Wakil Ketua MPR RI Dr H Hidayat Nur Wahid (IST)

SURABAYA | duta.co – Sidang Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sudah mengumumkan kata sepakat, menetapkan setiap tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional Melawan Islamophobia. Ini bisa kita lihat melalui akun media sosial resmi PBB di Twitter, Rabu (16/3/2022) pagi ini.

Dalam keterangannya, PBB menyatakan bahwa Sidang Umum PBB menyerukan penguatan upaya internasional untuk mendukung dialog global yang mempromosikan budaya toleransi dan perdamaian, berlandaskan pada penghargaan terhadap HAM dan keberagaman beragama dan berkeyakinan.

Wakil Ketua MPR-RI Dr H Hidayat Nur Wahid, mendukung Hari Internasional Melawan Islamophobia ini. HNW, sapaan akrabnya, mendorong agar PBB tidak menjadikannya sebagai sekedar macan kertas, tapi mendorong agar negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia menyetujui keputusan SU PBB tersebut. Lalu mewujudkannya dan menindaklanjutinya, dan menjadikannya momentum meningkatkan pemberian harapan demi menghentikan diskriminasi, menyelenggarakan program, hingga mengupayakan dukungan legislasi untuk melawan Islamophobia di Negara-negara anggota PBB.

Demikian juga Negara-negara anggota OKI, agar mengawal dan mengawasi suksesnya Keputusan SU PBB ini. ”Islam merupakan agama terbesar kedua di dunia dengan penganut berjumlah 1,91 miliar orang, sudah diterima dan dianut oleh warga di seluruh negara anggota PBB. Namun demikian bentuk-bentuk Islamophobia seperti ujaran kebencian, diskriminasi, intoleran dan kekerasan terhadap muslim justru belakangan semakin marak. Ini harus disudahi,” tegasnya.

Sehingga, lanjutnya, sangat wajar bila negara-negara dunia yang inginkan harmoni, toleransi, inklusifitas dan hilangnya diskriminasi berusaha maksimal untuk bisa melaksanakan keputusan SU PBB ini dengan mewujudkan perlawanan terhadap Islamophobia dengan sungguh-sungguh. Jadikan tanggal 15 Maret sebagai Momentum Hari Internasional Melawan Islamofobia.

“Ini momentum bagi Umat Islam agar semakin aktif melaksanakan dan membudayakan agama Islam yang rahmatan lil‘alamin,” jelas HNW dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (18/3/22).

Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini menilai, penetapan Hari Internasional Melawan Islamophobia dalam SU PBB dapat menjadi momentum bagi semua negara untuk membuat aturan-aturan hukum terkait, seperti aturan yang sebelumnya sudah ada dan dipraktekkan di berbagai negara Barat mengenai UU perlawanan terhadap anti-semitisme.

Peraturan mengenai anti-semitisme tersebut sudah sejak lama ada di beberapa Negara, seperti AS,  Jerman, Prancis, Belanda, dan terbaru kembali dikuatkan di Ukraina (2021), di mana orang-orang yang mengekspresikan kebencian anti-semitisme dianggap sebagai pelaku kriminal dan bisa dikenai pidana.

“Maka demi keadilan,  produk hukum serupa juga semestinya bisa dibentuk untuk melawan Islamophobia. Dan hal ini sangat urgen, mengingat Islamophobia tidak hanya terjadi dalam bentuk ujaran kebencian, tapi juga meningkat sehingga membahayakan semangat harmoni dan toleransi yang dipropagandakan para aktivis dan Negara-negara Barat. Apalagi Islamofobia juga berwujud kekerasan fisik yang membahayakan hingga menghilangkan nyawa manusia hanya karena ia beragama atau memakai atribut Islam,” sambungnya.

HNW juga mengapresiasi upaya yang sudah berlangsung seperti di Amerika Serikat di mana “Combating International Islamophobia Act” telah lolos dari House (DPR) dan masuk ke Senat di AS pada 15/12/2021. Di Kanada, upaya tersebut bahkan datang dari eksekutif dan legislatif, di mana Pemerintahnya (pada 28/1/2022) bermaksud membentuk badan khusus melawan Islamophobia, dan sejumlah legislator telah mengajukan “Our London Family Act” sebagai RUU untuk melawan Islamophobia.

Anggota DPR-RI Komisi VIII membidangi urusan agama ini juga berharap, Indonesia sebagai negara anggota PBB, sekali pun bukan inisiator tetapi mendukung agar tanggal 15 Maret menjadi Hari Internasional Perlawanan terhadap Islamofobia, negara yang mayoritas mutlaknya Muslim, agar juga bisa bertindak pro aktif dalam merealisasikan kesepekatan dalam SU PBB tersebut.

Pengumuman PBB ini sekaligus ‘kado’ khusus untuk Kemenag. Di mana Kementerian Agama sendiri telah menetapkan tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi. Lembaga ini bisa mulai mengarusutamakan minimal menyisipkan muatan-muatan tentang anti-Islamophobia yang pada gilirannya tentu akan dapat meningkatkan toleransi dan harmoni di antara umat beragama dan menguatkan NKRI.

Pemerintah Indonesia, tegas HNW, berdiri di atas negara berdasarkan Pancasila, yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia, mestinya tampil aktif dan terdepan dalam menjalankan keputusan SU PBB dalam upaya nyata untuk hadirkan toleransi, harmoni dan moderasi dengan sukseskan perlawanan global terhadap Islamophobia, jangan malah justru terkesan kalah dengan Islamophobia dengan membiarkan penceramah atau pihak lainnya di Indonesia terus sebarkan Islamofobia dengan anti terhadap Islam, alquran, Nabi Muhammad dll, dan apalagi terus mengaitkan Islam dengan radikalisme, terorisme, intoleran dan hal-hal negatif lainnya.

“Padahal fakta sejarah dan ajaran Islam, justru sangat diakui peran dan jasa Islam dan Umat Islam beserta tokoh-tokohnya untuk merdekakan Indonesia, selamatkan Pancasila, NKRI serta gagalkan pemberontakan PKI, sehingga NKRI selamat hingga di era Reformasi ini,” pungkasnya.

Terorisme bukan Agama

Resolusi ini diusung perwakilan Pakistan yang berbicara atas nama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Adapun tanggal 15 Maret dipilih sebagai hari peringatan karena pada tanggal ini, bertepatan momen salat Jumat pada 2019 lalu, terjadi serangan dari seorang teroris bersenjata di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, yang menewaskan 51 orang dan melukai 40 lainnya.

Dalam pengantarnya, Perwakilan Pakistan untuk PBB, Munir Akram, mengatakan bahwa Islamofobia telah menjadi sebuah “realita” yang terus meningkat di berbagai belahan dunia. Diketahui, Islamofobia sendiri adalah sikap atau perasaan fobia terhadap (agama) Islam dan umat Islam atau Muslim.

“Tindakan-tindakan seperti diskriminasi, kebencian dan kekerasan terhadap Muslim –baik individu maupun komunitas– mengarah pada pelanggaran serius atas hak-hak asasi mereka (Muslim), dan melanggar kebebasan mereka untuk beragama dan berkeyakinan,” ungkap Akram di depan peserta sidang di Aula Pertemuan Sidang Umum PBB.

“Ini khususnya mengkhawatirkan belakangan ini, karena telah muncul sebagai bentuk baru rasisme yang tercirikan lewat xenofobia (kebencian/ketakutan pada hal yang asing), pandangan negatif dan stereotip (prasangka subyektif) terhadap Muslim,” sambungnya.

Ditegaskan pula dalam resolusi tersebut bahwa terorisme tidak bisa dan tidak boleh diasosiasikan dengan agama, kebangsaan, peradaban, atau etnis mana pun. (mky,net,suara.com)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry