Farah Nuriannisa, SGz, MPH – Dosen S1 Gizi Fakultas Kesehatan

TAHUKAH Anda anjuran makan “4 Sehat 5 Sempurna” kini sudah tidak berlaku lagi? Sejak 2014, Pemerintah Indonesia telah mengenalkan anjuran makan atau pedoman gizi baru, yaitu Pedoman Gizi Sembang (PGS).

Dari berbagai studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh Pemerintah sebelumnya, masalah gizi di Indonesia terjadi hampir di seluruh kelompok usia, seperti stunting dan gizi buruk pada balita, anemia pada remaja putri dan wanita usia subur, serta penyakit tidak menular pada dewasa dan lansia.

Hasil dari Riset Kesehatan Dasar juga menunjukkan pergeseran masalah gizi, dimana angka obesitas semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2013, angka kejadian obesitas pada masyarakat usia dewasa mencapai 22%, sedangkan pada tahun 2018 meningkat menjadi 35,4% (Kemenkes RI 2018).

Faktor utama yang paling berpengaruh dalam masalah gizi adalah pola makan, baik secara kualitas maupun kuantitas (Kemenkes RI 2014). Pedoman “4 Sehat 5 Sempurna” yang dulu dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan masalah gizi dan penyakit yang berkembang di masyarakat saat ini.

Pedoman “4 Sehat 5 Sempurna” hanya berfokus pada kualitas atau jenis makanan yang dianjurkan, seperti makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah, dan susu sebagai pelengkap. Pedoman “4 Sehat 5 Sempurna” tidak memberikan informasi kuantitas atau jumlah makanan dan minuman yang dianjurkan, padahal terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan zat gizi seseorang akan berdampak pada berbagai masalah gizi dan penyakit.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa

Karena itu, Pemerintah mengeluarkan pedoman gizi baru, yaitu Pedoman Gizi Seimbang (PGS). Pedoman Gizi Seimbang ini juga dirasa lebih relevan dan sejalan dengan pedoman gizi yang diterapkan di negara lain, seperti My Plate dari Amerika Serikat, Chinese Food Guide Pagoda dari China, dan sebagainya.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menilai bahwa konsumsi mayoritas masyarakat Indonesia belum sesuai dengan anjuran Pedoman Gizi Seimbang tersebut.

Asupan sayuran responden masih belum sesuai dengan anjuran yang tertera pada Pedoman Gizi Seimbang, dimana asupan sayuran hanya sebesar <100 gram sehari, sedangkan anjuran dalam Pedoman Gizi Seimbang adalah sebanyak 300 gram (Diana et al. 2013; Perdana et al., 2014). Asupan sayuran yang rendah berhubungan dengan asupan serat yang rendah pula, dimana asupan serat yang rendah dapat berdampak pada nilai glukosa darah yang tinggi.

Glukosa darah yang tinggi dan tidak terkontrol dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan peningkatan risiko penyakit metabolik, seperti diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung, stroke, hiperkolesterolemia, dan sebagainya. Serat berperan dalam penurunan atau perlambatan pengosongan lambung, sehingga dapat mempertahankan rasa kenyang lebih lama. Hal ini berdampak pada penurunan nafsu dan asupan makan, sehingga konsumsi makanan dan glukosa darah akan lebih terkontrol (De Carvalho et al. 2017).

Selain asupan sayuran yang rendah, masalah konsumsi yang masih sering ditemui adalah tingginya konsumsi bahan makanan sumber karbohidrat, pangan hewani, kolesterol, dan natrium, seperti Western diet (makanan olahan, makanan instan, makanan cepat saji, dan sebagainya).

Anjuran pangan hewani dalam Pedoman Gizi Seimbang adalah sekitar 150 gram dalam sehari, sedangkan beberapa penelitian menunjukkan asupan pangan hewani masyarakat Indonesia mencapai > 200 gram per hari dengan pengolahan digoreng. Pola makan Western diet dengan kandungan tinggi lemak, tinggi pangan olahan, dan tinggi natrium berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler (Guo et al. 2004).

Konsumsi sumber protein hewani yang lebih tinggi, terutama makanan yang digoreng dan makanan sumber kolesterol seperti jerohan, berhubungan dengan kondisi resistensi insulin (diabetes mellitus tipe 2). Pangan protein hewani memiliki kandungan branched chain amino acid (BCAA) yang dapat menstimulasi sekresi hormon insulin yang berdampak pada peningkatan nilai insulin dalam darah (hiperinsulinemia) yang juga merupakan salah satu penanda diabetes mellitus tipe 2 (Azemati et al. 2017).

Secara umum, rendahnya kepatuhan penerapan Pedoman Gizi Seimbang berkorelasi dengan kejadian overweight dan obesitas. Selain itu, hasil penelitian sebelumnya juga menjelaskan bahwa rendahnya nilai kepatuhan anjuran tersebut berhubungan dengan nilai adiponektin serum sebagai biomarker terjadinya obesitas dan sindrom metabolik.

Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Pedoman Gizi Seimbang yang rendah dapat menyebabkan peningkatan risiko penyakit metabolik, sehingga penting untuk dilakukan sosialisasi dan edukasi mengenai Pedoman Gizi Seimbang secara berkala karena masyarakat Indonesia masih belum familiar dengan anjuran makan terbaru ini.

Bila Pedoman Gizi Seimbang diterapkan secara konsisten, maka diharapkan angka kejadian obesitas dan penyakit metabolik pada masyarakat Indonesia dapat menurun. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry