Ilustrasi gambar (Badrul/duta.co)

JAKARTA | duta.co – Kasihan! Melihat nasib politikus PKB, Musa Zainuddin, memang kasihan. Jika benar apa yang disampaikan, tentu, tidak hanya dia yang harus meringkuk di Sukamiskin. Wajar, jika Musa menjerit, mengirim surat permohonan justice collaborator (JC) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hari ini, Senin (25/11/2019), surat JC Musa dibuka blak oleh tempo.co. Kabarnya, JC itu mendarat di meja pimpinan KPK pada akhir Juli 2019. Menurut sumber duta.co, surat JC Musa memang tertanggal 20 Juli 2019. Surat itu ditulis dari Sukamiskin, Bandung.

Ada 12 item yang diuraikan Musa. Tak kalah gawat, adalah item ke 11 dan 12. Di sini Musa menyebut nama Abdul Kadir Karding (Sekjen DPP PKB saat itu) dan Sdr. Baharudin Nasori (Bendahara DPP PKB). Dua nama itu, ditulis dengan huruf kapital.

“Saya diperintahkan oleh DPP PKB, yaitu Abdul Kadir Karding (Sekjen DPP PKB saat itu) dan Bahrudin Nasori (Bendahara DPP PKB) Keduanya adalah Anggota Komisi III DPR RI, untuk tidak mengakui atau untuk berbohong mengenai fakta dan peristiwa sebenarnya,” demikian tulis Musa seperti juga diunggah tempo.co.

Dan, lanjut Musa, “Mereka menjalankan perintah itu dari Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar untuk ”mengarahkan” saya menghadapi dan menjalani proses di KPK,” jelasnya.

Hebatnya lagi, atas hal ini, Musa juga menerangkan sudah ada konfirmasi yang dilakukan kepada Karding. “Karding belum membalas pesan konfirmasi yang dilayangkan soal tudingan ini,” jelasnya dengan tidak menyebut siapa pihak yang dimaksud telah melakukan korfirmasi itu.

Pengakuan Musa ini tak pernah terungkap selama persidangan. “Ada banyak nama dan peristiwa yang tidak terungkap di persidangan,” kata Musa seperti yang pernah dikutip Majalah Tempo edisi 20 Oktober 2019.

Seperti kita tahu, Musa sendiri dihukum 9 tahun penjara karena terbukti menerima Rp 7 miliar untuk meloloskan proyek infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Angka Rp 7 miliar inilah yang membuat beban Musa terlalu berat. Karena di samping kurungan penjara, Musa juga harus membayar denda sebesar Rp 500 juta atau subsider 6 bulan penjara.

Musa merasa tertekan. Karena? “Dialah yang menerima uang paling besar. Dari total Rp 7 miliar, Rp 6 miliar saya berikan lewat dia,” kata Musa kepada Majalah Tempo.

Bagaimana kisah silang-sengkarut korupsi miliaran rupiah ini berlangsung versi Musa Zainuddin? Nama siapa saja yang disebut? Berikut inti surat Musa tertanggal 20 Juli 2019:

Bersama ini perkenankanlah saya mengajukan permohonan kepada Pimpinan Komisi  Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi Juctice Collaborator (JC) dan Permohonan  Keringanan Pembayaran Uang Pengganti, dengan penjelasan sebagai berikut :

  1. Bahwa benar saya pernah menjadi tersangka dan terdakwa pada Komisi Pemberatasan
    Korupsi dengan berkas perkara Nomor : BP-36/23/2017 dan Nomor Perkara : 90/Pid.Sus- TPK/2017/PN. JKT. PST.
  2. Bahwa kronologinya penunjukan saya sebagai Kapoksi sekitar bulan Juli 2015, bermula ketika saya di telepon oleh Ketua Fraksi PKB DPR RI Bapak Helmi Faizal Zaini (Helmy Faishal Zaini), beliau menyampaikan bahwa Ketua Umum PKB Bapak Muhaimin Iskandar menugaskan saya Musa Zainuddin untuk menjadi Kapoksi (Ketua Kelompok Komisi) Fraksi PKB pada Komisi V DPR RI. Untuk itu beliau meminta saya secepatnya menghadap Ketua Fraksi untuk mengambil Surat Penunjukkan sekaligus Pengarahan dari Ketua Fraksi PKB.
  3. Bahwa dalam Pengarahan Ketua Fraksi PKB Helmy Faishal Zaini kepada saya, Bapak Helmy Faishal Zaini menegaskan bahwa Kapoksi merupakan perpanjangan tangan dari Fraksi dan Partai, untuk itu Kapoksi harus patuh dan taat mengamankan kebijakan termasuk mengamankan jatah anggaran di Komisi V DPR RI.

(Seusai diperiksa KPK pada 30 September 2019, Helmy mengaku tak terkait dengan kasus ini. Ia mengaku juga tak mengenal Hong Arta, pengusaha yang menjadi tersangka pemberi suap. “Enggak, enggak, enggak ada itu. Fitnah. Saya kira tidak ada,” kata Helmy.)

4. Bahwa beberapa waktu setelah saya menghadap Ketua Fraksi PKB Bapak Helmy Faishal Zaini, saya dipanggil oleh Bapak Jazilul Fawaid, Sekretaris Fraksi yang juga Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI. Bapak Jazilul Fawaid menyampaikan kepada saya, Banggar sedang membahas Dana Tambahan Optimalilasi dan saya diminta untuk “mengamankan” jatah Fraksi PKB di Komisi V DPR RI.

5. Bahwa sejak saya mendapatkan tugas sebagai Kapoksi, saya berkomunikasi dengan pihak Kementerian PUPR, yaitu Bapak Ayi Hasanudin Kepala Biro Perencanaan dan Penganggaran PUPR, sekaligus menyampaikan fotocopy Surat Penunjukkan saya sebagai Kapoksi dan mengkoordinasikan usulan usulan dari Fraksi PKB terkait dengan kegiatan pada Kementerian PUPR;

6. Bahwa setelah mengesahkan RAPBN 2016, saudara Jailani pernah mendatangani saya di
Lampung menyampaikan bahwa Saudara Abdul Khoir berminat mengerjakan kegiatan pekerjaan pembangunan jalan Taniwel-Saleman senilai Rp 56 miliar dan Rekontruksi Piru-Waisala Propinsi Maluku senilai Rp 52 miliar. Ketika itu saya menyampaikan bahwa saya belum bisa menjanjikan karena saya belum tahu persis paket paket itu yang telah disetujui oleh Pihak kementerian PUPR. Saya khawatir tumpang tindih dengan paket-paket lain yang bukan jatah PKB. Takut Terjadi saling klaim dengan partai partai lain untuk itu saya menawarkan pertemuan kembali di Jakarta;(Abdul Khoir, Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama divonis 4 tahun karena terbukti memberikan suap)

7. Bahwa setelah saya di Jakarta, saya berkoordinasi kembali dengan pihak Kementerian
PUPR Bapak Ayi Hasanudin bahwa benar Paket Proyek yang diminta Abdul Khoir melalui Jailani memang Paket Proyek Jatah PKB yang sudah masuk RKAKL dan DIPA Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2016. Akan tetapi ketika saya minta RKAKL dan DIPA dijelaskan bahwa RKAKL dan DIPA masih proses pemilahan Per Provinsi yang nanti akan disampaikan ke Komisi V DPR RI, dengan informasi dari Kementerian PUPR tersebut, ketika saudara JAILANI menawarkan kembali kepada saya
di kediaman saya Komplek Perumahan Anggota DPR RI Blok A4-53 Kalibata Jakarta Selatan, saya setujui dan Sdr. JAILANI menyanggupi untuk memberikan Pembayaran Rp 7 miliar.

8. Bahwa sesaat setelah Jailani pulang, saya memanggil Mutaqin sekaligus memberikan nomor telepon Jailani, kepada Mutaqin sekaligus saya menyuruh Mutaqin untuk kontakan dengan Sdr. Jailani dengan tujuan menerima uang Rp 7 miliar yang telah dijanjkan.

9. Bahwa setelah Mutaqin menerima uang Rp. 7 Tujuh Miliar dari Jailani, kemudian uang itu di dalam 2 buah Tas Ransel itu, diletakan di kamar tidur saya, keesokan harinya pagi-pagi saya telepon Jazilul
Fawaid untuk menerima uang atas kompensasi yang diberikan oleh Jailani sekitar jam 10.00-11.00 WIB pada saat itu juga Jazilul Fawaid sudah tiba di
kedimanan saya Komplek Rumah Jabatan Anggota DPR RI di Kalibata, pada saat itu saya menyerahkan uang kompensasi yang diberikan oleh Jailani kepada Jazilul sebesar Rp 6 Miliar untuk kemudian akan diserahkan kepada Ketua Umum DPP PKB Bapak Muhaimin Iskandar.(Jazilul menolak berkomentar soal ini. “No comment, ke KPK saja,” kata dia Oktober lalu. Sementara Muhaimin, meminta Tempo bertanya ke Jazilul. “Ke Jazilul saja,” kata dia seperti dikutip dari Majalah Tempo.)

10. Bahwa setelah uang sebesar Rp 6 miliar diterima oleh Jazilul, kemudian saya melaporkan pernyerahan uang tersebut kepada Ketua Fraksi Helmy Faishal Zaini dan saya mengatakan pada saat itu tolong sampaikan kepada Muhaimin Iskandar bahwa uang sebesar Rp 6 miliar sudah saya kirim melalui Jazilul.

11. Bahwa perlu saya sampaikan selama saya menjalani proses hukum di KPK saya diperintahkan oleh DPP PKB, yaitu Abdul Kadir Karding (Sekjen DPP PKB saat itu) dan Bahrudin Nasori (Bendahara DPP PKB) Keduanya adalah Anggota Komisi III DPR RI, untuk tidak mengakui atau untuk berbohong mengenai fakta dan peristiwa sebenarnya, dan mereka menjalankan perintah itu dari Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar untuk ”mengarahkan” saya menghadapi dan menjalani proses di KPK.
(Karding belum membalas pesan konfirmasi yang dilayangkan soal tudingan ini.)

12. Bahwa sejak saya menerima undangan untuk diperiksa sebagai saksi pada awal bulan Februari 2016 sampai menjalani proses persidangan di PN. Jakarta Pusat. Pada saat saya dipanggil untuk menjadi saksi, saya dikenalkan dengan dua orang pengacara, yaitu saudara Farhan dan Haryo Wibowo. Farhan mendampingi secara informal sedangkan Haryo Wibowo mendampingi saya secara formalitas, termasuk mendampingi saya pada saat diperiksa KPK maupun menjalani sidang sidang di pengadilan. Bahwa kedua orang pengacara tersebut di bawah pengarahan dari DPP PKB yang dilakukan oleh Sekjen PKB waktu itu Abdul Kadir Karding dan Bahrudin Nasori.

Demikian surat permohonan untuk menjadi Justice Collaborator (JC) Pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia dan Keringanan Pembayaran Uang Pengganti saya ajukan kepada Pimpinan Pemberatasan Korupsi (KPK RI). Atas segala perhatiannya diucapkan terima kasih.

Bandung, 20 Juli 2019

Hormat Saya

Pemohon

DRS HI. MUSA ZAINUDDIN (*) (mky, sumber: tempo.co)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry