Keterangan foto merdeka.com

Pemindahan Markas Besar Liga Arab dan boikot negara-negara Arab atas Mesir tidak dihiraukan oleh Anwar Sadat hingga dia akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa “Mesir adalah ibunya Arab. Dari itu hendaknya dunia Arab ikut Mesir bukan sebaliknya”.

Oleh Achmad Murtafi Haris*

KONFLIK Arab-Israel sejak 1948 — saat Israel mendeklarasikan berdirinya negara — belum berhenti hingga sekarang. Konflik fisik dalam arti perang militer sebenarnya telah menurun drastis semenjak Mesir berhasil merebut kembali dataran tinggi Sinai pada 1973 yang dicaplok oleh Israel pada perang 1967.

Kemenangan Mesir yang kemudian disusul dengan perdamaian Mesir-Israel mengawali babak baru konflik dari perjuangan angkat senjata ke perjuangan diplomasi.

Inisiasi presiden Mesir, Anwar Sadat, untuk berdamai dengan Israel menuai kecaman hampir seluruh dunia Arab. Mesir pun dikucilkan dari Liga Arab dan kepemimpinan yang selama ini dia pegang dialihkan ke Tunisia. Demikian juga dengan markas Liga Arab dipindahkan dari Kairo ke Tunisia. Penolakan atas keputusan Sadat bukan hanya dari koalisi Arab: Suriah, Irak, Libia, Yaman, Aljazair, yang kesemuanya pernah berada dalam satu kepemimpinan Gamal Abdel Naser, juga penolakan muncul dari dalam negeri Mesir sendiri di mana menteri luar negeri Muhammad Ibrahim Kamil mengundurkan diridiri setelah ditandatanganinya perjanjian Camp David pada 17 September 1978.

Menurutnya, perjanjian itu tidak adil sama sekali karena tidak mencantumkan kewajiban Israel menarik dari dari Tepi Barat, Gaza, dan tanah yang didudukinya dan tidak adanya jaminan warga Palestina untuk mendapatkan hak sepenuhnya. Yasser Arafat pemimpin kemerdekaan Palestina (PLO) marah dan berkata: “biarkan mereka menandatangani apa saja semaunya, perdamaian yang palsu tidak akan berlangsung lama”.

Pemindahan Markas Besar Liga Arab dan boikot negara-negara Arab atas Mesir tidak dihiraukan oleh Anwar Sadat hingga dia akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa “Mesir adalah ibunya Arab. Dari itu hendaknya dunia Arab ikut Mesir bukan sebaliknya”. (Mesir ibunya Arab adalah karena nenek moyang Arab adalah siti Hajar istri kedua nabi Ibrahim yang berasal dari Mesir. Dia melahirkan Ismail yang menurunkan bangsa Arab. Sementara Siti Sarah melahirkan Ishak yang menurunkan bangsa Israel yang juga besar di Mesir [seperti nabi Yusuf, deputi Firaun, yang terkenal ganteng dan nabi Musa]).

Selain itu, penduduk Mesir (100 juta) jauh lebih banyak dibandingkan populasi negara Arab yang lain (22 negara) yang di bawah 40 juta dan banyak yang di bawah 5 jutaan. Kebesaran Mesir baik sejarah mau pun populasi menjadikan pengucilan Mesir menjadi problem bagi Arab sendiri dalam hal kepemimpinan. Hingga pada 1989 setelah sepuluh tahun, Mesir kembali memimpin Arab dan markas besar Liga Arab kembali ke Kairo.

Anwar Sadat bertahan dengan keputusan berdamai dengan Israel tentu karena pertimbangan yang dalam. Bagaimanapun yang paling banyak berkorban melawan keberadaan Israel adalah Mesir bukan negara lain. Negara Arab yang lain berkontribusi terlalu kecil jika dibandingkan dengan Mesir. Puluhan ribu nyawa tentara melayang, ratusan pesawat tempur dan tank hancur dan Mesirlah yang benar-benar tahu kekuatan Israel.

Karenanya Sadat merasa bahwa boikot dan pemutusan diplomasi negara-negara Arab atas Mesir adalah keputusan yang tidak matang. Bagi Sadat, yang perang adalah Mesir dan yang mati adalah pejuang Mesir, mengapa juga yang hanya penonton memaksa pemain untuk terus bertarung. Kedaulatan Mesir tidak bisa dibatasi oleh keputusan bersama Liga Arab meski klausul itu ada.

Selain ditentang pemimpin dunia Arab, kelompok Islam garis keras juga melakukan perlawanan terhadap keputusan Sadat. Hingga pada 1981, saat parade militer peringatan menang perang 1973, tiga perwira yang ikut parade tiba-tiba melompat dari mobil tentara yang sedang parade depan panggung kepresidenan dan mendekat ke presiden Anwar Sadat dan memuntahkan peluru dari senjatanya dalam jarak dekat dan gugurlah presiden Anwar Sadat saat itu.

Sebelum kejadian itu, Sadat berpidato di depan parlemen dan menyampaikan pandangannya atas al- Ikhwan al- Muslimun dan Jama’ah Islamiyah dan sikapnya yang tegas terhadap mereka. Sadat di atas podium membacakan artikel-artikel di media oposisi yang banyak memuat tulisan kelompok Islam ideologis yang dinilainya menyebarkan kebohongan publik dan kebencian terhadap pemerintah. Saat terjadi revolusi 23 Juli 1952 yang menumbangkan sistem kerajaan Mesir oleh para perwira Mesir dengan pimpinan Gamal Abdel Nasser, oleh Ikhwan ia dianggap sebagai skenario Amerika untuk menguasai Mesir. Oleh Sadat dibantah dan menyebutnya dengan revolusi besar seperti Revolusi Prancis yang menumbangkan sistem kerajaan Prancis dan Revolusi Amerika yang mengusir kerajaan Inggris dari negara itu.

Sadat berkata bahwa Ikhwan diajak untuk ikut serta dalam revolusi itu tapi menolak. Gamal Abdel Nasser menemui mursyid Ikhwan untuk diajak gabung tapi menolak dengan alasan akan menimbulkan fitnah. Tokoh Ikhwan menulis di media yang menyebut adanya operasi CIA di balik revolusi itu. Sadat kecewa dengan sikap Ikhwan dan berkata: “Kalau tahu begitu seharusnya Ikhwan tidak usah diajak dalam aksi nasional apapun. Biarkan mereka hidup sendiri dengan fikirannya”.

Saat peresmian pembukaan Kanal Suez setelah berhasil merebutnya dari Inggris dan Prancis, peresmian yang menggunakan dana jutaan Pound Mesir juga dikritik oleh Ikhwan dengan mengatakan: uang sebesar itu lebih baik untuk membangun rumah orang miskin. Karena banyaknya informasi yang disalahartikan oleh Ikhwan yang disebar lewat media cetak, maka pengadilan negeri mengeluarkan putusan untuk memberedel koran tersebut.

Sadat juga mengomentari Ikhwan yang mengucapkan selamat kepada Ayatullah Khomeini pemimpin revolusi Iran yang telah berhasil menumbangkan pengaruh Amerika di Iran dan menggantinya berideologi Islam. Dan menjawab tuduhan Ikhwan bahwa Mesir tidak menjalankan syariat Islam dengan mengatakan bahwa yang berhak menilai kesesuaian negara dengan ajaran Islam itu siapa? (Ada banyak umat Islam selain Ikhwan yang kecil)

Sadat melarang simbol agama dibawa ke politik oleh Ikhwan dibalas bahwa tidak boleh ada pemisahan agama dan politik. Dengan berdamai dengan Israel, Mesir telah keluar dari kewajiban jihad, kata Ikhwan. Sadat juga menyebut serangan Ikhwan kepada kementerian kesehatan, kehakiman dan lembaga al-Azhar.

Sadat juga menyebut di antara politisi parlemen juga ada yang ikut dalam kampanye anti pemerintah, wakil partai buruh sosialis. Ini adalah krisis moralitas, bagaimana mungkin figur yang dihormati ikut dalam aksi menyerang pemerintah. Di masjid al-Salam terjadi arak-arakan demostran yang membuat Sadat geram dan menyebut mereka sebagai kaum munafik. Sadat mengutip ayat Qur’an, Surah Al-Aḥzāb: 60:

Sungguh, jika orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah tidak berhenti (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan engkau (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) kecuali sebentar.

“Inilah yang akan kita lakukan. Mereka tidak boleh hidup bersama kita”, kata Sadat yang disambut teriakan dukungan anggota parlemen.

Pidato yang disampaikan pada 5 September 1981 itu adalah akhir dari pidato Sadat. Keesokan hari Sadat bertemu Yang Maha Kuasa. Khalid al-Islambuli, letnan 1 angkatan darat Mesir yang menembak dari jarak dekat presiden Anwar Sadat. Tempat tragedi itu menjadi makam Sadat dan menjadi monumen nasional di Nasr City. Penulis bersama teman sempat berkunjung ke sana saat awal kedatangan di Mesir pada 1990.

Pembunuhan yang tragis yang terjadi di lapangan terbuka membuat semua orang melongo dan tidak percaya. Khalid tidak ditembak seketika itu. Dia sempat melarikan diri dengan mengendarai mobil hingga akhirnya ditangkap. Dalam sidang Khalid menyampaikan alasan mengapa membunuh Sadat. Selain karena isi pidato yang tegas memutuskan untuk memerangi kelompok Ikhwan dan Jama’ah Islamiyah, banyaknya penangkapan anggota mereka yang oleh Ikhwan disebut sebagai “penangkapan atau penistaan ulama”, termasuk saudara Khalid sendiri. Khalid juga menyebut perdamaian dengan Israel dan tidak diterapkannya syariat Islam di Mesir.

Jika di Mesir keberadaan Khalid adalah petaka, di Iran justru kebalikannya. Iran memberikan penghargaan atas pengorbanan Khalid al-Islambuli dan menjadikannya nama jalan. Iran pasca revolusi berseteru dengan Mesir karena Anwar Sadat memberi suaka politik ke Shah Reza Pahlevi, raja Iran terakhir yang ditumbangkan Khomeini. Pahlevi hingga akhir hayatnya di Mesir dan di makamkan di Nasr City. Kawasan yang dahulu banyak mahasiswa Indonesia kos di sana.

Beginilah rentetan tragedi yang melatarbelakangi konflik Arab-Israel yang kemudian berubah menjadi Iran (Hamas)-Israel. Ketika Palestina dipimpin Yasser Arafat dan Fatah, Palestina menginduk ke Mesir.

Kini, setelah Hamas menang pemilu, dia menginduk ke Iran sebagai bapak ideologi. Yang terlibat langsung kini bukan negara-negara Arab karena Hamas tidak condong ke mereka. Negara-negara Arab sudah pasti membantu untuk kemanusiaan, tapi untuk perkara perang, Hamas memilih induk semang yang lain. Selain Iran yang dipilih Hamas untuk mendukung adalah Qatar. Karenanya, dalam mediasi perang kali ini, seperti saat gencatan senjata 4 hari kemarin, mediatornya adalah Qatar. Negara yang banyak menampung pelarian Ikhwan dari Mesir. Selain Iran dan Qatar, Turki juga sebenarnya ada dalam jaringan ini. Namun perannya masih terbatas pada pernyataan keras atas Israel seperti akan menyeret Israel ke pengadilan perang.(*)

*Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry