Oleh Sulardi

Rakyat mengritik kebijakan public mendapatkan somasi, rakyat mengritik kinerja Dewan Perwakilan Rakyat, disuruh meminta maaf secara institusional, bahkan terekspos anggota DPRD memarahi rakyat hanya karena akan disemprot desinfektan merupakan beberapa peristiwa yang menunjukan ketidaknormalan.

MEMASUKI tahun 2020, hidup dan kehidupan bangsa ini bahkan warga dunia ini, masih berjalan seperti biasanya: hari Senin hingga Jumat beraktivitas di tempat kerja,  hari Sabtu –Minggu menikmati libur atau liburan, melepas kepenatan dalam sepekan. Dunia bergerak seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi sejak bulan Maret 2020 dengan hadirnya pendemi Covid 19, kehidupan berubah total. Perubahan itu di seluruh aspek kehidupan, ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, pendidikan bahkan dalam berhukum.

Berbagai kebijakan di negara kita diproduksi untuk menghadapi Covid 19 ini, mulai dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Kesehatan hingga Peraturan Gubernur, Walikota dan Bupati. Semua berorientasi untuk penanggulangan Covid 19. Setiap hari media mengabarkan progress warga negara yang positif Covid 19, jumlah Orang Dengan Pengawasan, Pasien Dengan Pengawasan, jumlah pasian sembuh dan pasien meninggal. Warga masyarakat setiap hari disuguhi hal tetsebut. Pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar(PSBB) pun di berlakukankan di berbagai daerah.

Pemberlakukan PSBB tak pelak menimbulkan suasana mencekam, pembatasan warga keluar malam, di kampong-kampung dan perumahan-perumahan akses keluar-masuknya ditutup dengan portal dan dijaga ketat. Toko, warung makan, café-café , pusat oleh-oleh,  tempat pariwisata perhotelan sangat merasakan dampaknya, kurangnya pendapatan dan pemasukan yang sangat dratis. Sektor ini semestinya tersentuh juga oleh bantuan social dari negara, walau tidak terdaftar dalam daftar masyarakat yang layak mendapat bantuan tetapi secara factual mereka sangat membutuhkan bantuan itu.

Pernik-pernik konflik antara masyarakat dan pelaksana kebijakan PSBB pun terjadi, sebagai dampak atau ekses pemberlakukan PSBB itu. Pembatasan jumlah penumpang kendaraan, pembatasan daerah asal kendaraan, ibadah keagamaan yang dibatasi dilaksanakan di rumah ibadah, tidak merata dan salah sasaran pembagian bansos. Konflik tersebut merupakan konflik kecil yang akhirnya bisa diselesaikan, tetapi tetap jangan melukai para pihak. Konflik terjadi karena warga dan pelaksana kebijakan belum mempunyai pemahaman yang sama terkait pelaksanaan PSBB.

 New Normal Era dan Esensi Negara

Sejak Juni 2020, New Normal Era berlaku di negara kita. Semua sisi kehidupan berubah, di setiap perubahan itu terdapat banyak hal yang bias dipahami memang harus berubah mengikuti irama new normal life. Tetapi ada beberapa hal yang secara nalar, logika amat sulit untuk dimengerti bila ikut berubah mengikuti irama new normal walau pun dalam situasi yang tidak normal.

Rakyat mengritik kebijakan public mendapatkan somasi, rakyat mengritik kinerja Dewan Perwakilan Rakyat, disuruh meminta maaf secara institusional, bahkan terekspos anggota DPRD memarahi rakyat hanya karena akan disemprot desinfektan merupakan beberapa peristiwa yang menunjukan ketidaknormalan. Ketidaknormalan itu menjadi berbahaya apabila dikategorikan dalam kehidupan new normal era. Bila ini yang terjadi maka di Negara ini akan kehilangan esensi dan hakikat kedaulatan rakyat. Sendi-sendi utama dalam bernegara rontok, maka esensi Negara berdaulat pun kehilangan hakikatnya.

Demikian halnya dengan hukum, esensi hukum yang di dalamnya memuat keadilan, kemanfaatan dan kepastian tetap harus terjaga, meski tentang keadilan masih bias diperdebatkan atas dasar difinisi, paradigma, maupun mazhab hokum itu sendiri. Sebab keadilan bias menjadi suatu ketidakadilan dipandang dari prespektif yang berbeda, hal ini masih diambang kenormalan. Yang tidak normal bila keadilan dihapuskan dari esensi hukum. Hapusnya keadilan dari esensi hukum, dengan sendiri lenyaplah hakikat Negara ini sebagai negara hukum, sejalan dengan itu perlahan tapi pasti negara pun akan lenyap. Kelak yang tertinggal hanya masyarakat dengan tatanannya sendiri dengan hukumnya sendiri dengan otoritasnya sendiri. Negara kehilangan otoritas, lenyap secara faktual maupun yurisdis.

Oleh sebab itu, di era new normal ini, negara harus tetap tampil dengan otoroitas sekaligus tanggung jawabnya. Otoritas Negara untuk mengatur sendi- sendi kehidupan supaya tetap berada dalam ketertiban yang terjaga. Negara punya otoritas memunguti pajak. Kepada setiap warga retribusi dan bahkan bias menarik denda kewarganya. Negara bias mengambil hasil bumi, hasil laut, hasil udara, dan pemanfaatnnya. Dari otoritas yang sangat luas dan beragam itulah, maka melekat padanya tanggung jawab, dan tanggung jawab itu tidak hanya berada di ranah orasi, tetapi implementasi.

Pada situasi era new normal ini, yang pada hakikatnya situasi tidak normal itu, tanggung jawab negara untuk melindungi warganya masih melekat. Terasa aneh bila ada petinggi partai politik yang berteriak : “tidak mungkin negara terus menerus biayai rakyat.” Negara mempunyai tanggung jawab melindungi rakyatnya tidak hanya dari keamanan saja, tetapi juga dari rasa takut, dan kelaparan. Di sinilah gunanya ada negara, hal ini bukanlah main main, dan ngarang-ngarang, kewajiban ini ada pada konstitusi kita, dimana salah satu tujuan negara ini ialah melindungi segenap bangsa dan negara, selain menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu, marilah kita jalani new normal era ini. Siap tidak siap, mau tidak mau inilah yang harus kita jalani. Pemerintah sebagai perwujudan konkret Negara telah mengambil keputusan ini. Tetapi harus diingat, setiap kebijakan senantiasa ada risiko di dalamnya, jika kelak new normal era member kebaikan kepada bangsa ini, marilah kita acungi jempol penguasa kita. Tetapi bila ternyata new normal era ini menimbulkan derita bagi rakyatnya, derita miskin, lapar, tercekam, dan kematian, maka pemerintah jangan lari dari tanggung jawabnya.

Dalam hal bertanggung jawab kepada rakyatnya tidak cukup hanya “mencuci tangan” , tanggung jawabnya ialah meletakan jabatan. Meletakan jabatan merupakan pertanda tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai penguasa negara dalam melindungi warganya. Mari kita jaga kehidupan di new normal era  ini supaya berjalan dengan baik, supaya esensi negara tetap terjaga.

*Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Malang

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry