SURABAYA | duta.co – Disiplin mematuhi protokol kesehatan itulah kata kunci memutus mata rantai sebaran virus corona disease 2019 (Covid-19) yang digembar-gemborkan para pemimpin di negeri ini dalam menghadapi pandemi covid-19.

Sayangnya, sudah hampir 3 bulan berlangsung, jumlah kasus yang terkonfirmasi positif di Indonesia pada umumnya dan Jatim pada khususnya justru cenderung meningkat kendati di beberapa daerah sudah diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Bahkan wilayah Surabaya Raya meliputi Surabaya, Sidoarjo dan Gresik sudah memasuki PSBB jilid III lantaran jumlah kasus covid-19 tak kunjung melandai bahkan berhenti.

Tidak sedikit masyarakat yang berani bersuara di media sosial menolak pemberlakuan PSBB jilid III karena hasilnya diyakini tidak akan efektif untuk memutus mata rantai sebaran covid-19 akibat masih rendahnya kesadaran dan kedisiplinan masyarakat mematuhi himbauan pemerintah.

Tak Ada Embel-embel Politik

Munculnya pro dan kontra di kalangan masyarakat ini mendapat tanggapan dari pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdus Salam. Menurutnya, selain ketegasan, keteladanan dan empati para pemimpin harus dikedepankan. Mungkin itu juga ikut menyumbang ketidakpatuhan publik selama ini.

“Saya jadi ingat ajaran Ki Hajar Dewantara benar-benar kontekstual dalam situasi krisis ini bagi para pemimpin politik dan pejabat publik. Pemimpin teladan yang bekerja sepenuhnya untuk kemanusiaan tanpa embel-embel motif politik,” kata Surokim Abdus Salam saat dikonfirmasi Selasa (26/5/2020).

Fenomena ketidakpatuhan masyarakat dalam membantu memutus mata rantai edar covid-19, lanjut Dekan FISIB UTM memang tidak tunggal dan faktornya kompleks. “Saya masih meyakini  sebenarnya masyakat kita masih memiliki tingkat kepatuhannya tinggi apalagi sebagian besar mereka berasal dari kelas menengah ke bawah yang dominan anut grubyuk dengan pemimpinnya,” dalihnya.

Oleh karena itu selain ketegasan saat ini para pemimpin juga diuji dan dituntut untuk bisa  memberi keteladanan lebih, empati lebih dan solidaritas melebihi ekspektasi publik.

Mengapa harus melebihi ekspektasi publik? Karena pemimpin publik sebenarnya sedang menjaga trust (kepercayaan) jangan sampai terus menurun. Ketulusan dalam bekerja akan menjadi pematik bagi tumbuhnya trust publik.

“Ketulusan dan kerja keras bekerja itu harus benar benar karena motif kemanusiaan dan bukan untuk kepentingan politik. Kepentingan politik dan ego sektoral kadang masih dikedepankan yang seharusnya dalam situasi krisis ini harus menjadi pertimbangan dan motif paling buncit,” tegas Surokim.

Keteladanan dan Empati

Akibatnya, kepemimpinan publik kita masih kompetitif dan belum benar-benar  mengedepankan kolaborasi. Jadi masih ada gap yang tinggi untuk bisa hadir bersama-sama tulus bisa menemani masyarakat menghadapi situasi ini day to day.

Keteladanan, empati ketulusan itu adalah modal sosial kepemimpinan yang amat dibutuhkan saat ini dan menjadi daya dorong penting untuk penguat solidaritas sosial dalam krisis.

“Untungnya kita punya TNI Polri dan tenaga medis yang masih bisa diandalkan untuk bisa menjaga situasi seperti ini. Seharusnya itu juga menjadi inspirasi para pejabat publik,” harap Surokim.

Para pemimpin publik saat ini harus bekerja keras sungguh-sungguh tidak sekadar pencitraan. Sudah saatnya lipstik-lipstik politik dan pencitraan itu dibuang jauh-jauh, jadilah pemimpin nurturent yang bekerja keras lebih dari biasanya  yang insyaallah itu akan mendorong kesadaran masyarakat untuk dapat membantu pemerintah mematuhi segala bentuk policy pembatasan saat ini.

“Mereka publik dibalik ketidakpatuhannya sebenarnya sedang menguji siapa pemimpin sejati dalam krisis saat ini yang bisa lulus ujian bencana nonalam ini. Keluarlah dan jadilah pemimpin yang tidak hanya tegas tetapi juga mengayomi diatas kepentingan kemanusiaan,” bebernya.

Menurut peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), hal-hal seperti ini harus terus diingatkan dan harus ada didalam buku-buku pelajaran pendidikan dasar kita agar negeri ini kuat menghadapi berbagai prahara bencara alam dan nonalam.

“Karakter itu harus ditumbuhkan kepada semuanya agar semangat keteladan politik itu kian tulus dan menginspirasi. Insyaallah kita akan menuju situasi yang lebih baik asalkan keteladanan itu menjadi panglima dalam gerak pikir dan laku para memimpin politik,” pungkas Surokim. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry