Website hizbutahrir.or.id yang memasang jawaban KH Wahid Hasyim atas pernyataan Presiden Soekarno. (FT/DUTA.CO/MKY)

JAKARTA | duta.co – Ini bukan kali pertama, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mencatut tokoh NU untuk memantapkan propaganda khilafahnya. Terbaru, melalui website-nya  hizbuttahrir.or.id Rabu (3/5/2017), HTI ‘melawan’ pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian tentang kemungkinan lepasnya Papua jika Indonesia menerapkan sistem khilafah dengan jawaban KH Wahid Hasyim kepada Presiden Soekarno tentang Islam digunakan memerintah negara.

“Gaya seperti ini harusnya disudahi. Adalah naif sekali kalau pernyataan Kiai Wahid Hasyim saat itu digunakan untuk menjawab Kapolri guna menguatkan propaganda khilafah HTI,” demikian disampaikan Erwin Mohammad, aktivis NU Surabaya, Kamis (4/5/2017).

Menurut Erwin, HTI perlu tahu, bahwa Kiai Wahid Hasyim adalah salah satu perumus Pancasila dari kalangan tokoh agama. Jika memperhatikan proses penyusunan dasar negara (Pancasila dan UUD 1945), ini tampak jelas misi yang dibawa para pemimpin rakyat itu, agar dasar negara ini (Pancasila) dijadikan pondasi kokoh yang mengakomodasi kemerdekaan seluruh anak bangsa, bukan hanya Islam yang merupakan umat mayoritas.

HTI, melalui laman websitenya memuat artikel bertajuk ‘Inilah Jawaban KH Wahid Hasyim Atas Pernyataan Lepasnya Irian Kalau Pemerintahan Islam Diterapkan’. Menurut HTI, pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang mengkhawatirkan lepasnya Papua kalau diterapkan pemerintahan atas dasar agama, sama persis yang dinyatakan oleh Soekarno pada tahun 1953. Dalam pidato Soekarno di Amuntai (27/1/1953), presiden RI pertama ini menyatakan kalau Islam digunakan untuk memerintah negara banyak daerah akan lepas.

Pernyataan Soekarno ini, tulis HTI, segera ditanggapi oleh salah seorang tokoh terkemuka Islam dari Nahdlatul Ulama, KH Wahid Hasyim yang merupakan anak dari pendiri NU, dengan jawaban yang tajam. Surat tanggapan keras lantas dilayangkan Wahid Hasyim, sebagai Ketua Umum Nahdlatul Ulama, kepada Presiden, sebulan kemudian. Begitu juga sejumlah organisasi muslim.

Wahid Hasyim yang juga merupakan tokoh nasional ini menulis, “Pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian, menurut pandangan hukum Islam, adalah perbuatan mungkar yang tidak dibenarkan syariat Islam. Dan wajib bagi tiap-tiap orang muslimin menyatakan ingkar atau tidak setuju.” (Biografi KH Wahid Hasyim). Tulisan di website HTI ini kemudian diambil website dakwahmedianews, media yang sama-sama menyuarakan sistem khilfah.

Ini bukan yang pertama, HTI juga pernah mencari pembenaran khilafah dengan mencatut pendiri NU, Hadrassyekh KH Hasyim Asy’ari. Gaya HTI ini kemudian dijawab oleh M Abdul Fatah, aktivis NU kultural, alumni Pondok Pesantren Darullughah Wal Karomah, Probolinggo, Jawa Timur.

“Artikel ini saya tulis berdasarkan pengalaman berdialog dengan aktivis mahasiswa Hizbut Tahrir dan beberapa wacana di dunia maya ketika berbicara tentang Nahdlatul Ulama dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Artikel ini juga tidak hendak menyudutkan atau mencemarkan nama HTI, melainkan sebagai upaya klarifikasi dan ‘menjaga diri’ dari ideologi yang bertentangan dengan garis perjuangan NU,” tulis Abdul Fatah.

HTI sebagai organisasi yang bervisi besar, yaitu hendak mendirikan kekhalifahan Islam di dunia, dalam ajakannya seringkali menggunakan penguatan argumen dengan berupaya menghubung-hubungkan persamaan visi antara NU dan HTI. Antara lain sebagai berikut:

Pertama, HTI mengatakan bahwa Hadrassyekh KH Hasyim Asy’ari mempunyai keterkaitan pemikiran dengan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani. Hal ini didasarkan pada sejarah ketika KH Hasyim Asyari belajar ke Makah yang salah satu gurunya adalah Syekh Yusuf an-Nabhani, ulama besar Sunni Syafi’i yang merupakan kakek dari Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir). Informasi tentang hubungan guru-murid ini memang benar. Namun, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani sendiri tidak mengikuti jalan yang ditempuh oleh sang kakek yang berhaluan Sunni Syafi’i. Syekh Taqiyuddin merupakan aktivis dan tokoh gerakah Ikhwanul Muslimin sebelum kemudian membelot dan mendirikan gerakan sendiri bernama Hizbut Tahrir yang secara metode dan mazhab fiqih berbeda dari Aswaja An-Nahdliyah.

Kedua, untuk menjaring simpatisan nahdliyin, HTI biasanya mengatakan bahwa KH Hasyim Asy’ari berkeinginan untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam naungan sistem Islam yang satu (baca: khilafah). Hal ini mereka dasarkan atas gambar bola dunia dalam lambang NU. Saya rasa ini keliru besar. Karena lambang Nahdlatul Ulama tidak pernah diciptakan oleh siapapun, melainkan berawal dari mimpi KH Ridwan Abdullah setelah lama berikhtiar dan salat istikharah.

“Kiai yang bertugas membuat lambang NU tersebut bermimpi melihat gambar indah di langit biru yang jernih. Gambar itulah yang kemudian dijadikan lambang NU atas persetujuan KH Hasyim Asy’ari. Sedangkan gambar bola dunia yang diikat oleh tali tambang dengan 99 lilitan tersebut bermakna kokohnya ukhuwah islamiyah dan insaniyah. Bukan penyatuan umat Islam dalam negara khilafah,” tegasnya.

Ketiga, Komite Hijaz yang diketuai oleh KH Wahab Chasbullah pun tak luput untuk dijadikan bahan argumen khilafah. Komite Hijaz dijadikan dalil bahwa embrio NU waktu itu mengakui dan berperan aktif pada kehilafahan Islam yang ada di Arab Saudi. Padahal Kiai Wahab dan kiai pesantren waktu itu bermaksud untuk melakukan upaya penolakan atas puritanisasi Islam oleh Wahabi khususnya ada pembongkaran makan Rasul beserta keluarga dan sahabatnya, bukan soal dukung mendukung khilafah.

Argumentasi penyamaan visi NU dengan HTI runtuh pada puncaknya ketika KH Hayim Asy’ari menfatwakan Resolusi Jihad pada 22 okt 1945. Hadratussyekh Hasyim Asy’ari memfatwakan wajib membela tanah air (bukan membela agama) kepada masyarakat Surabaya dan sekitarnya pada radius 94 kilometer.

Khilafah juga pernah mencatut NU dalam spanduknya. Tampak spanduk mengatasnamakan NU Bangka tengah mendukung khilfah. (FT/NUONLINE).

“Silakan pelajari latar belakang Resolusi Jihad NU. Di situ kita dapat melihat tingginnya nasionalisme dan patriotisme dalam diri Hadratussyekh Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari yang tidak ada sama sekali dalam visi dan tradisi HT(I),” tulis alumni Pondok Pesantren Darullughah Wal Karomah, Probolinggo, Jawa Timur ini. (mky,nuo)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry