SURABAYA | duta.co -Surat-surat RA Kartini diberi judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Sejatinya maksud Kartini adalah ‘Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur’ yang berarti ‘Dari Gelap kepada Cahaya’ yang merupakan terjemahan . Surat Al-Baqarah ayat 257. Berikut ini kisahnya dari berbagai sumber.

Sebuah artikel tanpa mencatumkan penulisnya beredar di grup-grup WhatsApp pada Hari Kartini, Jumat, 21 April 2017 hari ini. Tulisan itu mengungkap sisi lain Kartini yang sama sekali tidak ditulis oleh sejarah nasional Indonesia. Yakni Kartini ternyata santri KH Sholeh Darat Semarang, guru pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asya’ari dan kiai-kiai besar NU lainnya.

Dosen UIN Walisongo Semarang M Rikza Chamami yang juga penulis kajian-kajian tentang Islam Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) membenarkan tulisan yang beredar di Medsos yang akan dibeber di bawah ini. Menurut sejarah yang dia dalami, RA Kartini memang santri KH Sholeh Darat. “Itu data valid,” kata Rikza yang juga sering menulis tentang Mbah Sholeh Darat tersebut, kepada duta.co.

Dalam artikel yang beredar di Medsos yang juga diterima duta.co, dituliskan bahwa dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis; “Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?”

“Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca”.

“Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya”.

“Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?”

RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya”.

“Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya”.

Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kiai Sholeh Darat, menceritakan pertemuan RA. Kartini dengan Kiai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang —lebih dikenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat—  dan menuliskan kisah tsb sbb:

Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali ‘subhanallah’. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.

Setelah pertemuan itu, Kiai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.

Surat yang diterjemahkan Kiai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kiai Sholeh meninggal dunia.

 

Tafsir Alquran Arab Pegon

Kitab tafsir dan terjemahan Alquran itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir Alquran. Tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab pegon  sehingga tak dicurigai penjajah. Belanda saat itu memang melarang penerjemahan Alquran.

Kartini amat menyukai hadiah tafsir Alquran bahasa Jawa aksara Arab pegon tersebut dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

Melalui kitab itu pula Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Yaitu Surat Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minadh-Dhulumaati ilan Nuur).

Kartini terkesan dengan kalimat Minadh-Dhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena ia merasakan sendiri proses perubahan dirinya.

Kisah ini sahih, dinukil dari Prof KH Musa al-Mahfudz Yogyakarta, dari Kiai Muhammad Demak, menantu sekaligus staf ahli Kiai Sholeh Darat.

Dalam surat-suratnya kepada sahabat Belanda-nya, JH Abendanon, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Mr Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari Alquran. Kata “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“ dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (petunjuk, hidayah, atau kebenaran).

 

Khofifah: Kartini Ibu Nyai

Sebelumnya, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa saat memberi ceramah agama di Pondok Pesantren Al Hikmah, Purwoasri, Kabupaten Kediri, Selasa (18/4/2017) malam mengungkap bahwa Kartini adalah Bu Nyai. Apa maksudnya?

“Saya baru nonton film RA Kartini. Di film itu ternyata RA Kartini santrinya Mbah Kiai Sholeh Darat (KH Sholeh bin Umar As-Samarani, red). Kiai Sholeh ini gurunya Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan KH Ahmad Dahlan (pendidiri Muhammdiyah,” tuturnya.

Lantaran ada di film, Khofifah yang juga Ketua Umum PP Muslimat NU lantas melakukan penelusuran untuk mencari tahu kebenaran sejarah. Hasilnya: RA Kartini termasuk delapan santri yang cukup dekat dengan Kiai Sholeh Darat.

“Artinya RA Kartini itu mestinya juga ibu nyai (ulama perempuan),” tandas Khofifah. “Karena santrinya Kiai Sholeh Darat itu ada Mbah Hasyim Asy’ari, lalu Mbah Bisri Syansuri, KH Nahrowi Dalhar Watucongol, KH Ahmad Dahlan dan nomor delapan ternyata RA Kartini,” katanya.

Hanya saja, kata Khofifah, karena yang melukis gambar RA Kartini bukan santri, maka foto yang beredar saat ini tidak memakai kerundung. “Jadi ini pada persoalan siapa yang menggambar,” katanya.

Apa makna yang diambil Khofifah dari cerita penuh sajarah ini? Meski Nahdlatul Ulama berkontribusi besar dalam proses berdirinya NKRI, tapi karena bangunan keikhlasan yang luar biasa dari para kiai dan santri membuat sejarah terkait kontribusi besar mereka jarang ada yang berani menulis.

“Kalau berani menulis takut kualat, wong kiainya saja nggak ingin ditulis,” tandasnya. “Namun hari ini peran kita peran sosmed (sosial media), maka keberagaman dalam berbagai bidang sangat dibutuhkan kalangan pesantren,” tambahnya. •hud/berbagai sumber

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry