Achmad Murtafi Haris

“Bahasa satir muncul dalam perpolitikan Indonesia mutakhir. Pada pemilu 2019 terdapat cebong, kampret, dan kadal gurun. Belakangan ditambah warga baru dalam perkarangan yaitu bajing(an), musang dan domba.”

Oleh Achmad Murtafi Haris

PADA 1983, Mahbub Djunaidi meluncurkan buku berjudul “Binatangisme”. Ia adalah terjemahan dari “Animal Farm” karangan George Orwell. Dasar Mahbub adalah penulis handal dan kolumnis terbaik Indonesia melebihi Gunawan Muhammad yang ngetop dengan catatan pinggirnya di majalah Tempo, meski itu sebuah karya terjemah, tapi Mahbub mampu membahasakannya laksana tulisan sendiri. Hal itu tampak dari emosi yang muncul saat membaca buku tersebut.

Padahal, buku terjemah sering tidak menimbulkan getaran emosi saat membacanya. Berbeda dengan tulisan Mahbub vibra itu muncul. Demikian juga dengan terjemahannya “Seratus Manusia Paling Berpengaruh di Dunia” yang aslinya berjudul “The 100” karya Michael H. Hart, sang pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu mampu membahasakannya dengan sangat baik dan lugas.

“Binatangisme “ adalah karya satire yang menggambarkan realita kehidupan politik yang menciptakan perbaikan hidup manusia yang untuk mencapainya pelbagai upaya penuh intrik dilakukan. Antara ambisi dan idealisme berkelindan sehingga tidak jelas mana yang benar-benar untuk bangsa dan mana yang menyimpan agenda misi kelompok atau pribadi.

Muhammad Afifuddin Muslich di matapena.id meresensi terjemah Mahbub yang mantan ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu dan menganalogikan dengan realitas politik di Indonesia, sebuah realitas pergulatan yang jamak di dunia politik mana saja.

Berawal dari semangat merdeka dari penjajahan manusia, sang penulis asal Inggris membuat perumpamaan pemimpin piaraan di sebuah pekarangan mengajak memberontak terhadap sang pemilik. Dia berpidato di hadapan warga binatang bahwa manusia telah mengeksploitasi mereka secara kelewat batas. Manusia memberi makan piaraan hanya agar tetap bernafas. Setelah itu mereka akan digorok dan dijadikan santapan manusia. Pemberontakannya berhasil namun sang pemimpin tidak lama kemudian meninggal.

Kemerdekaan diteruskan oleh pengikutnya yang kemudian satu sama lain berebut pengaruh hingga sang pembunuh berkuasa. Sang pembunuh tidak faham melanjutkan program pembangunan yang dibuat oleh yang terbunuh hingga akhirnya dia memimpin secara otoriter untuk memaksakan apa yang dia inginkan demi membangun negara. Sang pemimpin binatang akhirnya berkoalisi dengan manusia yang dahulu digulingkan karena kebutuhan mengisi kekurangan dirinya. Warga binatang pun akhirnya mendapati bahwa mereka hidup di bawah penguasa yang sama memerasnya meski sama dari golongan binatang sendiri.

Bahasa satir juga muncul dalam perpolitikan Indonesia mutakhir. Pada pemilu 2019 terdapat cebong, kampret, dan kadal gurun. Belakangan ditambah warga baru dalam perkarangan yaitu bajing(an), musang dan domba. Enam nama binatang itu menghiasi jagat politik kita dan memenuhi jagat medsos dengan pertarungan kata-kata yang seru dan sadis. Sarkasme yang tidak patut tidak berlaku di jagat medsos yang tidak mungkin tanpa bikin lawan sakit hati dan perih. Lalu-lintas dunia maya dalam diskursus politik berjalan tanpa rambu-rambu. Makian dan umpatan berseliweran dengan aktor binatang-binatang pendukung pilihan politik masing-masing.

Secara naluriah antarwarga binatang tidak bisa melebur satu sama lain dengan mudah. Ada kemistri yang bertolak belakang yang tidak bisa larut satu sama lain. Ada egoisme dalam diri binatang agar mereka bertahan hidup. Tatkala burung berada di atas punggung kerbau, dia kerap mematuk kulit kerbau untuk membersihkan parasit yang ada di kulit kerbau. Sesuatu yang bermanfaat bagi kerbau. Namun tidak jarang dari burung itu yang sambil mengambil darah kerbau dari patukan itu. Sesuatu yang merugikan su kerbau.

Dikutip dari bbc.com, apa yang dilakukan oleh binatang dari sebuah kebaikan terhadap binatang yang lain, seringkali untuk kepentingan sendiri agar mereka mampu bertahan hidup. Minimal ada kepentingan imbal baik seperti dalam kasus herbivora dan burung tadi. Ketulusan kebaikan seekor hewan terhadap lainnya dengan demikian menjadi pertanyaan. Meski demikian terdapat binatang yang rela berkorban untuk keberlangsungan koloni keluarga seperti lebah dan semut. Anggota koloni tidak bereproduksi dan apa yang dilakukan semua anggota adalah untuk sang ratu yang hanya dia yang bereproduksi.

Lebah dan semut adalah contoh yang ekstrim di mana semua mengalah demi kepentingan sang ratu. Di antara binatang yang mau berbagi kepada selain kelompok adalah kelelawar. Selain kepada sesama kelelawar yang membutuhkan makanan dia juga mau berbagi kepada ayam seumpama jika dia mendapati ayam itu dalam keadaan kelaparan. Hal ini dia lakukan karena kelelawar hanya mampu bertahan 36 jam tanpa makan. Ini membuatnya rela berbagi dengan harapan akan dibantu jika dalam kondisi bahaya. Monyet adalah binatang yang memiliki ketulusan berbuat untuk yang lain. Dia kerap membersihkan kutu yang ada di buku temannya.

Michael Platt ilmuan saraf dari Universitas Duke Amerika memindai otak primata itu dan mendapati adanya sel yang berkaitan dengan sifat memberi. Sel ini juga terdapat dalam otak manusia. Ketika manusia ingin membantu sesama yang terkena bencana, sell otak inilah yang menggerakkan.

Charles Darwin pencipta teori evolusi berkata bahwa yang membedakan manusia dari hewan lainnya adalah moralitas. Yang mampu mengembangkan ketulusan manusia dari sekedar seekor primata seperti monyet, adalah evolusi budaya. Jika hewan berevolusi secara biologis dan psikologis, menusia berevolusi plus budaya. Dalam hal ini budaya politik kita mampu berkembang sesuai dengan harapan akan kemaslahatan bersama. Manusia memiliki potensi ketulusan berbuat untuk kebaikan bersama dan bukan semata untuk kepentingan koloni partai. Antara cebong, kampret, kadal, bajing, musang dan domba ada harapan untuk berbaikan satu sama lain karena memang manusia memiliki sel dalam otaknya yang mendorong semua aktor politik dan koloninya untuk bekerjasama satu sama lain demi kemajuan negara dan persatuan bangsa. (*)

Dr Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry