Achmad Murtafi Haris ADALAH Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. (FT.IST)

“Inilah konsekuensi yang harus diterima pemimpin negara yang memperjuangkan demokrasi. Siap dan menerima dirinya menjadi sasaran kritik rakyatnya yang ingin berkontribusi bagi kebaikan negara.”

Oleh: Achmad Murtafi Haris*

HILANGNYA Jamal Khassoggi masih diselemuti kabut tebal. Otoritas Saudi menolak tuduhan bahwa sang Putra Mahkota Muhammad bin Salman ada di balik hilangnya sang wartawan kampium itu. Sebaliknya, Pemerintah Turki, begitu yakin mengarahkan telunjuknya ke sang penguasa Saudi ada di balik itu semua.

Sejauh ini bukti yang ditampilkan media Turki tentang hasil investigasi mereka belum memberikan kepastian. Adanya lima belas orang yang masuk ke Konsulat Saudi saat kedatangan Jamal Khassoggi dan kepergian mereka dengan menggunakan pesawat pribadi, belum cukup membuktikan adanya pembunuhan atas jurnalis terkenal itu.

Bukti yang meyakinkan seperti percikan darah Khassoggi saat penangkapan dan perkelahian belum pernah disampaikan oleh media. Jikalau bukti semacam itu ada dan benar-benar secara forensik adalah darah Khassoggi tentu tuduhan pembunuhan menjadi tidak terbantahkan.

Dan jika itu atas perintah penguasa Saudi,  tentu dia harus menerima sanksi dunia seperti Jerman, Inggris dan Perancis yang getol menuntut kejujuran Saudi terkait kasus tersebut.

Mereka ini mengatakan bahwa tidak bisa pemerintah Saudi berkeliaran dengan seenaknya dan melakukan aksi pelenyapan lawan politik.

Tidak seperti negara-negara tersebut, sikap Donald Trump berubah dari yang keras menjadi lunak. Statemennya yang terakhir mengarah pada mempercayai keterangan pemerintah Saudi dan menyebutnya sebagai keterangan yang kredibel.

Erdogan Marah

Terkait dengan perubahan sikap tersebut sebagian pengamat mengaitkannya dengan kerjasama bisnis miliaran Dolar yang membuat Trump berfikir seribu kali akan akibat yang ditanggung dari buruknya hubungan keduanya.

Sementara Turki begitu gigih mengungkap hilangnya sang jurnalis, selain karena kesadaran hukum yang harus ditegakkan, faktor hubungan Turki-Saudi yang kisruh karena krisis Qatar ikut berpengaruh besar.

Embargo atas Qatar yang dipelopori oleh Saudi dan negara-negara Arab yang lain dan dukungan kuat Turki terhadap Qatar dalam melawan sanksi tersebut menjadikan Turki dan Saudi berhadapan satu sama lain.

Terkait dengan operasi rahasia yang melenyapkan nyawa jurnalis kritikus Saudi di wilayahnya, Istanbul, sungguh membuat Ordogan geram. “Kok berani-beraninya melakukan aksi itu di negaranya sedang mereka dalam hubungan yang tidak baik. Sungguh perbuatan yang meremehkan kewibawaan negara menjadikan wilayahnya sebagai lokasi perbuatan pelanggaran hukum berat.”

Pantas saja Ordogan mencak-mencak dan ingin sesegera mungkin menemukan titik terang tentang aktor utama di balik kejadian ini. Aktor dimaksud yaitu penguasa Saudi Muhammad bin Salman (MBS) yang belakang moncer dan menjadi The Rising Star karena keberaniannya melakukan perubahan sosial-budaya secara drastis di negaranya.

Dengan tetap menunggu perkembangan mutakhir yang konon hasil investigasi akan disampaikan langsung oleh Ordogan dalam  waktu dekat sekaligus sikapnya atas pemerintah Saudi, menarik untuk dibahas apa yang dilakukan oleh Jamal Khassoggi sehingga khalayak dunia meyakininya telah dilenyapkan.

Dia adalah jurnalis senior yang kritis terhadap segala kebijakan penguasa Arab khususnya Saudi Arabia. Tidak hanya MBS sang putra mahkota penguasa Saudi yang kerap dia kritik, presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi juga menjadi obyek kritik sang jurnalis.

Dalam wawancara eksklusif televisi Mesir Media Misria, Jamal berbicara lantang tentang kebijakan politik Muhammad bin Salman yang dianggapnya terpengaruh oleh model kepemimpinan el-Sisi. Jamal mengatakan bahwa Mesir telah berpengaruh banyak terhadap Saudi Arabia baik yang baik maupun yang buruk.

Kemampuan el-Sisi dalam menggenggam kekuasaan pasca keberhasilannya mengkudeta Mursi, presiden Mesir seumur jagung (satu tahun), dari Ikhwanul Muslimin, menginsipirasi MBS untuk bersikap otoriter dalam kepemimpinan. Sebagaimana el-Sisi banyak memenjarakan lawan politik dari kalangan Ikhwanul Muslimin, MBS juga banyak memenjarakan para jurnalis dan ulama yang banyak mengkritiknya.

Jamal menyayangkan mengapa selama kepemimpinan periode pertama el-Sisi yang tidak memberikan nilai tambah bagi perekonomian Mesir masih juga dia terpilih kembali untuk periode kedua.

Apapun kritik Jamal terhadap pemerintahan el-Sisi yang pasti kebebasan berpendapat masih terjamin di Mesir, buktinya bahwa Jamal masih diberikan ruang menyampaikan kritiknya di televisi Mesir. Hal ini sungguh berbeda dengan apa yang terjadi di Saudi Arabia yang tidak memberikan ruang sama sekali bagi figur siapapun untuk mengkritik pemerintah di media publik.

Di antara kritik Jamal terhadap pemerintah Saudi adalah sepak terjang MBS dalam perubahan drastis yang dia lakukan. Dalam hal ini penulis mendapati sikap inkonsisten Jamal terkait kebebasan ruang publik bagi kaum wanita di Saudi Arabia.

Di mana dia di satu sisi mendukung kebijakan diperbolehkannya wanita menyetir mobil sendiri tapi di sisi lain hal ini akan menuntut naiknya konsumsi. Wanita akan menuntut belanja bensin dan kebutuhan ikutan lainnya. Demikian juga dengan peluang kerja dan diperbolehkannya mereka menikmati ruang publik akan berbuntut pada peningkatan belanja kaum wanita. Sebuah pandangan yang cenderung stereotype terhadap kaum wanita.

Jamal juga kerap mengkritik MBS dan menyebutnya bertindak atas nama raja yang oleh rakyat Saudi harus ditaati karena mereka tertanam budaya taat kepada raja. Sementara kebijakan MBS khususnya di bidang reformasi ekonomi seperti yang tertuang dalam ‘Visi Saudi 2030’ memiliki kelemahan-kelemahan yang berpotensi merugikan negara.

Dalam hal ini Jamal menuntut kepada pemerintah agar melibatkan para akademisi dan pemikir dalam tata kelola pemerintahan dan tidak menjadikannya tertutup bagi kritik dan aspirasi publik dalam keikutsertaannya membangun negara.

Pemimpin Harus Siap Menerima Kritik

Selain mengkritik negaranya dan Mesir, Jamal juga mengkritik berbagai kebijakan dunia Arab terkait krisis Palestina dan krisis lainnya. Dia menyerukan bahwa dituntut adanya perubahan fundamental dalam kebijakan pemerintah Arab jika menginginkan perbaikan bagi nasib bangsa Arab. Jika tidak, maka yang terjadi akan terus terjadi dan kondisi tidak berubah.

Melihat pandangan-pandangan Jamal Khassoggi nampak bahwa dia bukan semata jurnalis yang berkelas nasional yang hanya berbicara dalam sekup Saudi Arabia, tapi jurnalis Arab yang berbicara untuk kepentingan seluruh negara-negara Arab yang berjumlah 22.

Sikap kritisnya itu akhirnya berakhir di tangan Muhammad bin Salman sang putra mahkota kerajaan yang memegang tampuk kekuasaan menggantikan sang ayah. Dalam sistem Monarki Absolut yang dianut oleh Saudi Arabia yang memberikan wewenang yang mutlak dan seluas-luasnya bagi sang raja untuk mengatur negara, kebebasan berekspresi memang tidak seluas di sistem lainnya.

Hal ini sungguh berbeda dengan sistem monarki yang lain, Monarki Konstitusional. Dalam model yang terakhir, kekuasaan raja dibatasi oleh undang-undang sementara untuk yang pertama, tidak. Selain faktor tersebut, faktor MBS yang sedang melakukan perubahan drastis, menjadikannya bersikap lebih keras dari biasanya. Pemimpin dalam era transitional semacam ini cenderung bersikap lebih keras guna mengarahkan semua energi ke perubahan yang dicitakan.

Kritik dan penolakan terhadap rancangan perubahan sudah pasti ada. Hal ini menuntutnya untuk mengendalikan sekuat mungkin biduk negara agar sampai ke tujuan. Dengan tetap menunggu hasil investigasi yang sebenarnya terkait raibnya sang jurnalis Washington Post ini, kebebasan pers adalah sesuatu yang niscaya dalam kehidupan saat ini.

Sistem pemerintahan apa pun harus mampu menjamin kebebasannya. Bagi pemerintah yang sedang berkuasa tentu hal ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan sebab seringkali menerpa dirinya.

Terkait hal ini, bangsa Indonesia termasuk beruntung karena telah memiliki sistem yang menjadikan kebebasan itu berlaku dan pemerintah sudah memiliki kedewasaan sikap untuk menyikapi kritik tajam atas dirinya.

Inilah demokrasi. Inilah konsekuensi yang harus diterima oleh pemimpin negara yang memperjuangkan demokrasi. Siap dan menerima dirinya menjadi sasaran kritik anggota rakyatnya yang ingin berkontribusi bagi kebaikan negara. (*)

*Achmad Murtafi Haris ADALAH Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry