Keterangan foto sindonews.com
“Penulis dalam hal ini termasuk kelompok kedua dengan alasan bahwa perkara hilal adalah perkara saintifik yang terbuka bagi dialog dan penyamaan perspektif.”

Oleh Achmad Murtafi Haris*

PERBEDAAN penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk penentuan hari raya Idul Adha, tidak kunjung berhenti. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) , Andi Pangerang Hasanuddin, bahkan karena saking emosinya, sampai-sampai mengeluarkan ancaman kepada warga Muhammadiyah yang tidak mau mengikuti hasil itsbat pemerintah.

Sebuah tindakan yang berlebihan yang justru merugikan diri sendiri karena berbuntut laporan ke polisi. Dia lupa pepatah yang meniscayakan perbedaan dalam kehidupan manusia akan selalu ada. “Rambut sama hitamnya dalam hati siapa tahu”. Bisa jadi perbedaan itu justru untuk saling menutupi kekurangan yang lain. Lantaran manusia terbatas oleh sudut pandang dan wawasan pikiran.

Dari posisi mana dia melihat, hal itu menentukan penilaian terhadap obyek. Seperti orang laki melihat wanita tersenyum. Dia kira dia senyum kepadanya ternyata ke lelaki sebelahnya. Posisi laki-laki, perempuan dan orang lain di sebelahnya bisa menimbulkan prasangka yang keliru.

Demikian juga ketika melihat orang berbaju doreng. Orang mengiranya tentara, ternyata Banser. Dia mengiranya tentara karena baginya doreng itu identik dengan tentara. Dia tidak tahu, bahwa di sana ada sayap Gerakan Pemuda Ansor yang berseragam doreng yang bernama Barisan Ansor Serbaguna alias Banser.

Dua hal ini, posisi dan wawasan, berpengaruh membentuk opini seseorang dan berakibat pada benar dan salahnya pandangan. Plato (w. 347SM) sang filusuf Yunani mengatakan, bahwa manusia hanyalah mampu menangkap siluet dari sebuah obyek dan bukan obyek itu sendiri. Untuk mencapai pada penilaian yang tepat dari sebuah obyek manusia harus berusaha mengejarnya sehingga hakekat kebenaran adalah sebuah proses pencarian yang tiada henti.

Bagi Plato, manusia adalah laksana penghuni gua yang melihat bayang-bayang obyek di luar gua. Bayang-bayang apa itu? Sang penghuni gua coba melihat obyek secara langsung tapi tidak mampu karena kakinya dirantai. Gua menunjukkan sempitnya lingkungan yang membentuk wawasan manusia. Sedangkan rantai yang membatasi gerakan manusia adalah panca indera manusia yang memiliki kelemahan yang menghalanginya sampai pada pengetahuan yang benar.

Karena keterbatasan tersebut, kebenaran yang dicapai manusia bersifat relatif dan tidak mutlak. Kebenaran hanyalah sebuah perspektif bukan kebenaran yang hakiki. Jika iya, ia cenderung klaim semata.

Perbedaan penetapan awal Ramadhan dan Syawal demikian juga kiranya. Apa yang dicapai kesemuanya bersifat relatif. Muhammadiyyah yang menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal yang diputuskan bersifat relatif. Pemerintah yang menggunakan metode Imkanur Rukyat juga relatif. Metode Muhammadiyyah yang secara tegas mengatakan bahwa posisi hilal 0,1 derajat menunjukkan sudah ujud adalah relatif (jarak bumi- hilal 384.000km). Posisi 2 derajat pun relatif karena kadang gagal dilihat. Kemungkinan salah selalu ada jika secara kalkulasi di ukuran normal.

Ibarat survei dalam pemilu yang hasilnya berada dalam margin of error dan belum bisa dipastikan siapa pemenangnya. Seperti dalam Pilgub Jatim 2013 di mana mayoritas lembaga survei memenangkan Khofifah vs Soekarwo dengan selisih tipis. Ternyata, penghitungan faktual memenangkan Soekarwo dengan selisih tipis pula. Dari sini margin of error benar-benar terbukti adanya. Ini juga berlaku dalam penetapan hilal di mana derajat yang rendah menghalangi penetapan awal bulan.

Ada beberapa macam relativisme: kultural, sains, dan keyakinan. Relativisme sains seperti yang telah dicontohkan di atas dalam produk hisab dan rukyat hilal. Relativisme kultural adalah penolakan penyatuan budaya yang sejatinya bersifat lokal. Seperti orang Arab suka pakai jubah sementara orang Jawa suka pakai sarung. Masing-masing tidak bisa menilai buruk yang lain karena memang ia menyangkut selera yang tidak sama. Sedangkan “relativisme keyakinan” adalah yang ada dalam ranah agama, di mana masing-masing pemeluk mengklaim agamanya yang paling benar tanpa boleh menyalahkan yang lain.

Pertanyaannya, apakah urusan penentuan awal hilal berada dalam ranah relativisme keyakinan yang bersifat subyektif-komunal yang tidak patut disatukan antarkelompok umat Islam di Indonesia? Dan apakah penyatuan awal hilal melanggar relativisme keyakinan yang menjunjung kebebasan beragama dan beraliran?

Bagi pengusung pluralisme, perbedaan adalah anugerah dan karenanya tidak perlu ada penyatuan kriteria awal hilal untuk tujuan penyamaan awal puasa dan hari raya. Biarkan Muhammadiyyah memegang kriteria wujudul hilal 0,1° dan Mabims 3°. Tokoh seperti Gus Dur dan Hasyim Muzadi mendukung sikap bebas ini. Begitu pun Abdul Mukti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyyah, yang menganggapnya bagian dari ibadah mahdah yang bersifat komunal.

Sementara ada yang berpandangan bahwa upaya untuk penyatuan tetap harus diupayakan karena ia menyangkut kepentingan orang banyak yang negara perlu hadir di sana. Seperti yang dianut oleh KH. Makruf Amin, Wakil Presiden RI, yang berkata bahwa upaya akan terus dilakukan untuk penyatuan itu.

Ustadz Abdul Somad termasuk dalam barisan ini. Dia berkata: “baik NU mau pun Muhammadiyyah dan lain-lain harus duduk bersama untuk membahas awal Ramadhan dan Syawal. Mereka mau baku hantam saat rapat tertutup, terserah. Yang penting keputusan yang keluar adalah satu!”

Hal ini juga sejalan dengan hadis sahih dari Abu Hurairah riwayat Tirmidzi: “puasa adalah hari saat kamu berpuasa; Idul Fitri adalah hari kamu makan, dan Idul Adha adalah hari kamu menyembelih”.

Dalam Mawsu’ah al-Haditsiyyah disebutkan, bahwa hadis tersebut terkait dengan kebersamaan dalam melaksanakan puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha. Kesalahan dalam penentuan awal hilal dimaafkan karena kebersamaan lebih utama (daripada perbedaan pandangan kelompok).

Penulis dalam hal ini termasuk kelompok kedua dengan alasan bahwa perkara hilal adalah perkara saintifik yang terbuka bagi dialog dan penyamaan perspektif. Ia bukan seperti tata cara shalat dan ibadah mahdah yang mengandalkan teks hadis dan dalil naqli dengan pemahaman yang cenderung komunal dan tidak bisa diberlakukan untuk yang bukan kelompoknya atau yang tidak semazhab. https://dorar.net/hadith/sharh/134257. (*)

*Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry