Keterangan foto dailynewsindonesia.com

SURABAYA | duta.co – Prof Dr H Rochmat Wahab, MPd, MA, guru besar Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), menilai, maraknya pemahaman agama yang menjurus pada radikalisme-terorisme, tidak lepas dari gagalnya Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) dalam mengawal proses belajar mengajar, khususnya di perguruan tinggi.

“Ini tidak cukup (hanya) diselesaikan dengan melarang dosen agama di fakultas umum agar tidak mengajarkan aqidah dan syariah. Tidak bisa. Ini semua karena ada keteledoran Kemenag RI dalam mengawal proses pendidikan anak didik, terutama di perguruan tinggi, sehingga gagal menanamkan Islam yang rahmatan lilalamin,” demikian disampaikan Prof Dr H Rochmat Wahab, kepada duta.co, Selasa (6/4/21).

Sebelumnya, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj meminta dosen agama di fakultas umum tingkat universitas untuk tidak terlalu banyak mengajarkan Aqidah dan Syariah. Menurutnya, hal itu dapat meningkatkan risiko peningkatan radikalisme.

“Bagi dosen agama yang mengajar agama di bukan fakultas agama, tidak usah banyak-banyak bincang aqidah dan syariah. Cukup dua kali pertemuan. Rukun iman dan (rukun) islam,” kata Kiai Said Aqil dalam sebuah diskusi daring, Senin (5/4).

“Kecuali (jurusan) ushuluddin, kecuali (jurusan) fiqih atau tafsir hadis. Itu terserah, itu harus mendalam. Tapi kalau dosen yang mengajar di fakultas yang umum, Teknik, hukum misalkan enggak usah banyak-banyak tentang aqidah dan syariah, cukup dua kali,” tuturnya. Kenapa? “Kalau ini diperbanyak, nanti isinya, surga-neraka, Islam, kafir, lurus, benar, sesat. Terus-terusan bicara itu radikal jadinya,” ucap dia seperti dikutip cnnindonesia.com.

Tetapi, menurut Prof Rochmat, masalahnya tidak sesederhana itu. Penguatan pemahaman aqidah-syariah, ini penting. Setiap mahasiswa, sebelum memasuki masyarakat umum, harus mantap dulu pemahaman aqidah-syariahnya. “Ketika menjadi bagian dari warga masyarakat, tanpa memiliki bekal agama yang baik, maka, akan mudah mengalami problem sosial. Ini tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain,” tegasnya.

Karena itu, tambah Ketua Komite Khitthah Nahdlatul Ulama 1926 (KKNU-26) itu, kampus mengharuskan mahasiswa menguasai aqidah dan syariah dengan benar. “Radikal dalam pengamalan ajaran agama, itu bagus. Yang salah adalah radikal menyalahkan orang lain, sehingga menimbulkan intoleran dan terorisme. Ini berbahaya,” urainya.

Masih menurut Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016, jika dirunut lebih jauh, maka, pelaku terorisme itu bukan hanya dari kalangan umat Islam, semua agama, ada. Dan itu karena kedangkalan mereka memahami ajaran agama tersebut.

“Misalnya, kalau di Islam, ada anak belajar agama hanya sebatas dasar-dasar saja, hanya khatam Iqro’. Tidak pernah belajar lagi, bagaimana agama mengajarkan toleransi, kerukunan, hubungan dengan sang Kholiq dan sesama makhluk. Sudah begitu, di perguruan tinggi ada beberapa dosen agamanya yang terbatas dalam memberikan pemahaman aqidah-syariahnya, maka, anak didik (mahasiswa) ini akan menjadi mentah. Bukan tidak mungkin, mereka menghukumi yang lain, salah, kafir,” tegasnya.

Jadi, menurut Prof Rochmat, masalah ini tanggungjawab bersama. Kemenag RI bertanggungjawab dan harus mau introspeksi. “Seluruh dosen agama atau PAI (Pendidikan Agama Islam) di Perguruan Tinggi umum, itu menjadi tanggungjawab Kemenag RI. Termasuk menjaga kwalitas dosen. Kalau ini perhatikan serius, insya-Allah bisa mengurangi pemahaman aqidah-syariah yang keliru, bisa mengurangi aksi terorisme atas nama agama,” tegasnya.

Ia juga menyebut sistem kredit semester (SKS) yang ada di perguruan tinggi. Ini harus dikaji ulang. Apakah sudah cukup atau belum. Disamping itu, Kementerian Agama RI perlu memberikan kwalitas dosen Agama di perguruan tinggi umum yang mumpuni, guna membumikan pemahaman Islam yang moderat, toleran. “Selama ini, kurang mendapat perhatian,” tandasnya.

Bicara soal kwalitas dan kwantitas dosen PAI, tambah Prof Rochmat, memang belum memadai. Kemenag RI selama dinilai kurang peduli dengan rasio dosen dibanding jumlah mahasiswa. Dampaknya seperti sekarang, ada hambatan untuk memantau dan membimbing kegiatan agama mereka.

“Penambahan SKS, di samping untuk peningkatan pemahaman aqidah dan syariah juga akan memperkuat akhlaq serta Islamisasi Sain. Ini juga bisa bermanfaat sebagai penguatan ibadah mahdloh, memastikan mereka jauh dari pemahaman yang sesat,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry