SURABAYA | duta.co – Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan putusan terkait perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Pilpres) Tahun 2024 pada Senin (22/04/2024). Terdapat dua perkara yang akan diputus oleh Mahkamah, salah satunya adalah perkara No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan oleh pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Menurut Prof. Dr. H. Sunarno Edy Wibowo, S.H., M.Hum., pakar hukum yang sedang menangani kasus dugaan korupsi tambang timah Harvey Moeis, ini mengatakan, “Pandangan hukumnya bersesuaian dengan Undang-Undang 24 Tahun 2003, bahwa hubungannya dengan hal-hal penelitian tentang pemilu PHPU, terutama perihal penghitungan suara, dapat dilakukan, tetapi keputusan akhir ada pada hakim. Apapun keputusannya, itu harus mempertimbangkan nilai-nilai dalam masyarakat,” ungkap Prof. Bowo

Prof. Bowo, yang juga merupakan Guru Besar di Universitas Narotama dengan gelar Profesor dari ASEAN University International, Malaysia, menyatakan mengingat hal ini merupakan bagian dari undang-undang yang sudah ada sejak tahun 2004. “Yang sebetulnya ada namun terlambat diajukan karena ada batas waktu 30 hari atau 3 bulan untuk mengajukan keberatan,” tambahnya.

Namun, ada pertanyaan besar tentang etika Hakim Mahkamah Konstitusi yang menangani kasus ini. Ada 21 hakim di MK, dimana 15 di antaranya dipimpin oleh Anwar Usman, sedangkan yang lainnya adalah 8 hakim. “Seharusnya, untuk kasus Pemilu, ada satu produk ad hoc, tapi selama ini hanya ada 8,” ungkapnya.

Ini memunculkan pertanyaan etika dalam putusan hakim, di mana ketidakprofesionalan dalam etika dapat menyebabkan keraguan terhadap keputusan yang diambil.

Meskipun begitu, Prof. Bowo menegaskan bahwa putusan nomor 90 tersebut hanya terbatas pada pemilu tahun ini, sementara perkara lainnya masih bisa diputuskan oleh 8 hakim tersebut. “Ini menjadi persoalan berat, terutama jika ada gugatan terus-menerus. Ini bukan terobosan, tetapi merupakan norma-norma yang ada dalam penentuan hakim,” jelasnya.

Ketika ditanya tentang gambaran sidang putusan kali ini, Prof. Bowo menjelaskan bahwa tidak bisa dipastikan apakah putusan nantinya akan diterima atau ditolak. “Semua tergantung dari hakim MK. Mereka punya kewenangan mutlak,” tambahnya.

Dengan penantian semua pihak terhadap putusan MK, terutama dalam konteks kepastian politik dan kestabilan negara, menjelang akhir pengumuman tersebut, banyak pertanyaan yang masih mengemuka. Apakah akan ada pemunculan satu figur yang akan diangkat sebagai pemimpin negara jika salah satu pihak menang atau kalah? Apakah akan ada konsekuensi politik jika putusan MK menolak hasil pilpres? Semua ini menunjukkan bahwa persidangan putusan MK kali ini sangat menentukan bagi arah politik dan hukum negara ke depannya. Semua menanti putusan akhir dari Mahkamah Konstitusi Indonesia, sebagai pilar keadilan tertinggi di Indonesia. (gal)