Catatan Anwar Sadad

SETIAP tanggal 19, 20, dan 21 bulan keempat menurut kalender hijriyah, yaitu bulan Rabi’ al-Akhir, kota Solo selalu dibanjiri pengunjung dari berbagai penjuru tanah air. Selama tiga hari itu, dihelat rangkaian kegiatan religi yang sudah berlangsung puluhan tahun. Jumlah pengunjung dari tahun ke tahun makin meningkat. Susah memang menghitung secara pasti jumlahnya, tapi Asita, asosiasi yang mewadahi pengusaha tur dan perjalanan wisata memperkirakan kurang lebih dua ratus ribu pengunjung datang ke Solo selama tiga hari itu.

Mereka datang untuk mengikuti rangkaian kegiatan selama tiga hari berturut-turut. Hari pertama adalah rahah, ini semacam diaroma suasana belajar-mengajar di ribat, dihadirkan kembali seperti aslinya. Seseorang membaca sebuah kitab tertentu, diterangkan secara gramatikal dan kandungan maknanya, dan didiskusikan oleh peserta yang hadir.

Ribat itu majelis pengajian, bisa juga dimaknai pesantren, dalam konteks sekarang. Ribat yang dibentuk oleh Habib Ali di Seiyun, sepulang dari menuntut ilmu di Makkah, dalam catatan sejarah adalah ribat pertama di Hadramaut. Ribat tersebut hingga kini masih eksis, bernama Ribat al-‘Ilm al-Sharif atau dikenal pula dengan nama Ribat al-Habib ‘Ali al-Habsyi.

Pada hari kedua dibacakan kasidah, ceramah agama, serta pembacaan surah Yasin dan pembacaan Tahlil.  Hari itu, tanggal 20 Rabi’ al-Akhir adalah hari wafatnya Habib Ali, 105 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1333 hijriyah, atau tahun 1915 menurut kalender masehi.

Di hari ketiga, jumlah jemaah yang hadir semakin banyak, berkerumum di Masjid al-Riyad sejak malam hari, meluber hingga memadati jalan Kapten Mulyadi yang terbentang sepanjang dua kilometer. Hari itu adalah pembacaan kitab Mawlid al-Nabi “Simt al-Durar fi Akhbar Mawlid Sayyid al-Bashar” yang merupakan karya besar Habib Ali al-Habsyi, sebuah kitab yang berisi pujian dan sanjungan kepada Rasulullah saw., yang ditulis Habib Ali di tahun-tahun terakhir kehidupannya.

Jumlah massa yang datang memang lebih banyak dibandingkan dengan dua kegiatan di dua hari sebelumnya. Masjid al-Riyad yang terletak di persimpangan jalan Kapten Mulyadi dan jalan Ibu Pertiwi, yang menjadi pusat kegiatan, seakan tenggelam dalam lautan manusia yang bersimpuh, berdoa kepada Allah swt.

“Umat Islam Indonesia telah terhubung lama dengan dunia Islam Arab, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Jadi? Memisahkan rakyat Indonesia dengan Arab, bisa jadi memisahkan rakyat Indonesia dengan Islam itu sendiri.”

Bagi pengunjung yang datang jauh sebelum azan Subuh masih punya kesempatan memasuki masjid keramat yang berdiri sejak tahun 1934 itu. Akan tetapi bagi mereka yang datang lebih akhir bisa jadi hanya bisa berada di pelataran masjid, atau bahkan berada jauh dari masjid.

Meskipun demikian pengunjung terus berjalan mendekati masjid al-Riyad, berdesak-desakan berusaha melewati pengunjung lainnya yang duduk di jalan beralas sajadah atau alas sederhana bekas kemasan snack atau mie instan yang dijajakan seharga dua ribu perlembar.

Tepat ketika azan Subuh berkumandang, pergerakan orang-orang yang merengsek mendekati Masjid al-Riyad praktis berhenti. Mereka duduk rapi dan khusyuk, berzikir bersama, zikir yang panjang, dipimpin seorang Habib. Dengan audio sound system yang ditempatkan di banyak titik, suara Habib yang memimpin zikir itu sampai hingga ke tempat yang jauh, menjangkau jemaah yang berada lebih dari lima ratus meter dari masjid al-Riyad, sampai perempatan jalan Kiai Mojo di selatan masjid. Sedangkan jemaah yang memadati jalan Ibu Pertiwi mengular hingga mendekati Alun-alun Kidul. Lautan manusia, sebagian besar berpakain putih, berzikir bersama, sungguh pemandangan yang menakjubkan. Kira-kira tiga puluh menit kemudian salat subuh dilaksanakan.

Suasana sejak zikir bersama, dilanjutkan salat subuh berjamaah oleh puluhan ribu jemaah, menimbulkan histeria sendiri. Tak sedikit jemaah yang terlihat menangis, larut dalam lantunan zikir yang menguras emosi. Usai salat subuh, pembacaan Mawlid al-Nabi Simt al-Durar dimulai.

Inilah puncak perhelatan Haul Solo ini. Simt al-Durar sendiri adalah sebuah kitab yang berisi lantunan pujian kepada Nabi Muhammad saw, disusun oleh Habib Ali dengan susunan bahasa yang indah, menunjukkan tingginya penguasaan gramatika dan sastra yang dimilikinya.

Sebelum Habib Ali menyusun kitab Simt al-Durar, tradisi membaca Maulid al-Nabi sudah berlangsung secara rutin di Ribat dan Masjid al-Riyad, Seiyun. Baru setelah karya besar kitab Simt al-Durar rampung, kitab inilah yang disenandungkan setiap peringatan Maulid Nabi di Ribat Habib Ali, setiap hari Kamis terakhir di bulan Rabi’ al-Awwal.

Selain Simt al-Durar umat Islam di Indonesia mengenal kitab lain yang lebih dulu populer, seperti Maulid al-Diba‘i ditulis oleh Abd al-Rahman al-Diba‘i (1461-1537), Nazhm al-Mawlid karya al-Barzanji, atau yang lebih lama lagi adalah Qasidah al-Burdah yang ditulis al-Busiri (1211-1294).

Meskipun ditulis belakangan, Simt al-Durar tak kalah populer dibandingkan dengan kitab-kitab sebelumnya, bahkan hampir menjadi bacaan wajib dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Dari berbagai kitab Mawlid al-Nabi tersebut mengandung kesamaan, ditulis dalam bentuk syair yang indah dan memukau.

Sebenarnya tak ada bukti atau setidaknya keterangan yang menyebutkan Habib Ali pernah tinggal atau berkunjung ke Solo, atau kota-kota lain di Indonesia. Meskipun demikian, popularitasnya di kalangan umat Islam di Indonesia, khususnya di kalangan Habaib dan Kiai serta para santri tak diragukan lagi. Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu pecinta Habib Ali yang tiap tahun datang ke Solo sudah cukup membuktikan hal itu.

Masjid al-Riyad di Pasarkliwon, Solo, bisa jadi adalah replika Masjid al-Riyad yang dibangun oleh Habib Ali di kota Seiyun, Hadramaut, Yaman. Bahkan bukan sekadar replika dalam pengertian fisik, kisah hidup Habib Ali, perjalanan spiritual dan kegigihannya dalam berdakwah dan menyebarkan ilmu di Seiyun seakan dinapaktilasi oleh putra tercintanya, Habib Alwi bin Ali al-Habsyi, di kota Solo.

Habib Alwi adalah anak kesayangan Habib Ali, meninggalkan Seiyun beberapa saat setelah ayahnya wafat. Sempat tinggal di beberapa kota di Indonesia, sampai akhirnya Habib Alwi mantap untuk menetap di Solo, tepatnya di Kampung Gurawan. Di Gurawan, Habib Alwi mendirikan zawiyah, majelis zikir dan ilmu yang dipimpinnya sendiri, persis seperti ayahandanya ketika kembali dari pengembaraan menuntut ilmu di Makkah pulang ke Hadramaut dan mendirikan ribat, yaitu majelis ilmu yang juga dipimpinnya sendiri.

Habib Alwi mendirikan Masjid al-Riyad di Gurawan, mengikuti jejak ayahnya mendirikan Masjid al-Riyad di Seiyun. Nama masjid, struktur, tata letak ruangan dibuat semirip mungkin. Aura Masjid Riyad Seiyun seakan merasuk ke dalam Masjid al-Riyad Solo.

BUKTI SEJARAH — Suasana haul di Masjid Ar Riyadh Solo menjadi saksi sejarah betapa akhlak mulia yang diwariskan Habib Ali Al Habsyi selama hayatnya tetap lestari hingga sekarang. Di sini pula ada bukti, bahwa Indonesia tak bisa dipisahkan dengan Arab. (FT/Istimewa)

Popularitas Habib Ali di Indonesia sangat mungkin juga dikarenakan banyak muridnya yang belajar di ribat-nya di Seiyun berasal dari Indonesia. Para muridnya itu, sepulangnya ke kampung halaman, melanjutkan perjuangan gurunya, termasuk tradisi dan kebiasaan yang diajarkan selama di Seiyun.

Oleh karena itu, kedatangan Habib Alwi, sebagai putra bungsu dan putra kesayangan Habib Ali, disambut penuh antusias oleh murid-murid Habib Ali. Kehadiran Habib Alwi menjadi oase di tengah kerinduan murid-murid Habib Ali kepada gurunya. Itulah sebabnya nama Habib Ali tetap “hidup” di hati para muridnya.

Selain oleh murid-muridnya, keharuman nama besar Habib Ali sangat mungkin pula dibawa ke Indonesia oleh teman-teman dan murid-muridnya sewaktu belajar dan mengajar di Makkah. Meskipun lahir di Hadramaut, di sebuah desa bernama Qasam, Habib Ali menghabiskan sebagian besar masa belajarnya di Makkah. Hal itu karena ayah Habib Ali, Habib Muhammad al-Habsyi adalah mufti mazhab al-Syafi’i untuk wilayah Tihamah. Tihamah adalah kawasan yang terletak di barat Semenanjung Arab meliputi Hijaz (kini berada di wilayah Saudi Arabia) dan Yaman. Di Makkah, Habib Ali belajar kepada hampir semua ulama sunni, salah satunya adalah Syaikh Ahmad Zaini Dahlan yang menggantikan Habib Muhammad al-Habsyi sebagai mufti mazhab al-Syafi’i.

Syaikh Ahmad Zaini Dahlan dikenal sebagai guru bagi hampir seluruh ulama besar Nusantara, mulai dari Syaikh Khatib dari Minangkabau, Syaikh Nawawi Banten, Habib Utsman bin Yahya, mufti Batavia, hingga Syaikhona Kholil Bangkalan dan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama. Interaksi Habib Ali dengan teman-temannya sesama murid Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, khususnya yang berasal dari Nusantara, makin mendekatkan nama Habib Ali dengan umat Islam di Indonesia.

Tiga hari di bulan Rabi’ul Akhir setiap tahun menjadi bukti betapa nama Habib Ali al-Habsyi telah terpatri dalam dada umat Islam di Indonesia, sekaligus menunjukkan bahwa transmisi keislaman yang dipraktikkan oleh umat Islam di Indonesia memiliki sumber langsung dengan ulama di negeri Arab, yang ditahbiskan oleh Allah swt sebagai tempat lahirnya agama Islam. Umat Islam Indonesia telah terhubung lama dengan dunia Islam Arab, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Jadi? Memisahkan rakyat Indonesia dengan Arab, bisa jadi memisahkan rakyat Indonesia dengan Islam itu sendiri.

Di pagi itu, senandung doa dan pujian menjadi koor, Habib Ali al-Habsyi yang dimakamkan di sebuah tempat yang jaraknya lebih dari 10.000 kilometer dari Solo memang bukan orang Indonesia, dia orang Arab, tapi ruhnya bersemayam, terkubur di dalam dada umat Islam Indonesia yang pagi itu menyatu dalam lantunan Simt al-Durar yang syahdu. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry