Suasana Upacara Bendera Sarungan di Masjid Al-Ikhlas. (FT/NIZAM ALKAFI)

“Kalau tahlil, qunut, usholli dibid’ah-bid’ahkan, itu biasa. Tetapi kalau urusan nasionalisme, urusan berbangsa dan bernegara, dianggap tidak ada dalil, jangan main-main.  Ini sangat berbahaya.”

Oleh: Khotimi Bahri*

MEDIA massa tengah ramai dengan berita tentang Dr Khalid Basalamah yang tidak jadi ceramah di Masjid Raya Al Jabbar, Gedebage, Kota, Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu, 18 Maret 2023 besok.

Dan, biasa, media selalu memburu angle yang menarik. Yaitu penolakan masyarakat. Dan, ironisnya, tidak banyak orang tahu, apa sesungguhnya yang menjadi masalah dari seorang Khalid Basalamah, sehingga masyarakat menolaknya.

Sempat juga viral, komentar salah seorang propagandis salafi-wahabi (Dr Khalid Basalamah) yang mengatakan bahwa dalam Islam tidak ada ajaran tentang nasionalisme. Ini sama persis dengan komentar viral propagandis HTI, Felix Sau, atau semodel komentar DR Syafiq Reza Basalamah tentang ucapan minal aidin wal faizin.

Komentar Khalid Basalamah ini, merupakan kelanjutan dari apa yang sebelumnya viral,  yaitu terkait anjurannya untuk  tidak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ini bukan masalah sepele, ini serius terkait komitmen kita berbangsa dan bernegara. Ini bukan masalah kecil, kalau kita biarkan bisa ‘bubrah’ Indonesia.

Bagi sebagian orang, argumen Khalid Basalamah dan propagandis-propagandis seperti dia, dianggap tepat atau sah-sah saja. Apalagi disampaikan seorang bergelar ustadz, plus doktor. Sementara, kalau awam sudah ‘terbawa’ tidak mudah bagi kita untuk meluruskannya.

Kita bisa saksinya, dengan penampilan jenggot dan celana cingkrang, layaknya pasukan pengawal sunnah, bahkan sebagian ditandai dengan jidat menghitam, ini mudah menghipnotis orang.

Apalagi yang disoroti adalah sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam Alquran dan tidak ada haditsnya. Ini jelas memiliki beberapa kemungkinan: Bisa bid’ah dlalalah, masuk neraka,dan  bisa juga keyakinan leluhur yang tetap dianut atau sesuatu yang menyalahi norma agama.

Benarkah Dia?

Bagi kaum muslimin yang benar-benar berpegang teguh pada metode istinbath hukum sesuai manhaj salaf, yang mata rantai sanad keilmuannya bersambung hingga Rosulullah, tidaklah demikian.

Dalil itu apa? Dalil adalah payung hukum dalam kehidupan sehari-hari yang bersumber dari Alquran dan sunnah Rosul. Hukum taklifi sendiri ada lima (wajib, sunat, haram, makruh dan mubah).

Nah! Apakah dalil mesti berbentuk ayat hukum (ayatul ahkam) atau ayat yang redaksinya berbicara tentang hukum? Jelas TIDAK.

Alquran yang terdiri dari 30 juz dengan 6000 lebih ayat, memiliki ayat hukum dengan jumlah sangat terbatas. Ibn Arabi menyatakan bahwa ayat hukum sekitar 800 ayat. Al-Ghazaly menuturkan hanya kisaran 500 ayat. Sedangkan bagi as-Shan’ani hanya sekitar 200-an ayat. Bahkan Ibnul al-Qayyim menegaskan lebih kurang 150 ayat saja.

Kalau kita ambil yang terbanyak, 800 ayat, padahal ayat Alquran lebih dari 6000, lantas mau dikemanakan 5000 ayat Alquran itu. Apakah sudah tidak berlaku? Sudah tidak relevan? Atau hanya hiasan pelengkap? Tentu, TIDAK.

Semua ayat Alquran itu petunjuk (hudan) bagi kita. Berlakunya tanpa periode waktu. Tapi berlaku untuk siapa pun dan sampai kapan pun atau sampai hari kiamat. Likulli zaman wal makan. Semua ayat yang jumlahnya 6000 lebih itu adalah petunjuk, pedoman dan mengandung aspek hukum.

Hanya saja kalau kita mau bikin klasifikasi, maka, ada ayat yang qoth’ie-dlilalah yaitu aspek hukum dan obyek hukumnya secara jelas terdapat dalam redaksi ayat. Itulah yang jumlahnya sangat terbatas di atas.

Tapi justru sebagian besar ayat Alquran 5000 lebih dari 6000 lebih ayat Alquran bersifat dzanni dlilalah. Artinya untuk bisa menyimpulkan hukum dari ayat tersebut perlu upaya istinbath, penggalian, kajian, analisa.

Untuk tujuan tersebut dibutuhkan belasan disiplin keilmuan (tidak cukup nahwu, shorrof, dan terjemahan kamus bahasa Arab). Agar apa? Agar kita  bisa menggalinya, menangkap pesan moralnya, merumuskan aspek hukumnya.

Makanya tidak semua orang kompeten untuk itu, sekalipun punya  sederet gelar ustadz dan doktor. Tapi tidak sedikit kyai-kyai yang waro’i, mengabdi untuk umat di pesantren kampung dan jauh dari gemerlap gelar, justru kompeten dengan  belasan disiplin ilmu yang dibutuhkan dalam beristinbath (menggali) hukum dalam ayat dzanni dlilalah tadi.

Untunglah kita punya ulama yang meramu ilmu-ilmu seperti ushul fiqh, ulumul qur’an, mustholah hadits, asbabun nuzul, gharib qur’an, i’jaz qur’an, al-jarh wa ta’dil dan lain-lain sehingga kita tahu: Oh ini ayat umum (‘am) sedangkan yang ini khusus (khos) dan spesifik (takhshìs).

Oh ini ayat mafhum (eksplisit) dan yang lainnya mantuq (implisit). Oh ini ayat yang bahasanya verbal (shorih) sedangkan yang ini berbentuk kiasan (majaz) atau juga metafora (kinayah).

Oh ini ciri-ciri ayat muthlaq (berdiri sendiri) sedangkan yang ini muqoyyad (untuk pahan implikasi hukumnya mesti dibaca dan dikaitkan dengan ayat lain), dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Yang jelas  masih banyak karakteristik ayat lainnya.

Nah, mestinya sekte salafi wahabi memahami ini semua sehingga tidak serampangan memfatwakan hukum hanya karena ketidak pahamannya dengan karakter ayat hadits.

Pertanyaan berikutnya: Apakah lagu Kebangsaan Indonesia itu bid’ah dan nasionalisme tidak punya landasan dalil?

Dalam ushul fiqh ada metode istinbath maqhosidi (penggalian hukum berdasar tujuan/maksud) karena semua syariat memiliki maqhosid (tujuan, hikmah, dan manfaat syariah).

Ketika Rosulullah ingin bersama-sama menjaga kehormatan ‘negara’ Madinah dan membentengi kota Rosul ini dari rongrongan orang yang ingin merusaknya, apakah ini bukan nilai-nilai nasionalisme?

Bahkan untuk maksud tersebut Rosulullah mengikatnya bersama-sama non-muslim (Yahudi, Nasrani, Panganisme) dalam sebuah dokumen bersejarah yaitu Piagam Madinah.

Bukankah ini bagian dari Sunnah Taqririyah (ketetapan) Rosulullah bahkan juga Sunnah Fi’liyah (praktik) Rosul. Mengapa ada orang yang karena kebodohan dan kepongahannya mempertentangkan Sunnah Qouliyah (Hadits) dengan sunnah Rosul yang lain (Taqririyah dan Fi’liyah)

Bukankah Allah bersumpah dengan kehormatan sebuah negeri, bahkan, menjadi nama surat yaitu surat Al-Balad. Tidak cukupkah sinyalemen-sinyalemen itu menjadi pijakan kita dalam meneguhkan nilai-nilai nasionalisme dan kecintaan pada tanah air?

Lagu Kebangsaan, Bendera, Lambang Negara adalah simbol, tanda, dan penanda sebuah negara yang kalau kita menjaga kehormatannya, sama artinya dengan menjaga kehormatan negara itu sendiri. Bukankah demikian?

Nah, jadi, kalau masalah tahlil, qunut, usholli dibid’ah-bid’ahkan, barangkali, itu sudah biasa bagi kita. Tetapi kalau urusan nasionalisme, urusan keberlangsungan dalam berbangsa dan bernegara, jangan main-main. Titik. (*)

*Khotimi Bahri adalah Syuriah PCNU Kota Bogor, Ketua Komisi I MUI Kota Bogor, Waketum BKN dan Dosen STEI Napala.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry