“Ujian Nasional masih perlu dilaksanakan agar gambaran riil pendidikan di Indonesia dapat diketahui, meski pun diakui perlu diperbaiki pelaksanaannya sehingga UN benar-benar dapat mencapai tujuannya.“

Oleh: M Aminudin*

MEREBAKNYA virus corona seolah jadi momentum pemerintahan Jokowi untuk mempercepat mengubur Ujan Nasional (UN). Menjelang akhir Maret 2020,  Presiden Jokowi resmi membatalkan rencana Ujuan Nasional 2020.

Dalam penjelasan  Mendikbud Nadiem Makarim, alasan nomor satu pembatalan UN adalah ‘keamanan dan kesehatan siswa kita, keamanan keluarga mereka, dan kakek-nenek siswa tersebut’.

Alasan pemerintah menghapus UN 2020 adalah wabah Corona. Tetapi ingat,  jauh sebelumnya, Mendikbud Nadiem sudah bersuara minor terhadap praktek Ujuan Nasional yang sebenarnya sudah berjalan sejak tahun 2002.

Khusus ajaran 2020 – di tengah ancaman pandemi virus corona –Nadiem memberikan pilihan; sekolah bisa mengambil beberapa opsi sebagai sistem penilaian pengganti Ujian Nasional.

Apalagi, kata Nadiem, UN kini sudah tak lagi menjadi syarat kelulusan. Opsi pertama, penilaian kelulusan didasarkan pada ujian sekolah yang digelar masing-masing sekolah, namun secara online tanpa tatap muka.

Opsi kedua, indikator kelulusan dihitung dari akumulasi nilai murid pada 5 semester terakhir. Sekolah juga bisa mempertimbangkan prestasi akademik dan non-akademik dalam penilaian.

Opsi pertama, Ujian Sekolah melalui Online, memang mendorong siswa semakin familiar dengan dunia informatika serta bisa lebih  efisien dibanding ujian konvensional lembaran kertas dan tatap muka di kelas. Tetapi kelemahannya hanya bisa menjangkau sebagian siswa, karena tidak semua siswa (apalagi SD di daerah) memiliki komputer, laptop atau notebook.

Selain itu, jika ujian tidak dilakukan serentak, hasilnya bisa disebut nyontek yang dilegalkan, karena siswa bisa dibantu materi-materi jawaban yang sudah ada di komputer atau buku-buku catatan yang ada di rumah. Dalam situasi terburuk, malah bisa dibantu orang terdekat semacam joki. Jika ini terjadi hasil ujian tidak bisa menjadi parameter capaian akademis bagi anak didik.

Jika opsi pertama memiliki kelebihan dan kelemahan seperti itu, bagaimana dengan opsi kedua, menggunakan indikator kelulusan dihitung dari akumulasi nilai murid pada 5 semester terakhir?

Hakekat Ujian Nasional adalah mengevaluasi capaian anak didik selama menempuh pendidikan di bangku sekolah dari awal masuk hingga menjelang kelulusan. Kalau pilihan ini yang diterapkan, memang, lebih efisien karena tidak kerja kedua kalinya. Tetapi, kualitasnya pasti tak sebagus jika diadakan UN secara konvensional.

Selain itu kelemahan dari pola ini adalah pertama, murid bisa jadi kehilangan motivasi belajar tanpa keberadaan ujian akhir. Kedua, Kalau tidak ada UN nanti standar nilai kelulusannya akan masing-masing sekolah berbeda-beda, sehingga membuat kesulitan kalangan dunia usaha dan jenjang pendidikan lebih tinggi dalam menggunakan Ijazah sebagai parameter dalam seleksi penerimaan di institusi atau korporasi mereka.

Dalam situasi luar biasa, seperti wabah covid-19, dua pilihan itu bisa dimengerti. Tapi dalam situasi normal, tetap saja itu menjadi pro kontra dan tak mudah mencari jalan keluarnya. Bagi yang menolak UN seperti Mendikbud Nadiem, ada tiga alasan mengapa UN perlu diganti dengan sistem ujian lain.

Pertama, UN hanya sekadar membuat siswa menghafal. Belum lagi, materi pada mata pelajaran padat. “Karena cuma ada beberapa jam untuk melakukan itu, sehingga semua materi harus dicover. Ujung-ujungnya ya harus menghafal. Makanya timbul berbagai kebutuhan untuk bimbel dan lain-lain untuk mencapai angka tinggi.”

Kedua, kata Nadiem, UNAS menjadi sumber stres bagi siswa, guru, dan orang tua. Sebab, nilai UN menjadi penentu nilai akhir siswa di masa sekolah. “Di UU sudah dijelaskan bahwa UN adalah untuk mengasesmen sistem pendidikan. Tapi karena dilakukan di akhir jenjang dan karena menguji berbagai pelajaran, ini ujung-ujungnya jadi angka rapor siswa.”

Alasan terakhir, kata Nadiem, UN tidak mampu mengukur kemampuan kognitif siswa. Selain itu, menurut dia UN tak menyentuh nilai karakter siswa. “Untuk menilai aspek kognitif pun belum mantap. Karena bukan kognitif yang dites. Tapi aspek memori. Memori dan kognitif adalah dua hal yang berbeda. Bahkan tidak menyentuh karakter, values dari anak tersebut yang saya bilang bahkan sama penting atau lebih penting dari kemampuan kognitif.”

Tetapi yang banyak juga yang melihat pentingnya UN. Karena: Pertama, UN dapat menggambarkan indikator kondisi pendidikan di Indonesia secara umum, artinya lembaga pendidikan internasional (UNESCO dll) dapat mengetahui kondisi pendidikan di Indonesia melalui UN.

Kedua, UN dapat memacu sekolah, dinas pendidikan (propinsi dan kab/kota) untuk berkompetisi dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Ketiga, UN dapat memotivasi guru untuk senantiasa meningkatkan kualitas pembelajaran, sehingga guru senantiasa meningkatkan kompetensinya untuk menuju guru yang professional.

Keempat, UN juga dapat memotivasi siswa untuk terus belajar sehingga mampu meraih nilai UN yang tinggi. Artinya disini dengan dilaksanakannya UN dapat membelajarkan siswa sehingga mampu berkembang secara optimal dalam mengembangkan potensinya.

Semua argumentasi yang pro-kontra sama-sama kuat. Tetapi sebenarnya bisa dicari jalan tengah, sehingga UN tetap dipertahankan, hanya formatnya perlu disempurnakan. Karena masih perlu koreksi dalam hal pelaksanaanya.

Pelaksanaan UN seharusnya adalah sebagai berikut :

Pertama, Nilai UN jangan dijadikan satu-satunya syarat kelulusan karena UN hanya dilaksanakan beberapa hari, sementara pembelajaran dilaksanakan selama 3 tahun. Dengan tidak dijadikannya UN sebagai syarat kelulusan maka berimplikasi kepada kejujuran dalam pelaksanaanya sehingga UN akan menilai kompetensi/kemampuan peserta didik yang sebenarnya.

Kedua, Memperkuat aspek penagawasan UNAS. Seperti kita ketahui dengan berlakunya otonomi daerah, kepala daerah (bupati/ walikota dan gubernur) tidak ingin pendidikan di daerahnya berlebel rendah (tidak berkualitas) dengan rendahnya rata-rata nilai UN yang dicapai. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kecurangan-kecurangan dakam pelaksanaan UN.

Ketiga, Nilai UNAS dapat dijadikan syarat kelulusan, namun mempertimbangkan adanya grade (tingkatan) standar kelulusan di setiap daerah. Artinya syarat kelulusan di NTB berbeda dengan di Jakarta. Disamping itu syarat kelulusan nilai UN bisa dikategorikan berdasarkan hasil akreditasi. Sekolah dengan akreditasi A memiliki standar kelulusan yang bebeda dengan sekolah dengan akreditasi B.

Keempat, Pelaksananan UNAS tidak perlu melibatkan banyak pihak yang kurang bermanfaat sehingga berimpilaksi kepada efisiensi dana. Terlalu banyak pihak yang terlibat hanya menghamburkan dana sehingga dana yang kurang bermanfaat dapat digunakan untuk peningkatan kualitas pendidikan pada sektor lain.

Kelima, Perlu memperhatikan aspek kompetensi materi UNAS. Sebagai contok jika siswa minat dan potensi akademiknya lebih kuat melanjutkan kuliah di FISIPOL atau ingin jadi Politisi kenapa pula perlu dipersulit di pelajaran seperti Matematika yang merupakan basic anak eksata?

Dari uraian diatas, bisa disimpulkan bahwa Ujian Nasional masih perlu dilaksanakan agar gambaran riil pendidikan di Indonesia dapat diketahui dan dapat memotivasi daerah/sekolah untuk senantiasa meningkatkan kualitas Standar nasional pendidikan.

Namun yang perlu diperbaiki adalah pelaksanaannya sehingga UNAS yang dilaksanakan benar-benar dapat mencapai tujuan UN itu sendiri dan tujuan pendidikan nasional yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (end)

*M. AMINUDIN adalah Mantan Staf Ahli Pusat Pengkajian MPR-RI tahun 2005.   Staf Ahli DPRRI 2008. TIM AHLI DPD RI 2013. Pengurus Pusat ALUMNI UNAIR Dept. Organisasi/Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS).

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry