Prof Dr Rochmat Wahab. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Hasil rapat gabungan PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur, Selasa (28/12/2021), di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri yang memohon KH Miftachul Akhyar Rais Aam PBNU, agar tidak mundur dari Ketua Umum MUI Pusat, mendapat tanggapan banyak pihak.

“Agar tidak multitafsir, maka, maksud ‘tidak merangkap jabatan Ormas’ itu, harus jelas. Apa termasuk merangkap Ormas Islam, seperti MUI?  Karena kalau mengacu kepada khitthah 1926 NU, ini (utamanya) terkait dengan partai politik,” tegas Ketua Komite Khitthah Nahdlatul Ulama 1926 (KKNU-26), Prof Dr Rochmat Wahab kepada duta.co, Rabu (29/12/21).

Menurut Prof Rochmat, munculnya keinginan PWNU Jatim, agar Kiai Mif tidak mundur dari Ketum MUI, adalah sah-sah saja. Karena posisi kiai sepuh NU di Ormas MUI, itu sangat penting. Apalagi, kebijakan AHWA sendiri jelas akan berimbas ke bawah.  “Maka, AHWA harus segera kembali rapat, semakin cepat diperoleh hasilnya, semakin memudahkan tim formatur menyusun Kepengurusan PBNU 2021-2026,” jelasnya.

Ketua PWNU DIY tahun 2011-2016 ini, menegaskan, bahwa, pada awal penetapan Rais Aam, AHWA meminta kesediaan. Salah salah satunya adalah Rais Aam NU 2021-2026 tidak rangkap jabatan di organisasi lain. KH Mif pun merespon dengan SAMI’NA WA ATHA’NA.

“Selain itu ada pernyataan yang muncul  beberapa hari sebelum muktamar. Gus Yahya berjanji tidak akan ada Capres atau Cawapres dari PBNU pada Pemilu 2024. Ini bagus, tetapi juga harus jelas. Apakah ini juga berlaku untuk calon gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota?” urainya.

Dua kondisi demikian, lanjutnya, ungkapan itu sangat menarik untuk ditelaah lebih jauh. Bahwa, sikap KH Mif ini sangat terpuji karena langsung merespon secara positif dan siap memenuhi permintaan AHWA. Hanya saja, belum jelas, apa yang maksud dengan organisasi lain, apa organisasi masyarakat, organisasi politik atau organisasi birokrasi (eksekutif).

“Pun demikian, jika berlaku pada Rais Aam, apa juga berlaku pada Katib Aam di level PBNU, apa juga berlaku pada level bawahnya Rais dan Katib di PWNU dan PCNU. Ini harus segera jelas,” tegasnya.

Selanjutnya, berkenaan dengan pernyataan Gus Yahya, bahwa, PBNU tidak merangkap Capres atau Cawapres 2024 ini juga menarik. “Apakah ini hanya  berlaku pada Ketum saja atau berlaku bagi pengurus lainnya. Demikian juga apa berlaku pada Ketua dan Sekretaris serta pengurus lainnya di PWNU dan PCNU. Semua harus jelas,” tambahnya.

Harus Profesional

Apa pun, ujar Prof Rochmat, keinginan AHWA dan jawaban Ketum terpilih, Gus Yahya, patut dihargai. Karena motivasinya untuk menjadikan PBNU dapat tertangani secara total, tidak setengah-tengah alias harus profesional.

“Memperhatikan keduanya akan lebih jelas memudahkan implementasinya jika anggota AHWA berkenan  membuat rambu-rambu lebih tegas, ini seiring dengan spirit Khittah 1926 dan AD-ART NU yang berlaku sekarang. Semakin cepat diperoleh hasil AHWA, semakin memudahkan Tim formatur dalam menyusun kepengurusan PBNU 2021-2026,” tegasnya.

Sebagai Ketua KKNU-26, Prof Rochmat juga menyampaikan rasa syukurnya. “Alhamdulillah, Muktamar ke-34 NU di Lampung berlangsung lancer, sukses. Bisa menghasilkan sejumlah keputusan penting untuk NU lima tahun ke depan. Termasuk terpilihnya KH Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam dan Gus Yahya sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU periode 2021-2026. Harapan kami, amanah ini bisa berjalan dengan sebaik-baiknya, bermanfaat untuk umat,” pungkasnya.  (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry