“Ketua DPR RI, Dr (HC) Puan Maharani sepakat telah terjadi banyak rongrongan — baik dari dalam negeri maupun luar negeri — terhadap NKRI. Ini karena kita lengah, kurang waspada terhadap kegiatan yang berupaya menumbangkan Pancasila sebagai Ideologi Negara.”

Oleh Zulkifli S Ekomei*

ADA pepatah Belanda mengatakan, “Meskipun kebohongan berlari secepat kilat, niscaya kebenaran akan menyusulnya”. Atau, pepatah leluhur yang kerap kita dengar: “Kebenaran bisa disalahkan, tetapi kebenaran tidak dapat dikalahkan”. Ya. Substansi kedua pepatah sama, hanya naik-turun ‘intonasi’-nya agak berbeda.

Kenapa?

Sebab, kebenaran adalah sesuatu yang mutlak harus diselidiki (dan digali), dipersoalkan, dibahas, ada (sesuai) petunjuk, diterapkan, dan lain-lain. Retorika singkatnya, misalnya, 1) bagaimana sesuatu dikatakan benar, bila tanpa penyelidikan dan penggalian; 2) bagaimana dikatakan benar, sedangkan langkah-langkahnya tidak sesuai petunjuk; 3) bagaimana sesuatu dikatakan benar jika sebelumnya tak pernah dibahas, diterapkan, dan lainnya.

Pasca penggantian UUD 1945 (1999 – 2002), konstitusi kita berubah individualistik dan liberal. Hasil kajian dan penelitian Prof Kaelan dari UGM menyebut, bahwa 95% isi pasal dalam Batang Tubuh telah diganti. Konsekuensinya antara Pembukaan dan Batang Tubuh menjadi tidak nyambung. Juga, petikan keputusan Sidang Paripurna DPD RI, 14 Juli 2023, salah satu poin menyebut:

“Dengan menyadari adanya studi dan kajian akademik yang menyatakan bahwa perubahan konstitusi di tahun 1999 – 2002, telah menghasilkan KONSTITUSI YANG TELAH MENINGGALKAN PANCASILA sebagai Norma Hukum Tertinggi ..” (Pidato Kenegaraan Ketua DPD RI, 16 Agustus 2023, hal 8 – 9).

Ya, Pancasila selaku philosopi grounslag sudah ‘terkubur’ pada praktik operasional UUD NRI 1945 — UUD hasil amandemen — yang kerap disebut dengan istilah UUD 2002 alias “UUD’45 Palsu”.

Buktinya? Dalam praktik Pancasila kini, tidak ditemui lagi jiwa dan semangat ketuhanan; tak ada sistem yang memanusiakan manusia; tidak ditemui sistem yang merajut persatuan; tak dijumpai sistem yang mengutamakan musyawarah-perwakilan; dan tak ada lagi sistem yang berorientasi kepada keadilan sosial.

Meminjam istilah (alm) Buya Syafii Maarif: “Pancasila dimulaikan dalam kata, diagungkan dalam tulisan, dikhianati dalam perbuatan”. Pas! Itulah praktik Pancasila semenjak UUD 1945 diamandemen oleh kaum reformis (gadungan), lalu mereka menganggap dirinya sebagai the Second Founding Fathers.

Setelah beroperasi 20-an tahun lebih, MPR RI berkehendak untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan sistem bernegara. Hal ini dikatakan oleh Bamsoet, Ketua MPR RI pada Pidato Kenegaraan, 16 Agustus 2023,

” .. idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi Lembaga Tertinggi Negara sebagaimana disampaikan Presiden RI ke-5, Ibu Megawati Soekarnoputri, saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 ..” (Pidato Kenegaraan Ketua MPR RI, 16 Agustus 2023, hal 29).

Dan ajakan Bamsoet untuk kembali ke MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara disambut oleh Ketua DPD RI LaNyalla secara responsif melalui Lima Proposal Kenegaraan.

Adapun poin inti proposal kenegaraan DPD RI adalah sebagai berikut:

Pertama, mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara;

Kedua, membuka peluang adanya anggota DPR RI berasal dari unsur perorangan atau nonpartisan, sebagai upaya pembentukan UU yg dilakukan DPR bersama Presiden tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi, juga dibahas oleh keterwakilan nonpartai;

Ketiga, memastikan Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG) diisi melalui mekanisme dari bawah (bottom up), bukan penunjukan oleh Presiden sebagaimana pernah terjadi di zaman Orde Baru.

Komposisi UD adalah para Raja dan Sultan Nusantara, suku dan penduduk asli Nusantara dengan mengacu kepada kesejarahan negara lama dan bangsa-bangsa lama; sedangkan UG diisi oleh Ormas/Ordos dan Organisasi Profesi yang punya kesejarahan dan bobot kontribusi bagi pemajuan ekosob, pertahanan keamanan dan agama di Indonesia;

Keempat, memberi kewenangan UD dan UG utk memberikan pendapat terhadap materi RUU;

Kelima, menempatkan secara tepat, tugas, peran, dan fungsi Lembaga Negara yang dibentuk di era Reformasi sebagai bagian dari kebutuhan sistem dan struktur kenegaraan.

Itulah gayung bersambut antara MPR RI dengan DPD RI guna memperbaiki sistem ketatanegaraan dan bernegara,  khususnya mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan mengoperasionalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi.

Tampaknya semakin kemari, dukungan untuk kembali ke Pancasila semakin menguat. Jika pada Forum Kenegaraan 16 Agust 2023 silam, hanya sebatas Bamsoet dan LaNyalla berbalas pantun tentang perbaikan sistem ketatanegaraan dan sistem bernegara yang berbasis Pancasila, kini sudah lebih konkret.

Pada Hari Kesaktian Pancasila, tanggal 1 Oktober 2023 kemarin, Ketua DPR RI, Puan Maharani pun melafalkan ikrar untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila demi tetap tegaknya kebenaran dan keadilan dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Inilah bunyi ikrar dari Ketua DPR RI pada Hari Kesaktian Pancasila:

IKRAR

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami yang melakukan upacara ini menyadari sepenuhnya:

Bahwa sejak diproklamasikan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 pada kenyataannya telah banyak terjadi rongrongan baik dari dalam negeri maupun luar negeri terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Bahwa rongrongan tersebut dimungkinkan oleh karena kelengahan, kekurangwaspadaan Bangsa Indonesia terhadap kegiatan yang berupaya untuk menumbangkan Pancasila sebagai Ideologi Negara;

Bahwa dengan semangat kebersamaan yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur ideologi Pancasila, Bangsa Indonesia tetap dapat memperkokoh tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Maka di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam memperingati Hari Kesaktian Pancasila, kami membulatkan tekad untuk tetap mempertahankan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber kekuatan menggalang kebersamaan untuk memperjuangkan, menegakkan kebenaran dan keadilan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jakarta, 1 Oktober 2023

Atas Nama Bangsa Indonesia

Ketua DPR RI,

Dr. (H.C.) Puan Maharani

Nah, ketika Tiga Serangkai Ketua Lembaga Tinggi Negara (MPR, DPR dan DPD) — suara rakyat — telah sepakat kembali ke konstitusi yang sesuai keinginan luhur pendiri bangsa, maka ke depan, hanya soal waktu dan momentum saja.

Artinya, Presiden tinggal menerbitkan Dekrit, atau melalui Sidang Istimewa MPR dengan agenda tunggal: “kembali ke UUD 1945 naskah asli”, ataupun melalui Konsensus Nasional? (*)

*Zulkifli S Ekomei adalah  Pegiat Konstitusi

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry