Deputi Kepala Perwakilan BI Jatim, Harmanta menanam bibit kopi secara simbolis di Wonosalam Jombang, Sabtu (28/11/2020) lalu. DUTA/ist

JOMBANG | duta.co – Desa Wonosalam, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang tidak hanya penghasil durian, tapi juga kopi yang melimpah.

Tiga varian kopi dihasilkan tiap tahun yakni arabica, robusta dan excelsa. Excelsa adalah kopi asli Wonosalam yang tidak ada di daerah lain.

Tiap tahun hasil panen petani mencapai 800 ton dari tiga varian itu. “Diserap tengkulak dengan harga murah,” ujar Hendrias Bambang Sugeng Purnomo, Ketua Perkumpulan Petani dan Produsen Kopi Wonosalam.

Saat ini untuk kopi Wonosalam hanya dihargai Rp 30 ribu hingga Rp 35 ribu per kilogram. Padahal seharusnya harganya  Rp 80 ribu hingga Rp 85 ribu per kilogram. Dengan harga itu petani kopi bisa sejahtera.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Timur, Difi Ahmad Johansyah menyebut, rendahnya nilai jual kopi Wonosalam karena kurangnya pengetahuan petani untuk mengolah kopi pasca panen.

“Ini yang menjadi kendala. Kopi dan komoditas apapun harusnya diolah dulu setelah panen agar nilai jualnya lebih tinggi, bukan setelah panen langsung dijual,” tandas Difi.

Karena itu, Perkumpulan Petani dan Produsen Kopi Wonosalam di bawah kepemimpinan Bambang Sugeng bertekat untuk menaikkan harga jual kopi Wonosalam. “Berbagai cara mulai kami lakukan,” tandasnya.

Salah satunya adalah menjadi binaan Bank Indonesia. Di mana untuk awal BI mulai membantu 16.500 bibit kopi dan pucuk tunasnya (antras) kepada petani melalui perkumpulan itu.

Bibit yang diberikan adalah yang berkualitas. “Sehingga dengan bibit berkualitas hasilnya juga berkualitas,”  ujar Deputy Perwakilan BI Jatim, Harmanta usai penanaman bibit kopi di kawasan Wonosalam, Sabtu (28/11/2020).

Selain itu, petani melalui perkumpulan, mulai mengolah hasil pasca panen yang sesuai dengan  SOP (standar operasional prosedur).

Misalnya, kata Bambang, memanen kopi harus benar-benar yang sudah merah kulitnya. Karena tanda biji kopi sudah matang dengan kulit yang sudah merah.

“Tidak keburu-buru dipanen karena butuh uang. Itu butuh edukasi dan perkumpulan sudah melakukan itu. Beberapa petani sudah mulai melakukan walau tidak semua. Butuh waktu,” ujar Bambang.

Selain itu, kata Bambang, setelah biji kopi dipanen, harus segera diproses. Tidak boleh didiamkan dalam karung hingga keesokan harinya.

“Jangankan keesokan harinya, beberapa jam didiamkan sudah tidak baik. Begitu sampai ke rumah atau gudang, langsung diproses,” tuturnya.

Proses setelah panen memang cukup beribet. Ini yang terkadang tidak disukai petani. “Maunya gampang. Panen dan dapat uang,” tukas Bambang.

Salah satu yang harus dilakukan pasca panen adalah penjemuran. Sementara ini penjemuran dilakukan secara manual dengan bergantung pada kondisi alam. “Kita sedang upayakan punya alat yang bisa mengambil alih penjemuran secara manual,” ujar Bambang.

Selain itu, penyangraian. Ini penting dilakukan agar kopi tidak dijual mentah. “Selisih harga jauh sekali. Padahal pengolahan pasca panen sebenarnya mudah dilakukan,” tuturnya.

Karena itu, perkumpulan sedang berupaya untuk membentuk koperasi yang berbadan hukum. Sehingga nantinya kebutuhan alat-alat penunjang bisa dimiliki dengan mudah. Sehingga hasil panen petani bisa ditampung dan dijual dengan harga yang layak. “Hasilnya akan kembali ke petani,” tukas Bambang.

Namun semua itu tidak mudah dilakukan. Apalagi petani yang sudah merasa puas dengan hasil selama ini walau belum maksimal. “Petani itu butuh bukti. Kalau ada yang berhasil, mereka dengan sendirinya akan bergabung. Ya memang harus bersabar,” tuturnya.

Karena itu, selain membenahi dan proses menuju berdirinya koperasi, perkumpulan mulai menggalakkan wisata kopi di Wonosolam. Wisata kopi ini, mengajak pengunjung untuk berkeliling perkebunan kopi, ikut menanam, memanen jika waktunya panen, ikut menjemur, menyangrai dan tentunya juga belajar menyeduhnya.

“Jadi kalau pengunjung mau berbisnis kopi, sangat cocok wisata kopi ke Wonosalam,” tandas Bambang. end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry