SIDANG: Tampak suasana persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Duta/Henoch Kurniawan

 SURABAYA | duta.co – Dugaan perkara pemerasan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang melibatkan Djarwo Surdjanto, mantan Direktur Utama PT Pelindo III dan istrinya Maike Yolanda Fianciska alias Noni sebagai terdakwa masih diuji di persidangan yang digelar di Penagdilan Negeri (PN) Surabaya.

Beberapa saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak Surabaya berlomba-lomba mencabut keterangan yang sebelumnya mereka berikan pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian.

Hal itu, menurut Minola Sebayang, salah satu anggota tim penasehat hukum para terdakwa merupakan hal yang wajar. Pasalnya, sesuai fakta persidangan, apa yang didakwakan jaksa banyak yang diluar kenyataan dilapangan.

Berikut fakta-fakta menurut versi tim penasehat hukum terdakwa:

  1. Sebelum beroperasinya TPK di Blok W, tindakan karantina dilaksanakan antara lain di Depo Petikemas di luar TPS, yaitu depo-delo yang memiliki ijin sebagai Instalasi Karantina Tumbuhan (IKT), antara lain: Jangkar Pacifik (JP), Depo Surabaya Sejahtera (DSS), Buana Amanah Karya (BAK). Tarif yang berlaku menggunakan dasar kesepakatan Asosiasi Depo Petikemas Indonesia (Asdeki) dengan para pengguna jasanya. (Terakhir Kesepakatan Tarif Asdeki tangg 17 Desember 2014 yang mulai berlaku tgl 2 Januari 2015) Tarif Asdeki ini tidak diatur oleh Kemenhub.
  2. Berdasarkan penelitian Ombudsman Republik Indonesia (ORI), untuk meningkatkan efisiensi pelayanan dengan menekan dwelling time sesingkat mungkin, direkomendasikan dibuat Tempat Pemeriksaan Fisik Terpadu (TPFT) di dalam terminal (lini 1) agar instansi terkait (antara lain Bea Cukai, Karantina dll) dapat memeriksa di satu tempat agar pergerakan untuk pemeriksaan petikemas lebih efisien/ hemat waktu.
  3. Setelah melalui beberapa kali pembahasan dengan instansi dan asosiasi terkait, akhirnya Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Perak dari Kementerian Perhubungan sebagai regulator di Pelabuhan Tanjung Perak menetapkan Blok W sebagai areal TPFT dan belakangan sebagai TPK (Tempat Pemeriksaan Karantina) di Terminal Petikemas Surabaya.(TPS)
  4. Dengan argumentasi perlu segera siimplementasikan di lapangan, sedang di lain pihak belum mempunyai staf yg berpengalaman, maka TPS bekerja sama dg PT Akara Multi Karya (AMK) yang memiliki personil berngalaman sebagai pihak yang memfasilitasi/membantu Balai Karantina melakukan tindakan pemeriksaan Karantina di Blok W tersebut.
  5. Untuk menjalankan tugasnya, AMK mempunyai kontrak dengan TPS yang mengatur berbagai hal, di antaranya mengatur bahwa tarif pelayanan AMK kepada pengguna jasa “membantu tindakan Karantina” tidak boleh lebih tinggi dari fasilitas layanan jasa sejenis di sekitarnya. (layanan fasilitas Karantina di JP, DSS dan BAK, yang mengacu pada tarif kesepakatan Asdeki) dengan pola tarif yang sama.
  6. Jadi layanan jasa AMK adalah jasa penunjang tindakan Karantina (bukan jasa kepelabuhanan) yang bisa dikategorikan sebahai jasa penyediaan depo Petikemas, yang sesuai dengan PERMENHUB no. 15/2014 tanggal 16 April 2014 termasuk jenis pelayanan jasa terkait kepelabuhanan yang dapat dilakukan oleh perusahaan yang tidak harus BUP. (Pasal 2 dan 4)

Kesimpulan :

  1. Pengoperasian Blok W sebagai TPK adalah legal sesuai SK Otoritas Pelabuhan Tanjung Perak.
  2. Ketentuan barang wajib periksa karantina dilakukan di Blok W dan XP ditetapkan dlm SK OP tersebut. (Sesuai fakta persidangan “saksi korban” menyatakan tidak ada pemaksaan dan pemerasan)
  3. Pengenaan tarif di Blok W dan XP sesuai ketentuan Permenhub No. PM 15 Tahun 2014.
  4. Pungutan di Blok W dan XP PUNGUTAN LEGAL / BUKAN PUNGLI.
  5. Bahwa sesuai SK OP Tanjung Perak, Otoritas Pelabuhan akan memantau dan mengevaluasi SK OP tersebut. Sampai saat pemeriksaan oleh Bareskrim belum pernah ada teguran dari OP ke TPS tentang pelaksanaan di Blok W. eno

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry