Keterangan foto dokumen PDIP Lampung
“Rakyat hanya menjadi obyek politik, di mana suara rakyat ditukar dengan sembako dan uang receh, amanat penderitaan rakyat tidak lagi menjadi alat pijak perjuangan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Oleh Prihandoyo Kuswanto*

BULAN JUNI ditasbihkan menjadi bulan Soekarno, sebab dibulan ini tepatnya tanggal 6 Juni, lahir Bung Karno. Dan oleh pemerintah, 1 Juni diperingati hari lahir Pancasila.

Ironisnya, tidak terdengar kajian-kajian atau bedah pemikiran Soekarno di kampus-kampus. Kata teman saya di Jogya, semakin sepi mamring artinya sepi senyap tidak ada yang bicara.

Kecuali PDIP yang gegap-gempita mengadakan show of force di GBK, Jakarta. Mereka menggunakan pakaian militeristik seakan ada musuh yang harus diperangi? Padahal Soekarno mengajarkan persatuan pada bangsanya, bukan perpecahan, apalagi saling terkam.

Entah bagaimana tercapainya “persatuan” itu, entah bagaimana rupanya “persatuan” itu, akan tetapi kapal yang membawa kita ke Indonesia. Merdeka itu, ialah ….”Kapal Persatuan” adanya. (baca: Di bawah bendera revolusi, hlm. 2)

Rupanya kapal persatuan itu telah oleng dan bocor. Ini akibat badannya persatuan telah digerogoti oleh individualisme, liberalism. Amandemen UUD 1945 telah mengingkari salah satu prinsip yaitu persatuan Indonesia itu.

Logika akal sehat, mana lagi yang kita dustakan kalau cara berdemokrasi kita pertarung kuat-kuatan, kalah-menang, banyak-banyakan suara, post truth (era kebohongan bisa menyamar menjadi kebenaran). Apa bisa persatuan kita bangun dengan permusuhan, kecurangan, tidak adanya kepercayaan antaranak bangsa? Apa bisa?

Sejatinya, banyak yang sudah diwariskan kepada bangsa oleh Soekarno, tetapi sayang pikiran-pikiran Soekarno dan perjuangan Soekarno mendirikan negeri ini, dicampakan begitu saja.

Ironis, hari ini justru kita menjalankan apa yang dahulu oleh Soekarno menjadi perlawanan dalam perjuangan dan pemikirannya. Sekarang kita ganti pemikiran Soekarno itu dengan Individualisme, Liberslisme dan Kapitalisme.

Soekarno dan bapak-bapak pendiri bangsa ini anti terhadap penjajahan dan satu satunya negara yang menuliskan di dalam Preambule UUD 1945. “Bahwa penjajahan harus dihapuskan dari muka dunia karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan“. Penjajahan itu bersumber dari Kolonialisme, Kapitalisme, Liberalisme serta Individualisme.

Saya benci imperialisme. Saya membenci kolonialisme. Dan saya takut konsekuensi perjuangan terakhir mereka untuk hidup. Kami bertekad, bahwa bangsa kami, dan dunia secara keseluruhan, tidak akan menjadi tempat bermain dari satu sudut kecil dunia.” (Soekarno Indonesia menggugat).

Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi “perkakasnya Tuhan”, dan membuat kita menjadi “hidup di dalam rokh”. (Suluh Indonesia Muda, 1928).

Prinsip negara berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa, sekarang hancur akibat amandemen UUD 1945. Sila pertama ini mulai ditinggalkan sehingga Pancasila didikotomikan dengan agama, agama mulai disekulerkan, dan distigma radikal, tentu saja hal demikian justru memecah belah bangsa dari persatuannya. Islamophobia terus digembar-gemborkan sehingga terjadi kecurigaan antaranak bangsa. Miris, bukan?

Padahal: Inti dari nasionalisme kita adalah persatuan yang dilandasi kemanusiaan yang adil dan beradab jelas bukan nasionalisme yang di jiplak dari luar bangsa kita
Nasionalis Kita dari Republik Indonesia dengan tegas menolak chauvinisme itu.
Maka itu di samping sila kebangsaan dengan lekas-lekas kita taruhkan sila perikemanusiaan
. (Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 64)

Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya itu bukan se-mata-mata copy atas tiruan dari Nasionalisme Barat. Tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan.
(Di bawah bendera revolusi, hlm. 5)

Hari ini, sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002, kehidupan berbangsa dan bernegara kita, tidak lagi dilandaskan pada Pancasila tetapi kita saling serang, kekuasaan diperebutkan dengan pertarungan yang serba liberalis dan kapitalistik. Semua diperdagangkan untung rugi. Jadi, jelas ajaran Soekarno sudah menjadi fosil.

Bangsa ini telah kehilangan jatidirinya akibat amandemen UUD 1945. Sudah jelas bangsa yang besar dan tanah ibu pertiwi yang kaya raya, justru salah kelola dengan  mengundang ‘imperalis’ China untuk menjadi tempat bergantung. Hancurlah masa depan kita, Indonesia.

Padahal, ini negara, alat perjuangan kita. Dulu sebelum merdeka, alat perjuangan itu partai. Nah, alat ini kita gerakkan. Keluar untuk menentang musuh yang hendak menyerang. Ke dalam, memberantas penyakit di dalam pagar, tapi juga merealisasikan masyarakat adil dan makmur. (Baca: Pancasila sebagai dasar negara hlm. 60)

Hari ini kita mundur jauh ke belakang. Bahkan jauh seperti Indonesia belum merdeka. Sebab kita tidak meletakkan negara sebagai alat perjuangan, kita kembali pada partai politik yang justru menjadi alat pecah belah dan alat merebut kekuasaan demi dinasti politik, mencengkeram kekuasaan. Kita berlomba-lomba menjadi pendiri dinasti politik dan oligarki.

Lalu? Rakyat hanya menjadi obyek politik, di mana suara rakyat ditukar dengan sembako dan uang receh, amanat penderitaan rakyat tidak lagi menjadi alat pijak perjuangan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita sekarang berada pada demokrasi para borjuis (mementingkan kemewahan) yang serba mahal, menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Sampai kapan begini? Atau sampai hancur lebur republik ini? Di sini ibu pertiwi (Indonesia) menunggu kesadaran kita. (*)

*Prihandoyo Kuswanto adalah Ketua Pusat Study Kajian Rumah Panca Sila.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry