Dr H Syarif Thayib (kiri) dan Almarhum Prof Roem Rowi. (FT/IST)

“Prosesi pemakaman begitu khidmat. Hampir tidak terdengar suara-suara teriak orang seperti biasanya yang ikut mengatur proses meletakkan jenazah ke liang lahat.”

Oleh Dr H Syarif Thayib, SAg MSi

KEMEGAHAN Masjid Nasional Al Akbar Surabaya seakan mendadak layu pagi itu (Sabtu, 12/8/2023). Karena salah satu pendiri masjid, pelaku sejarah, pengurus pertama sampai sekarang, Prof Dr KH M Roem Rowi, MA wafat. Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.

Almarhum merupakan guru besar UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, pengasuh Pesantren Modern Al Firdaus Pacet, dan Pembina, Pengawas, Pengurus beberapa Yayasan ternama di Surabaya. Seperti Al Hikmah, Al Falah, Nurul Falah, dll.

Banyak tokoh pendidikan dan dakwah yang  saya kenal hadir di shaf depan Masjid Al Akbar, tempat untuk menyalatkan Almarhum. Ada Prof Ali Aziz, Prof A’la, Prof Ghozali Said, Prof Zahro, Prof Saiful Jazil, Ust. Taufiq AB bersama jajaran pengurus Yayasan  Al Hikmah, Masjid Alfalah, dan lain-lain.

Sambil menunggu kehadiran Ibu Gubernur Khofifah Indar Parawansa, Ustadz Ach Muzakki Alhafidz memimpin Tahlil bersama ribuan Jemaah yang hadir di depan  jenazah Prof Roem (sapaan Almarhum). Salah satu mahasiswa terbaik almarhum dari Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel itu sesekali suaranya bergetar menahan tangis.

Sambutan mewakili  keluarga almarhum, UINSA, Al Falah, Al Hikmah Surabaya, Ponpes Al Firdaus Pacet dll jelang shalat jenazah disampaikan oleh Prof Moh Ali Aziz. Beliau mengutip pernyataan Jalaluddin Rumi, bahwa kematian adalah jembatan penghubung antara orang yang dicintai dengan yang mencintainya (kemesraan seorang hamba pada Rabb-Nya).

Sedangkan sambutan singkat berikutnya mewakili pemerintah dan masyarakat Jawa Timur disampaikan oleh murid langsung almarhum, yaitu Ibu Hj Khofifah Indar Parawansa. Dengan suara bergetar, Gubernur Jawa Timur itu seperti merasakan atmosfir kerinduan Sang Maha Kekasih kepada yang dikasihinya dengan membacakan Q.S. Al-Fajr: 27-30.

Artinya: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” 

Dua sambutan di atas membuat suasana Masjid semakin hening. Isak tangis terdengar jelas di kanan–kiri shaf bagian depan khususnya, saat imam besar Masjid Nasional Al Akbar KH Abdul Hamid Abdullah membacakan do’a selesai shalat jenazah.

Saya menyaksikan sendiri banyak mata para jemaah di shaf depan itu sembap karena tangis. Beberapa saling berangkulan dan hanyut dalam kesedihan yang mendalam ketika keranda perlahan-lahan dipandu meninggalkan masjid.

Setelah itu, bersama pengurus Masjid Nasional Al Akbar lain saya ikut meluncur ke pemakaman Pagesangan Utara yang berjarak 2 km dari barat Masjid.

Begitu prosesi pemakaman tiba, spontan saya berinisiatif untuk “nyemplung” ke liang lahat menemani Ust. Edy Kuntjoro dari Al Hikmah yang lebih dulu berada di bawah, menyusul kemudian Mas Fery, putra ragil almarhum.

Liang lahat dengan kedalaman setinggi tubuh saya itu terus menyemburkan air tanah dari sisi selatan, deras sekali. Sampai-sampai selang besar terpasang disitu sebagai penyedot air.

Posisi saya sudah di tengah liang lahat, siap menerima dan meletakkan jenazah bagian perut. Bagian kepala ada Ustadz Edy, sedangkan bagian kaki siap diterima dan diletakkan bersamaan menghadap kiblat oleh Mas Fery.

Prosesi pemakaman begitu khidmat. Hampir tidak terdengar suara-suara teriak orang seperti biasanya yang ikut mengatur proses meletakkan jenazah ke liang lahat.

Kami bertiga yang ada di bawah benar-benar tanpa kesulitan meletakkan posisi kepala jenazah  di sebelah utara dengan kaki membujur ke selatan. Kemudian membuka satu persatu tali pengikat kafan yang diambil dari kain ihram yang terakhir dipakai Almarhum ke tanah suci.

Jujur, saya ikut lega ketika Ustadz Edy berinisiatif mengadzani, sekaligus qamat di telinga kiri almarhum. Maklum, waktu itu sempat terlintas dalam hati, andai saja yang di dalam liang lahat tidak mau mengadzani dan qamat, saya akan nekat mengadazani dan qamat sendiri imam besar Masjid Nasional Al Akbar ini.

Bagi kami, Adzan dan Qamat adalah bagian dari dzikir. Berharap semoga bisa membantu jenazah dan meringankannya dalam menjawab pertanyaan Malaikat di dalam kubur (Wallahu a’lam).

Itulah yang terjadi kala menguburkan Jemaah haji di Syaraya Makkah 2017 lalu. Saya yang ikut nyemplung di liang lahat sempat diteriaki petugas makam gara-gara adzan dan qamat di dalam liang lahat yang sangat dalam dan gelap, hehe..

Alhamdulillah prosesi pemakaman Prof Roem begitu sempurna. Semua berjalan sesuai harapan.  Setelah batu nisan terpasang dengan warna-warni bunga menutupi gundukan tanah makam, ada sambutan menarik dari Ustadz Edy mewakili semuanya.

Bahwa Almarhum Prof Roem adalah guru abadi. Beliau memberi pelajaran tidak hanya ketika masih hidup, sudah wafat pun beliau masih mengingatkan kita bahwa pangkat, jabatan, harta dll tidak akan dibawa ke dalam kubur, kecuali amaliah kita semasa hidup.

Saya tertunduk bersama jemaah di sekeliling makam. Kami benar-benar belum siap mati dengan catatan amal sekarang. Bagaimana mungkin catatan amal kami sekarang mampu menggerakkan ribuan Jemaah turut menyalatkan dan mendoakan kepergian kami menghadap Sang Maha Kekasih nanti?

Saya teringat perkataan Prof Saiful Jazil (Kepala Ma’had UINSA) saat menunggui jenazah di Masjid Nasional Al Akbar: “Kematian kita nanti apa akan dihantarkan orang sebanyak ini..?” ujarnya beberapa kali dihadapan orang-orang sekitar shaf.

Kami haqqul yakin, Almarhum Prof Roem sudah membangun dan merawat integritas dirinya sejak lama. Integritas diri yang dimaksud adalah selarasnya hati dengan ucapan dan tindakan.

Silakan tanya pada seluruh mahasiswa/murid/santri yang pernah belajar pada beliau langsung di kelas formal maupun non formal. Almarhum terbukti memiliki dedikasi tinggi terhadap ilmu, khususnya Ilmu Tafsir.

Istri saya sering cerita bagaimana Prof Roem selalu hadir di kelas tepat waktu sepanjang mengajar kuliah S1 jurusan Tafsir Hadits di UINSA 1991-1995, hampir tidak pernah absen (tidak masuk), detail dalam mengajar, dan sangat obyektif.

Saya yang membersamai almarhum dalam 5 tahun terakhir di Masjid Nasional Al Akbar mengenangnya sebagai sosok orang tua yang mengayomi dan teladan yang sangat baik, seperti bagaimana menyampaikan pendapat di tengah perbedaan (ikhtilaf) orang banyak.

Suatu ketika, jauh sebelum aktif di Masjid Al Akbar, saya menemuinya untuk meminta catatan singkat pada buku saya “Totalitas Shalat Dhuha”. Beliau senyum nyemanak atau ngemong (Bahasa Jawa), dan memberi apresiasi, plus motivasi pada saya.

Beberapa hari kemudian beliau mengundang saya dan memberikan beberapa catatan dan koreksi yang sangat berharga, sekaligus endors pada buku saya itu. Berkat endorsnya, beberapa kali saya diundang untuk mengisi kajian Dhuha di Majelis beliau.

Tidak hanya saya, setiap mahasiswa, santri atau murid-murid beliau tentu akan mudah menjelaskan bagaimana  akhlaqul karimah Prof Roem, termasuk menceritakan kenangan indah bersama beliau, baik saat di majelis-majelis ilmu ataupun di tempat lain.

Akhirnya, kita semua berharap semoga perjalanan di sisa hidup kita bisa menjadi kenangan indah bagi generasi setelah kita, sebagaimana doa Nabi Ibrahim: “Dan Jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS. Assyuara: 84). Selamat jalan Prof Roem, sampai jumpa pada Reuni Akbar di Syurga, Alfatihah.

Penulis adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry