“Sikap perhatian atas korona ini sebaiknya diberlakukan untuk semua penyakit rakyat, termasuk koreng, kudis, panu, demam, jantung, dan “sakit hati” atas kasus Jiwasraya, Asabri, BLBI, dan korupsi yang melibatkan pengurus parpol  yang tampak di atas KPK.”

 Oleh:  Suparto Wijoyo*

HARI-HARI ini saya mendengarkan suara dengung yang sedemikian meraung-raung dalam sistem kosmologi alam semesta. Korona … korona … korona … dikomat-kamitkan selaksa bacaan orang berdzikir dari mulut setiap orang. Simaklah. Seolah ada penggabungan bunyi nun nan sukun alias tanwin dengan suara mbrengengeng selama satu alif seperti yang dikenal kaum santri dalam terminologi idgham bighunnah.

Dengun suara yang semula sayup itu, kini tambah bersahutan menjadi ledakan besar yang mengguncang dunia dan para pemimpinnya bertingkah tergopoh-gopoh. Rakyat dalam segala tingkatan serentak menyuarakan bisik sekaligus teriakan yang membunyikan upaya penanggulangan Covid-19.

Diwartakan tentang  paparan virus korona baru yang telah hinggap di dua warga negara dan hal ini dianggap peristiwa besar karena yang mengumumkan saja “pemimpin besar”, yaitu  Presiden Jokowi.

Dikabarkan ke khalayak ramai mengenai sosok pasien virus korona yang berpenyakit dengan nama resmi Covid-19. Dia adalah seorang  ibu dan anak yang berusia 64 serta 31 tahun yang dibuktikan secara medis terinfeksi dari warga negara Jepang sewaktu menikmati  dansa di malam valentine.

Menjadi Berhala Kata

Serentak segala himbauan dengan bungkus regulasi dari tingkat nasional sampai peraturan kepala wilayah lokal merancang kepedulian atas “siapa saja yang bersentuhan dengan korona”. Bahkan pasien yang terjangkit si korona untuk prosesi penyembuhannya ditanggung negara, termasuk oleh Pemkot Surabaya. Dan sampai pada titik ini korona menjadi kata yang diucapkan dalam setiap ruang dan waktu serta setiap orang yang bernyawa di muka bumi ini.

Korona tetaplah sebuah “kata” yang pengucapannya seragam dengan intonasi yang selaras dengan “dengung sosial” menjadi “gemuruh kebangsaan” selagi menanda ada keberpihakan negara terhadap akibat virus korona.

Korona kini dipanjatkan seperti dalam langgam doa, munajad dan dzikir yang sangat spiritual. Korona diucapkan penuh hikmat kebijaksanaan dengan tanggungan negara.

Korona bergerak cepat menjadi “berhala kata” yang harus diperhatikan negara walaupun secara statistik dapat dibandingkan berapa orang yang mati karena stres tidak mampu bayar ini itu, mati akibat bencana alam, dan mati karena sakit-sakit lainnya, yang justru negara tidak memperhatikan meskipun jelas-jelas “rakyat sekarat” dililit utang negara yang “melebihi” imajinasinya.

Sikap perhatian atas korona ini sebaiknya diberlakukan untuk semua penyakit rakyat, termasuk koreng, kudis, panu, demam, jantung, dan “sakit hati” atas kasus jiwasraya, asabri, BLBI, dan korupsi yang melibatkan pengurus parpol  yang tampak di atas KPK.

Negara memang menurut Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan kepada pemerintah  “untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah”. Kalau memperhatikan data yang ada memang  160 juta   penduduk Indonesia telah turut serta “mendengungkan jiwa” atas korona. Suatu kenyataan “tafsiriyah” yang sungguh membuat tertegun, dan bukan decak kagum.

Bersyukur Atas “Empon-empon

Korona  ternyata  terus merangsek ke jiwa banyak warga negara.  Kenyataan ini mutlak membuat negara beranjak lebih sigap  bergerak. Kita tidak hendak menyaksikan ratusan juta  jiwa itu menjadi angka yang diantrikan nyawanya dalam helatan “dzikir korona”.   Seluruh sendi  negara ini sudah sedemikian  gamblangnya bertutur mengenai korona dengan implikasi sambingan berupa kepanikan nasional. Negara dengan segala alat kelengkapannya memiliki otoritas untuk menjaga warganya terhindar dari virus korona.

Setelah mengetahui seberan virus korona yang masuk tanpa visa maupun pasport itu,  negara mustilah menginisiasi  melakukan penguatan daya tahan warga warga. Negara dapat  membuat road map “daerah kekuasaan korona” yang tidak bertepi itu. Warga yang berada dalam koridor rawan korona akan mudah mendengar suara alam dan beradaptasi dengan realitas alam yang telah dipetakan.

Dalam lingkup inilah, pemimpin  negara musti selalu sadar bahwa kita akan berpaling kepadaNya untuk memperoleh kekuatan dan tuntunan seperti ditulis Ram Charan. Pemimpin hadir dengan gerak lompatnya dalam menyelamatkan rakyat yang lebih mendeskripsikan ruang juang.

Thomas L. Friedman dalam buku The World Is Flat mengisahkan tulisan temannya, Jack Perkowski,   yang menuliskan pepatah Afrika pada lantai pabriknya: Setiap pagi di Afrika seekor gazelle (kijang) terjaga/Ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat dari singa tercepat atau ia akan mati/Setiap pagi seekor singa terjaga/Ia tahu bahwa ia harus bisa mengejar gazelle terlambat atau ia akan mati kelaparan/Tidak peduli apakah kamu seekor singa atau seekor gazelle/Ketika matahari terbit, kamu harus mulai berlar

Dengan sebaran Covid-19 saat ini, negara harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindar, tetapi berlari guna memenuhi hak rakyat atas kesehatan sesuai pesan Pasal 28H UUD 1945. Rakyat harus bebas dari insiden   perkoronaan. Banyak pakar di Universitas Airlangga yang telah merekomendasikan bahwa  keanekaragaman hayatinya Indonesia, rempah-rempahnya, empon-emponnya, apalagi “tanaman tertawa” yang membuat orang “terpingkal kebal korona” alias temu lawak.

Semua itu  menandakan bahwa  nusantara adalah tanah  yang dikreasi penuh obat oleh Tuhan dengan “rempah kekebalan”. Ternyata  “bencana korona” itu sejatinya   adalah cara alam menyapa agar kita ingat dan pandai bersyukur atas “empon-empon”.  Cara semesta menyuarakan pekabaran negara hayati (biodiversity state) dengan kekayaan alamnya. Kekayaan rempah di hutan dengan segala pesona yang romantik di nusantara  merupakan endapan hati yang menyejukkan dari akhir bertajalli ini dengan membaca buku Crazy Little Heaven karya Mark Heyward (2018) sambil berkata dalam satu tarikan nafas: tetaplah pesona percikan surga itu ada di Indonesia.(*)

*Suparto Wijoyo adalah Akademisi Fakultas Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.

 

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry