Keterangan foto pkb.id

SURABAYA | duta.co – Desakan agar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melakukan ‘reformasi’ total, semakin kuat. Bukan saja karena lepas dari misi perjuangan KH Abduurhman Wahid (Gus Dur) sebagai pendiri PKB, partai ini dikhawatirkan bergeser menjadi milik keluarga.

Warning keras itu sudah disampaikan Sekertaris Jenderal (Sekjend) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Saifullah Yusuf atau Gus Ipul. Menurut Gus Ipul, saatnya partai nahdliyin ini melakukan regenerasi, pergantian Ketua Umum. Pergantian ketua umum adalah hal yang biasa di tengah masyarakat demokrasi

Apa yang disampaikan Gus Ipul ini, dalam pandangan pengamat politik adalah hal wajar. Doktor M Sholeh Basyari, Direktur Ekskutif CSIIS (Center for Strategic on Islamic and International Studies) bahkan menilai warining itu sebuah keharusan.

“Kritik tajam Gus Ipul adalah hak warga negara. PKB kalau tidak mau dikritik, wajib mengubah diri menjadi partai keluarga atau partai tertutup. Sebagai lembaga partai terbuka, PKB paralel dengan PT (perseroan terbatas) dalam institusi bisnis. Bukan lembaga bisnis sekelas CV atau bahkan koperasi, maka kritik adalah hal niscaya yang akan terus dihadapi partai mana pun,” kata Doktor M Sholeh Basyari, Direktur Ekskutif CSIIS (Center for Strategic on Islamic and International Studies) kepada duta.co, Jumat (19/4/24).

Menurut Dr M Sholeh, posisi Gus Ipul sebagai Sekjen PBNU menjadi ‘legal standing’ lain yang bukan saja sah, tetapi bahkan harus terus mengawal perjalanan partai yang didirikan oleh PBNU ini. “Sebagai institusi politik, dalam konsepsi hukum Hak Asasi manusia ((HAM), PKB  dengan segala kritik tajam yang dihadapinya bisa dicermati dari sejumlah sisi ini,” terangnya.

Pertama, kritik tajam Gus Ipul adalah bagian dari hak politik warga negara. Pembungkaman atau setidaknya “intimidasi” atas kritik sejenis adalah sebentuk pelanggaran hak.

“Siapapun, lebih-lebih Gus Ipul, memiliki hak politik untuk berbicara, mengkritik, menawarkan gagasan ataupun bahkan mengincar jabatan politik di partai politik (apalagi PKB), yang legalitasnya diakui negara,” terangnya.

Kedua, dalam kontek hak politik, negara dan institusi politik yang legalitasnya diakui negara bertindak sebagai duty bearer (pemangku kewajiban) untuk melakukan pemenuhan (fulfillmen), penghormatan (respeksi) dan perlindungan (proteksi) atas hak mengkritik dan juga hak politik yang lainnya.

“Pembatasan, apalagi pelarangan yang dilakukan PKB terhadap Gus Ipul untuk mengkritik dan mengincar jabatan di PKB, dalam konteks hak politik adalah extra ordinary crime yang pelakunya adalah non-state actor,” urainya.

Ketiga, hak politik dalam konsepsi hukum Hak Asasi manusia (HAM) bersifat non-deregable right, hak yang tidak bisa dikurangi apalagi dihilangkan. Oleh sebab itu, pelanggaran atas hak ini dikategorikan sebagai pelanggaran luar biasa,” pungkasnya mengingatkan. (mky)