JAKARTA | duta .co – Empat bank BUMN yang tergabung dalam Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) sepakat menggratiskan biaya top-up uang elektronik (e-money). Keempat bank tersebut adalah BNI, BRI, BTN, dan Bank Mandiri. Padahal sebelumnya, ada rencana untuk membebankan biaya setiap nasabah melakukan top up.

Direktur Utama BTN Maryono mengatakan, bank Himbara ingin bahwa biaya top-up dibebaskan. Namun tetap mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur Bank Indonesia sebagai regulator.

“Jika ketentuan diatur, sesuai ketentuan kita tetap melakukan sesuatu simulasi-simulasi. Tujuannya meringankan masyarakat,” tutur Maryono,” ujar Maryono dalam Indonesia Banking Expo 2017 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Selasa (19/9).

Sekedar informasi, hingga semester I 2017 jumlah uang elektronik berbasis kartu atau e-money milik Bank Mandiri tercatat 9,5 juta. Kemudian untuk TapCash milik BNI tercatat 1,5 juta kartu. Lalu untuk Brizzi milik BRI pengguna aktifnya tercatat 6,6 juta user. Sedangkan untuk BCA tercatat sekitar 13,3 juta kartu.

Maryono mengatakan, saat ini empat bank Himbara telah menyepakati pembebasan biaya isi ulang e-money. Hanya saja, jika ditetapkan adanya biaya tambahan untuk top-up, bank Himbara akan patuh pada aturan yang ada.

“Saat ini sedang dikaji hal tersebut (top up e-money gratis). Nasabah bank Himbara dananya sudah mengendap sehingga bank tidak perlu memungut, kecuali nasabah bukan nasabah Himbara,” kata dia.

Dijelaskan, seandainya dilaksanakan ada biayanya, maka itu bukan semata-mata menambah pendapatan bank. “Namun untuk mempermudah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,” tambah Maryono.

Direktur Utama BRI Suprajarto menambahkan, bank Himbara sepakat tidak memungut biaya. Masyarakat akan diarahkan untuk memanfaatkan teknologi yang dimiliki perbankan untuk isi ulang e-money. Misalnya isi ulang melalui mesin-mesin ATM, internet banking, atau mobile banking.

Namun begitu, BI selaku otoritas sistem pembayaran belum memberi pernyataan terkait rencana tersebut. Pasalnya BI baru akan menerbitkan Peraturan BI (PBI) terkait biaya isi ulang e-money dalam waktu dekat.

 

BI Tetap Akan Atur

Sementara itu, Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan bank sentral masih akan mengatur atau menetapkan batas biaya pengisian uang elektronik. Dia menjelaskan nantinya yang diatur adalah biaya isi ulang yang menggunakan fasilitas di luar bank penerbit.

“Kalau isi dengan fasilitas yang sama tidak dikenakan biaya. Selama ini kan kita perhatikan top-up menggunakan fasilitas lain biayanya sangat beragam, nah ini perlu diselaraskan,” ujar Agus pada acara IBEX, di JCC, Selasa (19/9).

Dia mengatakan, hal ini sebagai langkah BI memberikan perlindungan konsumen. Agar tidak ada aksi ambil manfaat yang berlebihan di sistem perekonomian. “Sekarang masih ada tempat yang mengenakan biaya Rp 3.000, Rp 2.000, Rp 2.500 kita akan batasi jadi tidak boleh mengenakan biaya lebih dari jumlah tertentu,” tambah dia.

Dia mencontohkan, nantinya aturan ini akan mirip dengan pembatasan suku bunga kartu kredit.

 

Seharusnya Beri Insentif

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung ada transaksi nontunai dengan e-money. Hal itu untuk mewujudkan efisiensi pelayanan dan keamanan transaksi. Itu juga sejalan dengan fenomena ekonomi digital saat ini.

Namun, hal itu akan kontraproduktif jika BI mengeluarkan peraturan terkait pengenaan biaya top up pada uang elektronik. Menurut YLKI itu akan bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menerangkan, dengan cashless society, sektor perbankan lebih diuntungkan dari konsumen. Lantaran perbankan menerima uang di muka, sementara transaksi atau pembelian belum dilakukan konsumen.

“Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up. Justru dengan model e-money itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif,” ujar dia, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (17/9).

Tulus menuturkan, pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan e-money yang digunakan.”Selebihnya no way, harus ditolak,” ujar dia.

Dia menuturkan, perbankan tidak pantas mengandalkan pendapatan dari top up ini. Dia bilang, seharusnya keuntungan bank berbasis dari modal uang yang diputarnya dari sistem pinjam-meminjam. “YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut,” ungkap dia.

Mantan Country Director TrueMoney Joedi Wisoeda menilai, rencana adanya biaya isi ulang untuk uang elektronik dapat menghambat cashless society. BI seharusnya makin mempermudah dan mendukung percepatan cashless society dengan melalui tahap less cash society.

Ia menuturkan, saat ini pengguna e-money hampir 90 persen dari golongan bankable atau punya akses ke perbankan. Bila dikenakan biaya isi ulang untuk uang elektronik, menurut Joedi dapat membuat uang elektronik menjadi kurang menarik bagi masyarakat yang ubankable. hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry