (HPP awal) dengan Rp4,27 juta/ton (HPP audit); serta Rp4,18 juta/ton (HPP awal) dengan Rp4,93 juta/ton (HPP audit).

Selain itu, KPK juga menemukan gap antara perencanaan dengan anggaran yang dialokasikan sehingga menimbulkan pelbagai masalah turunan. Hal itu juga menimbulkan isu kelangkaan pupuk bersubsidi.

Salah satunya adalah nilai pupuk usulan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) Kementerian Pertanian yang berbeda di tingkat usulan dan alokasi. Dalam kajian itu disebutkan hal itu terjadi sepanjang 2014-2016 yakni Rp36,06 triliun (usulan) dengan Rp21,04 triliun (alokasi); Rp43,75 triliun (usulan) dengan Rp35,70 triliun (alokasi); dan Rp63,07 triliun (usulan) dengan Rp30,06 triliun (alokasi). net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry