Keterangan foto liputan6.com

“Dengan kenyataan ini, perlu diambil langkah luar biasa yang mampu mengubah secara drastis nasib olahraga kita. Faktor fisik yang “kurang” mendukung barangkali adalah penyebab itu sehingga perlu mendapat perhatian khusus.”

Oleh Achmad Murtafi Haris*

MENYAKSIKAN siaran langsung kejuaraan voli dunia di layar televisi, terbersit fikiran tentang nasib olahraga di Indonesia. Saat itu yang bertanding adalah tim putri Brazil lawan Jepang. Kata sang anak yang kebetulan pecinta bola voli, Jepang termasuk 10 besar dunia. Juara dunia putri direbut Amerika Serikat sementara laki direbut Brazil. Warga Jepang yang dahulu di tahun1940-an terkenal pendek, sekarang postur atlet merekatinggi-besar setara warga Amerika dan Eropa.

Dalam dunia olahraga, postur tinggi besar tidak bisa dihindari kebutuhannya. Biar pun di sana ada sang legendaris Diego Armando Maradona yang pendek namun berprestasi setinggi langit di cabang sepak bola, namun ia adalah pengecualian. Di mana kekurangan fisik ditutupi oleh keahlian yang luar biasa. Selain, kebetulan sepak bola adalah jenis olahraga yang tidak terlalu membutuhkan tinggi badan. Tapi untuk jenis olahraga yang lain, seperti bola voli dan basket, maka hal itu tidak terelakkan.

Dulu ketika postur warga dunia rerata tidak setinggi warga Eropa dan Amerika, prestasi atlet  Indonesia di manca negara cukup memukau. Di era Presiden RI pertama, mereka benar-benar sekelas atlet barat. Pada Olimpiade 1956 di Melbourne Australia, timnas sepak bola Indonesia masuk perempat final dan bermain imbang melawan Uni Soviet atau Rusia sekarang. Indonesia yang semula diperkirakan akan dikalahkan dengan mudah ternyata tampil di luar dugaan. Strategi pertahanan berlapis membuat tim Uni Soviet yang merupakan salah satu tim terkuat di dunia terpaksa harus menerima hasil imbang. Presiden FIFA memuji penampilan Indonesia dan kehebatan menjadi  perbincangan ramai selama perhelatan berlangsung.

Pada perhelatan GANEFO (Games of New Emerging Forces) pada 1962, perhelatan olahraga tandingan  olimpiade,Indonesia menduduki peringkat ketiga di bawah Cina dan Uni Soviet. Tidak hanya sebagai penggagas dan penyelenggara yang sukses yang mampu menghadirkan 46 negara dengan 2.700atlet, namun prestasi Indonesia sungguh setara negara maju.

Di era Soeharto, meski tidak sedigdaya era Soekarno, era itu masih bagus. Setidaknya dalam 9 kali ajang olahraga Asia Tenggara,SEA GAMES, Indonesia menjadi juara umum. Pada Olimpiade 1992 Indonesia menduduki rangking 24 sementara era sekarang, Olimpiade Rio 2016, Indonesia berada pada peringkat46.

Pada era reformasi prestasi olahraga Indonesia semakin menurun. Di tingkat Asia Tenggara di ajang SEA GAMES, Indonesia bukan lagi yang diunggulkan. Hanya pada 2011 saat menjadi tuan rumah Indonesia menjadi juara umum. Negara-negara ASEAN yang pada era Soekarno, laksana anak kecil dibandingkan Indonesia yang sudah bapak, kini justru menyalip sang bapak. Thailand rutin bertengger di atas dan Vietnam bakal menyusul.Kesuksesan besar Indonesia di era reformasi hanya mampu diraih saat Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang di mana Indonesia menduduki peringkat 4 setelah Cina, Jepang dan Korea Selatan. Cabang Pencak Silat ada di balik sukses itu dengan menyumbang 14 emas.

Dengan kenyataan ini, perlu diambil langkah luar biasa yang mampu mengubah secara drastis nasib olahraga kita. Faktor fisik yang “kurang” mendukung barangkali adalah penyebab itu sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Setidaknya jika melihat performa tim sepak bola kita lawan Thailand dan Vietnam, nampak bahwa fisik kita kalah dengan mereka. Bicara fisik terkait erat dengan pola makan. Untuk itu perlu ada “revolusi”pola makan agar warga Indonesia, khususnya para atlet berstamina tinggi dan menang adu fisik.

Pengalaman penulis bergaul dengan banyak warga mancanegara, terutama saat studi di Mesir, menunjukkan bahwa postur warga Indonesia tergolong pendek kalau bukan yang terpendek. Dibandingkan dengan Malaysia, termasuk atletnya, postur warga dan atlet Indonesia lebih pendek dan kecil. Untuk itu revolusi pola makan perlu digaungkan setingkat Revolusi Mental Jokowi. Nasi sebagai makanan pokok perlu ditinjau ulang.

Ada studi yang mengatakan bahwa nasi yang berlebih akan menjadi masalah kesehatan seperti diabetes dan kekurangan akan vitamin. Untuk mengatasinya perlu bergeser ke nasi merah, hitam atau cokelat yang lebih bernutrisi. Atau dengan memperbanyak sumber protein nabati, hewani dan buah(lihat bobo.grid.id).

Dalam artian bahwa konsumsi nasi sebisa mungkin dikurangi secara drastis atau diganti dengan yang lain sebagai sebuah langkah perubahan besar. Di sana banyak makanan pokok selain nasi, seperti jagung, umbi-umbian, singkong, kentang dan gandum sebagai alternatif. Meski dalam hellosehat.com dijelaskan bahwa semua jenis makanan pokok memiliki plus-minusnya masing-masing, tapi perlu kiranya dipertimbangkan perubahan itu. Proporsi 1/3 karbohidrat (nasi), 1/3 sayur dan 1/3 lauk dan buah perlu dirubah dengan memperbanyak lauk atau bagaimana agar terjadi peningkatan postur tubuh yang mendekati postur warga negara maju.Janganlah faktor genetik dijadikan alasan di balik itu. Toh Jepang yang dahulu pendek sekarang buktinya tinggi! Mengapa mereka bisa, kita tidak!

*Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry