Prihandoyo Kuswanto

“Mengapa kita sekarang menjadi negara tidak berdaya. Negara lemah terhadap China dan apa yang diinginkan, kita seakan tidak mampu menolaknya.”

Oleh Prihandoyo Kuswanto

BAGI KITA, anak bangsa cinta negeri ini, tentu, kecewa atas delapan kesepahaman yang telah ditandatangani Presiden Jokowi dan Presiden China Xijimping. Bagaimana tidak? Kesepahaman itu tidak setara dan merugikan Indonesia, apalagi menyerahkan Ibu Kota Negara dari perencanaan sampai pembangunannya pada China (pasra bongkokan).

Apa tidak berbahaya? Bagaimana menurut Menhan dan Panglima TNI, kalau itu merupakan penyelewengan? Kok diam tidak ada yang bereaksi? Apa pada UU IKN memang ada pasal yang membolehkan Ibu Kota Negara ‘dijahitkan’ pada Negara Asing?

Dan yang lebih aneh, semua lembaga negara bisu. Ngak (tidak) ada yang memberikan pandangan apalagi partai politik, kesannya, yang penting dapat bagian.

Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 kemudian memporakporandakan sistem berbangsa dan bernegara ideologi Pancasila diganti dengan individualisme, liberalisme, kapitalisme, kekuasaan tidak lagi dimusyawarahkan, tetapi dipertarungkan dengan banyak banyakan suara, kalah menang, kuat-kuatan, tipu-tipuan, kaya-kayaan. Yang banyak uang bisa beli demokrasi. Semua serba transaksional (wani piro).

Negara tidak lagi menggunakan konstitusi. Apa, kewenangan Presiden Jokowi sebagai kepala negara menandatangani kesepahaman dengan China? Dasarnya apa? Tentu sebagai kepala Negara, ada pasal (konstitusi) tentang kewenangan kepala negara di UUD 2002 itu? Apa?

Indonesia adalah negara hukum, bukan, negara kekuasaan. Terus tentang kekuasaan Kepala Negara itu ada di pasal berapa? Sehingga mempunyai kewenangan ‘menjual’ IKN pada China? Apa Menkopolhukam bisa menjelaskan pasal berapa kewenangan kepala negara itu? Penting, agar rakyat tahu!

Nenek moyang kita saja, Eyang Kertanegara atau dikenal dengan Sri Maharaja Kertanegara dipandang sebagai penguasa Jawa pertama yang punya keinginan besar menyatukan nusantara, tidak seperti itu. Tidak mudah menyerah.

Dia merupakan raja terakhir yang memerintah Kerajaan Singasari. Kertanegara adalah putera Wisnuwardhana, Raja Singasari tahun 1248-1268. Ibunya yakni Waning Hyun yang bergelar Jayawardhani. Waning Hyun adalah putri dari Mahisa Wunga Teleng (putra sulung Ken Arok, pendiri Singasari, dari Ken Dedes).

Kepemimpinanya diakui sampai Mongol. Bahkan, kemasyhuran Kertanegara ini memancing penguasa Mongol, yaitu Khubilai Khan untuk mengirim utusan ke Singasari. Tujuannya meminta sang raja mengakui kekuasannya. Namun keinginan Khubilai Khan tak begitu saja dikabulkan. Raja Kertanegara yang sadar akan keagungannya dan kekuasannya, tidak sudi menyerah.

Utusan Mongol terakhir datang pada 1289. Namun, mukanya dirusak dan telinganya dipotong oleh Kertanegara. Akibatnya Khubilai Khan murka, ia mengirim angkatan perang Mongol berlayar menuju Jawa pada 1292. Mereka dipimpin oleh Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing.

Kitab Negarakartagama menuliskan, Kertanegara disebutkan telah menguasai seluruh Jawa, Sunda dan Madura. Ia mengirim ekspedisi militer ke Malayu, menguasai Pahang di Semenanjung Malayu, juga menaklukkan Bali dan memboyong rajanya sebagai tawanan pada 1284.

Mongol sampai ke Majapahit pada 1 Maret 1293. Sebelumnya, mereka mendarat di Tuban, mendirikan perkemahan di tepi Sungai Brantas. Namun peta perpolitikan di tanah Jawa telah berubah. Raja Kertanegara telah tewas dibunuh oleh Raja Jayakatwang dari Kediri. Hal tersebut tidak diketahui oleh Jenderal Ike Mese.

Serangan Mongol ke Jawa adalah sebuah invasi militer oleh pasukan Mongol yang berasal dari China untuk menyerang Jawa. Serbuan yang dilakukan pada 1293 ini dipimpin oleh Kubilai Khan, penguasa Kekaisaran Mongol dari Dinasti Yuan.

Kala itu, Kubilai Khan mengirim sekitar 30.000 tentaranya ke Jawa untuk menghukum Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari. Namun, serangan besar-besaran ini justru berakhir dengan kekalahan Mongol.

Dengan kecerdikan Raden Wijaya, pasukan Mongol terpaksa harus mundur dan meninggalkan tanah Jawa kembali ke China. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 31 Mei 1293 di Jawa, tepatnya di wilayah Surabaya.

Bukankah bangsa ini, bukan bangsa tempe. Di mana kita mempunyai nenek moyang gagah perkasa, di mana saat itu seluruh dunia takluk dengan Monggol termasuk Jazira Arab tunduk pada Monggol, tetapi tidak dengan bangsa Jawa.

Raden Wijaya mampu mengusir Mongol, dan harus meninggalkan Jawa.

Mengapa kita sekarang menjadi negara tidak berdaya, lemah terhadap China dan apa yang diinginkan, kita seakan tidak mampu menolak.

Bagaimana dengan Nikel yang dijual hanya 35 dolar padahal di Sanghai 85 dolar, belum lagi dibebaskan pajak selama 30 tahun sudah begitu masih menyelundupkan 5 juta ton biji nikel ke China. Dan kita tidak mampu protes, apalagi memotong telinga seperti yang dilakukan Kertanegara.

Belum lagi gas canggu yang dijual murah ke China. Kurtubi memberi contoh, ekspor gas bumi ke China sudah terjadi selama bertahun-tahun dengan harga yang sangat murah yakni hanya US$ 4 per mmbtu (Million Metric British Thermal Unit).

“Padahal harga pasar gas dunia saat ini adalah US$ 20 per mmbtu. Tentu mengekspor gas ke China sangat merugikan negara, Sementara rakyatnya disuruh antre untuk beli gas. Sementara China diberi harga murah.”

Semua ini harus dihentikan. Kita tidak perlu membangun IKN tergesa-gesah. Biarlah nanti anak-anak bangsa sendiri yang membangun dan dibangun dengan rasa nasionalisme yang tinggi. Tidak perlu ‘menjahitkan’ Ibu Kota Negara ke China. Dan tidak perlu mengubah bahasa persatuan Indonesia dengan bahasa China.

Kalau ada pemimpin yang menyerahkan pekerjaan (IKN) itu ke China, harusnya  pemimpin demikian mendapat stigma tolol, karena melakukan hal yang demikian. Buka dadamu? Mana Nasionalisme Kebangsaanmu yang selama ini selalu menjunjung Soekarnoisme? Ternyata semua itu hanya pecundang. (*)

*Prihandoyo Kuswanto adalah Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Panca Sila.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry