PAPARAN. Wali Kota Mojokerto Ika Puspitasari bersama Kepala Dinkes PPKB Kota Mojokerto dr Triastutik Sri Prastini Sp.A saat paparan Audit Kasus Stunting.

MOJOKERTO | duta.co – Prevalensi stunting di Kota Mojokerto terus menunjukkan trend penurunan, bahkan menjadi terendah se Jatim dan nomor dua secara nasional. Namun itu semua tak menjadikan puas hati, Pemkot Mojokerto terus berburu untuk mendapatkan predikat zero stunting.

“Berdasarkan SSGI tahun 2021, prevalensi stunting Kota Mojokerto berada pada angka 6,9%. Memang angkat ini terendah ranking satu se Jawa Timur. Namun tidak menjadikan kita berpuas hati,” ujar Wali Kota Mojokerto, Ika Puspitasari saat Audit Kasus Stunting Kota Mojokerto di Sabha Mandala Madya, Kantor Pemkot Mojokerto, Senin (29/8) pagi.

Menurut Ning Ita (sapaan akrab wali kota), sudah seharusnya yang merupakan kota kecil, dengan jumlah penduduk tidak terlalu banyak, kota Mojokerto harus bisa menjadi barometer dalam tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik terbaik di Indonesia. “Ini tentu bukan suatu cita-cita yang muluk-muluk,” tandasnya.

Dari capaian di 2021, di bulan Februari 2022 data yang dirilis sudah mengalami penurunan kembali. Artinya, komitmen yang dikuatkan bersama-sama membuahkan hasil. “Di bulan Februari 2022 berdasarkan data yang dirilis, kita sudah di angka 5,95% untuk prevalensi stunting,” katanya.

Pada bulan September 2022 akan ada survei nasional lagi. “Harapannya nanti angka prevalensi stunting harus di bawa 5,59%. Karena ini menjadi bukti komitmen kita bersama untuk menjadikan kota Mojokerto zero stunting,” tandasnya.

Untuk mewujudkan itu, Ning Ita meminta Dinkes P2KB Kota Mojokerto selaku leading sector mampu memetakan kondisi kasus stunting per kelurahan untuk menentukan intervensi yang tepat.

“Intervensinya harus tepat karena penyebabnya tentu berbeda-beda. Kalau penyebabnya keluarga miskin maka solusi di fokuskan dengan pemberian bantuan dari Pemkot melalui Dinsos P3A. Jika karena pola asuh maka Dinkes sinergi dengan TP PKK melakukan pendampingan. Dan jika karena pernikahan dini maka perlu sinergi dengan Kemenag, kita hadirkan untuk intervensi kasus tersebut,” katanya.

Sedangkan Kepala Dinkes P2KB Kota Mojokerto dr Triastutik Sri Prastini mengatakan berdasar data identifikasi yang terkumpul dari seluruh Puskesmas sebagian besar kasus stunting Kota Mojokerto berasal dari keluarga miskin.

“Jika ditarik kebelakang lagi, sebanyak 24 persen dari ibu dengan balita stunting, mereka hamil dengan risiko tinggi yang menikah pada usia dini. Dan 14 hingga 19 persennya, lahir dengan berat badan rendah yang berisiko stunting,” jelasnya.

Masih kata Trias, pencanangan zero stunting oleh Wali Kota Mojokerto diharapkan tidak ada temuan kasus baru lagi. Untuk mewujudkannya, butuh upaya sinergitas dari seluruh lintas sektor.

“Agenda kali ini yang melibatkan seluruh tim audit kasus stunting kita arahkan untuk mengidentifikasi faktor risikonya apa dan melakukan analisa pencegahan serta perbaikannya,” pungkasnya. (ywd)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry