Keterangan foto edisi.co.id

SURABAYA | duta.co – Maunya, hari ini, Rabu 3 September 2021 peraturan itu berjalan! Tetapi, 13 Ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI) memprotes keras terbitnya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. MOI begitu jeli melihat aturan yang mengancam generasi bangsa.

Alih-alih mencegah. Regulasi Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim, itu justru membuka peluang terjadinya perzinaan bebas di perguruan tinggi. “Kami dari MOI, menilai bahwa Permendikbud Ristek ini justru melegalisasikan perzinaan. Dampaknya merusak standar nilai moral mahasiswa. Mestinya perzinaan itu kejahatan, bukan dilegalkan,” demikian Ketua MOI, KH Nazar Haris, sebagaimana dalam rilisnya kepada duta.co, Rabu (03/11/21).

Banyak poin yang wajib mendapat kritikan dan penolakan. Antara lain terkait paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) yang memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual, bukan lagi nilai agama, tetapi persetujuan dari para pihak. Selama tidak ada pemaksaan, berusia dewasa, ada persetujuan, maka aktivitas seksual menjadi halal, meskipun di luar pernikahan sah.

“Ini berbahaya sekali! Perbuatan zina dan perilaku penyimpangan seksual LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) akan menjadi liar,” ujarnya.

Karena itu, tegas KH Nazar,  MOI yang beranggotakan 13 ormas Islam mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mencabut, membatalkan Peraturan Menteri No.30 tahun 2021 tentang Pencegahan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tersebut. “Ya! Cabut dan batalkan,” tegasnya.

13 anggota MOI itu, masing-masing Persatuan Umat Islam (PUI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Syarikat islam (SI), Mathla’ul Anwar, Al Ittihadiyah, Al Washliyah, Persatuan Islam (PERSIS), Wahdah Islamiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Hidayatullah, Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).

Persetujuan Korban

Permendikbud No 30/2021 oleh Nadiem Makarim tertanggal 31 Agustus 2021 dan diundangkan pada 3 September 2021 itu, bermain dalam kalimat ‘tanpa persetujuan korban’. Artinya, kalau ada persetujuan, semua menjadi sah.

Menurut Kemendikbud Ristek, pertimbangan Permendikbud itu semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi.

Dalam Permendikbud No 30/2021, kekerasan seksual pada beberapa kondisi lebih pada masalah “tanpa persetujuan korban”.

Ini tertuang dalam Pasal 5, di antara definisi kekerasan seksual itu adalah: memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban; membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.

Lalu, pada bagian lain dijelaskan: (3) Persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal korban: memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; mengalami situasi di mana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya; c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba.

Nah, menurut MOI, Permendikbud ini berpotensi memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku
penyimpangan seksual LGBT. Padahal, LGBT adalah penyakit mental dan penderitanya adalah pasien yang harus mendapat bantuan kesembuhannya melalui Lembaga Konseling, mendapat fasilitas negara.

“Selain itu penggunaan definisi relasi kuasa dan relasi gender dalam Permendikbud tersebut bukan dari nilai Pancasila, melainkan konstruksi berpikir Barat yang bertentangan dengan fitrah penciptaan manusia. Dan, Tuhan menciptakan jenis kelamin (sex), ada pun gender adalah orientasi seksual yang boleh berbeda dari jenis kelamin, maka konsep gender yang berjalan di Barat, tidak kompatibel dengan moralitas ketimuran di Indonesia. Maka, harus kita tolak. Cabut dan batalkan!” pungkasnya. (mky)