JAKARTA | duta.co – Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi konsentrasi demo. Baik pendukung 01 (AMIN) dan 03 Ganjar-Mahfud maupun 02 Prabowo-Gibran. Seru! Otak-atik putusan MK pun beredar liar di medsos. Masih ada nyalikah hakim MK, di tengah tekanan massa ini?

Menarik! Suara pengamat yang mencuat dalam Diskusi Media Landmark Decision MK yang diselenggarakan MMD Initiative di Gado-Gado Boplo Cikini, Jumat (19/04/2024).

Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Ahmad Sodiki mengatakan, pemilu Pilpres 2024 harus diulang kalau MK menemukan ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Sekalipun, ia menegaskan, jika kecurangan TSM terbukti cuma di satu daerah.

“Kita melihat kalau memang ada keyakinan hakim di satu daerah memang terjadi TSM, sekecil apapun itupun harus diulang,” kata Sodiki dalam Diskusi Media Landmark Decision MK yang diselenggarakan MMD Initiative di Gado-Gado Boplo Cikini, Jumat (19/04/2024).

Sodiki menilai, putusan seperti itu akan menegaskan MK memang tidak cuma hitung menghitung, tidak semata melihat sisi persentase perolehan. Namun, ia mengaku tidak mampu memprediksi atau memperkirakan putusan yang diambil MK.

Ia berpendapat, kondisi saat ini memang sangat berat untuk mengambil putusan. Apalagi, belum dapat dipastikan apakah masih mungkin menguji pasal tentang umur calon wakil presiden itu dengan pasal lainnya yang ada dalam konstitusi.

Dilihat dari angka, Sodiki menerangkan, memang 58 persen sudsh cukup jauh. Selain itu, ia mengingatkan, hakim-hakim MK harus yakin kalau pelanggaran pemilu itu terjadi di seluruh wilayah atau hanya di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia.

Sebab, ia mengingatkan, ada satu putusan yang terbukti tapi memiliki resiko sangat besar. Tepatnya, lanjut Sodiki, ketika Jaksa Agung pada periode pertama SBY menjadi Jaksa Agung tapi pada periode kedua dia menjadi Jaksa Agung tapi tidak dilantik.

“Sehingga, Pak Yusril menggugat karena tidak dilantik, dia tidak berhak menandatangani apapun sebagai Jaksa Agung. Akibatnya, Mahkamah berpendapat bahwa benar memang sekalipun pada periode kedua dia tetap harus dilantik, tidak boleh dilanjutkan begitu saja,” ujar Sodiki.

Dari kasus itu, ia menilai, untuk kepastian hukum dia memang benar. Namun, untuk kerugian membuat banyak jaksa atau siapa saja karena tanda tangannya tidak sah itu harus mengembalikan uang yang sudah terlanjur karena kondisi tersebut.

“Sehingga, Mahkamah menyatakan untuk kali ini saja bisa terjadi, tidak boleh terjadi lagi. Itu dulu ketika harus mempertimbangkan bukan cuma kepastian hukumnya, tapi mudarat atau kerugiannya,” kata Sodiki.

Selain itu, ia menerangkan, dalam banyak daerah asas pemilu seperti luber-jurdil ittu tidak bisa diterapkan. Di Papua, misalnya, mereka tidak mau pemilu berjalan seperti di Pulau Jawa karena masyarakatnya memang memiliki kesukuan yang kuat.

Maka itu, ia menambahkan, di Indonesia ini kita masih belum bisa menerapkan hal-hal seperti itu menggunakan pendekatan yang sama ke semua daerah. Karenanya, Sodiki menegaskan, ketentuan-ketentuan seperti UU harus bisa bersifat progresif.

“Di sinilah kita melihat ada konstitusi atau ketentuan Undang-Undang yang harus progresif, yang harus hidup, tidak bisa dipersamakan satu dan lain,” kata Sodiki.

Ujian Negara Hukum

Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Sulistyowati Irianto mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sengketa Pilpres 2024 akan jadi landmark decision. Putusan itu akan jadi ujian masihkah Indonesia negara hukum. “Kita sedang menguji apakah ini kita masih negara hukum atau tidak melalui kasus ini,” kata Sulis dalam acara yang sama.

Ia mengingatkan, kasus ini menguji pilar-pilar negara hukum yang dimiliki Indonesia mulai dari demokrasi, HAM dan mekanisme kontrol untuk mengontrol pemisahan kekuasaan. Yang mana, tidak hanya trias politica, yudikatif, eksekutif dan legislatif.

Maka itu, Sulis menilai, sengketa pemilu untuk Pilpres 2024 ini bersifat sangat khusus, tidak bisa direduksi menjadi penyelesaian sengketa biasa. Sehingga, ada harapan agar hakim MK bisa memikirkan pertimbangan yang melampaui analisis doktrinal.

“Artinya, hakim MK tidak sekadar menjadikan diri sebagai corong Undang-Undang saja, dan sebagai penjaga gerbang terdepan dari konstitusi MK harus mempertahankan konstitusi, biarpun langit runtuh konstitusi harus tetap tegak,” ujar Sulis.

Sulis menerangkan, ada perintah konstitusi dalam Pasal 22 E yang mengatakan asas pemilu langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Jadi, MK yang memiliki otoritas begitu besar bisa mengesampingkan segala produk UU yang bertentangan asas konstitusi.

Dalam sidang MK, ia berpendapat, ada masalah paradigmatik karena ada satu sisi yang cuma berpijak positivisme hukum. Sedangkan, sisi lain berpijak paradigma keadilan substantif yang bisa diakomodasi lewat pendekatan hukum inter disiplin.

Ranah pertama melihat kalau hukum sudah ke luar, dia tidak bisa diapa-apakan walau substansinya merugikan seperti putusan 90. Padahal, ia menekankan, epistemologi hukum ada dua kamar yang tidak melihat hukum cuma secara dogmatik atau doktrin.

Tapi, lanjut Sulis, ada inter disiplin ketika peneliti melakukan kajian-kajian dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan atau persoalan-persoalan hukum. Sehingga, hakim MK bisa mendapatkan penjelasan yang mampu melampaui analisis doktrinal.

“Sehingga, hukum itu bisa dikaji dengan mendapatkan jawaban yang mendasar, komprehensif, persis seperti sidang MK kemarin,” kata Sulis.

Sulis menambahkan, Indonesia tidak boleh berhenti sampai pemilu dan kalau bisa kita ingin abadi. Tapi, apakah itu akan terjadi sedikit demi sedikit akan ditentukan apakah bangsa Indonesia bisa memulihkan kesalahan-kesalahan, termasuk putusan MK 90.

“Jadi, itu harus dipulihkan melalui putusan yang sekarang, itu harapan kita,” ujar Sulis.

Yakin MK Buat Landmark Decision

Prof Ahmad Sodiki juga mengingatkan, bahwa, MK sudah pernah mengukir sejarah dengan membuat landmark decision seperti yang sudah diputus dalam sengketa-sengketa pemilu yang terjadi sebelumnya.

Antara lain keharusan calon kepala daerah untuk mengumumkan kepada publik jika mereka pernah menjalani masa hukuman penjara atas satu kasus. Kali ini, ada persyaratan batas usia bagi calon wakil presiden yang sudah jadi polemik selama Pilpres 2024 berlangsung.

“Apakah masih mungkin untuk menguji pasal tentang umur wakil presiden itu dengan pasal lain yang ada di dalam konstitusi, bukan yang telah dipakai. Kalau itu masih mungkin ya mungkin bisa diuji lagi,” katanya.

Ia berpendapat, jika itu terjadi MK bisa membuat terobosan putusan atau landmark decision dalam sejarah Indonesia. Artinya, Sodiki menekankan, masih terbuka satu kemungkinan untuk dilakukannya perbaikan dari putusan lama yang saat ini digunakan.

“Dengan demikian, maka ada kemungkinan perbaikan dari putusan yang lama, putusan yang sekarang berjalan,” ujar Sodiki.

Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Sulistyowati Irianto mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sengketa Pilpres 2024 akan jadi landmark decision. Putusan itu akan jadi ujian masihkah Indonesia negara hukum. “Kita sedang menguji apakah ini kita masih negara hukum atau tidak melalui kasus ini,” kata Sulis.

Ia mengingatkan, kasus ini menguji pilar-pilar negara hukum yang dimiliki Indonesia mulai dari demokrasi, HAM dan mekanisme kontrol untuk mengontrol pemisahan kekuasaan. Yang mana, tidak hanya trias politica, yudikatif, eksekutif dan legislatif.

Maka itu, Sulis menilai, sengketa pemilu untuk Pilpres 2024 ini bersifat sangat khusus, tidak bisa direduksi menjadi penyelesaian sengketa biasa. Sehingga, ada harapan agar hakim MK bisa memikirkan pertimbangan yang melampaui analisis doktrinal.

“Artinya, hakim MK tidak sekadar menjadikan diri sebagai corong Undang-Undang saja, dan sebagai penjaga gerbang terdepan dari konstitusi MK harus mempertahankan konstitusi, biarpun langit runtuh konstitusi harus tetap tegak,” ujar Sulis.

Peneliti Pusat Studi Politik Hukum Kepemiluan dan Demokrasi Universitas Andalas, Feri Amsari menegaskan, hakim itu sudah pasti bukan corong undang-undang atau hukum. Tapi, hakim merupakan corong keadilan yang tidak cuma membaca undang-undang.

“Jadi, hakim tidak menemukan undang-undang, wong semua orang baca undang-undang kok, untuk apa hakim kalau cuma sekadar baca undang-undang. Tapi, yang mau ditemukan hakim adalah keadilan,” kata Feri.

Dalam kasus sengketa Pilpres 2024, Feri memberi dorongan agar hakim-hakim MK berani memberhentikan siapapun calon-calon yang terbukti melanggar. Termasuk, jika calon itu merupakan anak seorang presiden yang melantik mereka sebagai hakim-hakim konstitusi.

“Apakah Mahkamah Konstitusi berani memberhentikan anak presiden yang melantik dia, apakah Mahkamah Konstitusi berani kalau salah satu di antaranya adalah orang yang dititipkan melalui proses seleksi tidak adil dari hakim,” ujar Feri, memantik.

Direktur Eksekutif MMD Initiative, Asmai Ishak menyampaikan, MMD Initiative menggelar diskusi dalam rangka menyegarkan kembali sekaligus memberi pelajaran ke masyarakat. Terutama, tentang demokrasi Indonesia yang pernah baik dan perlu dikembalikan lagi.

“Itu yang harus kita kembalikan lagi. MK sebagai lembaga terakhir, benteng demokrasi, benteng keadilan, itu pernah menjadi atau memutuskan atau mengambil putusan yang fenomenal dan sangat bermanfaat untuk kepentingan bangsa,” kata Asmai. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry