Dr. dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp, An berhasil menyelesaikan Studi dan menyandang Gelar pendidikan tertinggi yakni Doktor dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB) (dok/duta.co)

MALANG  | duta.co –  Setiap orang bisa mengalami nyeri dengan berbagai tingkatan dan penyebab yang ditimbulkannya. Banyak faktor yang menjadi penyebab nyeri, tidak mengenal usia karena bisa menimpa siapa saja dengan sebab yang berbeda pula.

Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan, atau menyerupai yang terkait dengan, kerusakan jaringan aktual atau potensial.  Berdasarkan durasinya, nyeri dapat digolongkan dalam 2 jenis yaitu nyeri akut (kurang dari 3 bulan) dan nyeri kronis (lebih dari 3 bulan) . Nyeri kronis menjadi masalah bagi sepertiga hingga setengah dari populasi dunia.

Problem nyeri dan masalahnya menarik minat Dr. dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp, An hingga berhasil menyelesaikan Studi dan menyandang Gelar pendidikan tertinggi yakni Doktor dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB) setelah  berhasil menuntaskan penelitiannya, mempertahankan ide dan gagasannya hingga maju Ke Ujian Diseminasi akhir yang dilaksanakan di Auditorium Gedung Pusat Pendidikan lantai 6 (GPP FKUB) pada Senin pagi (12/7/23).

dr. Ristiawan berhasil melaksanakan penelitian Disertasinya berjudul “EFEK PULSED RADIOFREQUENCY TERHADAP PENURUNAN SENSITISITAS NEURON TERSENSITISASI MELALUI KONSENTRASI ION KALSIUM INTRASEL, POTENSIAL MEMBRAN MITOKONDRIA, DAN JUMLAH ATP SITOSOLIK” (Upaya Menjelaskan Mekanisme Efek Pulsed Radiofrequency pada Neuron Model Nyeri).

Kepada media  dr. Ristiawan mengatakan nyeri sangat menggangu aktivitas apalagi kalau terjadi saat usia produktif.  Berdasarkan mekanismenya, nyeri dibagi menjadi 2 yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri radikuler merupakan salah satu jenis nyeri neuropatik yang dapat menjadi kronis. Nyeri radikuler terjadi akibat stimulasi pada dorsal root ganglion (DRG) atau pada akar saraf sensorik saraf spinal.

“Kondisi nyeri ini lebih sering terjadi pada bagian lumbal dan disebut juga sciatica. Organisasi kesehatan dunia mengestimasikan bahwa 1 dari 10 orang dewasa didiagnosa nyeri kronis setiap tahunnya. Hasil suatu studi menunjukkan bahwa prevalensi kondisi nyeri kronis sebesar 37,3% di negara maju dan 41,1% di negara berkembang, dengan nyeri punggung dan sakit kepala yang lebih umum di negara berkembang daripada negara maju.”

Menurutnya, Nyeri kronis menjadi kendala klinis yang sulit diatasi, terutama yang ditimbulkan oleh nyeri neuropatik. Terapi pulsed radiofrequency (PRF) merupakan salah satu modalitas manajemen nyeri yang merupakan pengembangan dari continuous radiofrequency (CRF). Penggunaan CRF diketahui dapat menimbulkan defisit motorik dan deafferentation syndrome akibat penggunaan suhu yang terlalu tinggi. Terapi PRF memaparkan rangkaian frekuensi rendah (2 atau 4 Hz) dalam jangka waktu singkat (20 atau 10 ms) dengan range radiofrekuensi 500 kHz.

“Terapi PRF menunjukkan keberhasilan pada beberapa jenis nyeri neuropatik kronis, termasuk di antaranya nyeri radikuler kronis, namun mekanisme kerja PRF dalam menurunkan nyeri belum diketahui dengan jelas,” jelasnya.

Berdasarkan latar belakang ini, rumusan masalah penelitian yang diajukan yaitu apakah paparan PRF dapat menurunkan sensitisasi neuron tersensitisasi melalui penurunan intensitas kalsium intrasel neuron, intensitas potensial membran mitokondria (PMM) dan peningkatan konsentrasi ATP sitosolik neuron tersensitiasi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa paparan PRF dapat menurunkan sensitisasi neuron tersensitisasi melalui penurunan intensitas kalsium intrasel neuron, intensitas PMM dan peningkatan konsentrasi ATP sitosolik neuron tersensitiasi.

Lebih lanjut Dokter Spesialis Anastesiologi FKUB/ RSSA ini menyampaikan, Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental in-vitro yang dilakukan dalam dua tahap. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Sentral Ilmu Hayati, Universitas Brawijaya, Malang. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2021 – Agustus 2022.

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu paparan PRF pada neuron tersensitisasi menyebabkan kenaikan kalsium intrasel, namun kenaikannya lebih rendah dibandingkan pada sel neuron tersensitisasi yang tidak terpapar PRF. Intensitas PMM lebih rendah pada sel neuron tersensitisasi yang terpapar PRF dari pada sel yang tidak terpapar.

Konsentrasi ATP sitosolik lebih tinggi pada sel neuron tersensitisasi yang terpapar PRF dari pada sel yang tidak terpapar. Sensitisitas sel neuron lebih rendah pada sel neuron tersensitisasi yang terpapar PRF dari pada sel yang tidak terpapar. Selain itu, terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas kalsium intrasel, intensitas PMM, dan konsentrasi ATP sitosolik dengan sensitisitas sel neuron tersensitisasi.

Dengan demikian, penelitian ini membuktikan bahwa pemberian PRF dapat menurunkan sensitisasi neuron DRG model tersensitisasi melalui mekanisme penurunan influks kalsium intrasel, PMM dan peningkatan konsentrasi ATP sitosolik.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan terutama di bidang manajemen nyeri menggunakan PRF. Selain itu, hasil penelitian ini dapat memberikan bukti ilmiah mekanisme pengaruh PRF dalam menurunkan sensitisasi neuron yang dianggap sebagai penyebab berkembangnya nyeri menjadi kronis berdasarkan potensial membran mitokondria dan level ATP sitosolik yang dipengaruhi oleh perubahan jumlah influks Ca2+ melalui NMDAR.

“Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan neuron model nyeri yang dapat digunakan dalam penelitian lainnya terkait terapi nyeri,” jelasnya. Imm

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry