Oleh: Mohammad Khakim, wartawan Duta Masyarakat dan duta.co

Mencermati perkembangan politik akhir-akhir ini, rasanya kian menjauh dari adat ketimuran yang menjunjung tinggi adab dan martabat manusia. Ini terjadi tak lepas dari nafsu politik yang berlebihan di antara para pendukung calon presiden. Ironisnya, degradasi adab dan martabat ini bukan saja terjadi di grass root, namun juga kalangan elite politik. Hal itu terpotret dari ungkapan-ungkapan atau makian-makian mereka.

Sudah menjadi rahasia umum, di media sosial (medsos) sejak beberapa tahun terakhir terjadi saling maki dengan kosa kata yang tidak enak di telinga dan hati, seperti cebong dan kampret. Mendekati Pilpres yang digelar Juni 2019, fenomena negatif kian meningkat.

Cebong mengacu pada para pendukung Capres nomor urut 01 Joko Widodo, sedangkan kampret mengacu pendukung capres nomor urut 02 Prabowo Subianto. Cebong adalah berudu, anak katak yang masih berinsang. Diduga istilah ini awalnya muncul karena Jokowi mengaku suka hewan katak, bahkan dia memelihara hewan amfibi itu di Istana Bogor.

Sedangkan kampret adalah kelelawar kecil pemakan serangga. Istilah ini muncul diduga untuk ‘merendahkan’ Garuda gagah, lambang Parpol Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dipimpin Prabowo Subianto.

Walau merupakan makian, cebong dan kampret ini masih relatif halus dibandingkan umpatan asu (anjing). Baru-baru ini Bupati Boyolali Seno Samodro di depan ribuan warganya memaki asu kepada Prabowo Subianto di Gedung Balia Sidang Mahesa, Boyolali, Minggu (4/11/2018). Makian ini sebagai respons atas pernyataan Prabowo tentang ‘tampang Boyolali’.

Elite PDIP lantas membela Bupati Seno. “Ini soal kultur, anak-anak wilayah Surakarta, terutama yang bersikap egaliter, pisuhan (makian) kata asu itu sudah kebiasaan,” ujar Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Bambang Wuryanto dilansir detik.com, Selasa (6/11/2018).

Atas makian ‘asu’ ini, pendukung Prabowo pun melaporkan Bupati Boyolali ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Jakarta. Oleh Mabes Polri, kasusnya dilimpahkan ke Polda Jawa Tengah.

 

Menghalalkan Segala Cara

Mestinya anak bangsa ini menempuh cara-cara bermartabat dalam Pemilu atau Pilkada. Nilai-nilai luhur dan budaya perlu dijaga untuk memperkuat nilai demokrasi. Hindari ujaran kebencian, fitnah, hoax, dan menghalalkan segala cara dalam demokrasi. Namun, faktanya isu-isu negative tersebut sehari-hari menghiasi media massa maupun media sosial.

Kepala daerah korupsi telah ditangkapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun seakan-akan tak pernah habis. Sebagian mereka menggunakan uang hasil korupsi dan gratifikasi untuk membiayai kampanyenya dalam Pilkada.

Sejak 2014, KPK sudah menangkap 100 kepala daerah baik melalui operasi tangkap tangan (OTT) maupun pengembangan kasus korupsi. Nyono Suharli Wihandoko, mantan Bupati Jombang yang kini meringkuk di tahanan KPK , diduga memotong 7 persen dari Rp400 juta dana izin tiap Puskesmas (total 34 Puskesmas) yang ingin menjadi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) program BPJS.

Sebagian dana hasil korupsi itu, menurut Jubir KPK Febri Diansyah, digunakan untuk membayar iklan di media cetak untuk kampanyenya sebagai petahana di Pilkada Jombang 2018 (tribunnews.com, 4/2/2018).

Demikian pula kepala daerah ke-98 yang ditangkap KPK, yakni Bupati Malang Rendra Kresna. Oleh KPK, Rendra diduga mengatur supaya bisa meraup fee dari pengadaan buku dan alat peraga pendidikan tingkat SD dan SMA di Dinas Pendidikan Pemkab Malang. Proyek itu mendapat Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan di Tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013.

“Setelah bupati menjabat, dilakukan proses pengumpulan fee proyek di Kabupaten Malang untuk kebutuhan pembayaran utang dana kampanye (Pilbup Malang 2015) yang sudah dikeluarkan sebelumnya,” tutur Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, (kompas.com 11/10/2018).

 

Indeks Demokrasi Rendah

Fakta-fakta semacam di atas, yang sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir menjadi salah satu penyebab menurunnya indeks demokrasi Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia. Ekonom senior INDEF Faisal Basri mengutip rilis The Economist Intelligence Unit (EIU) menyebut, rangking indeks demokrasi indonesia anjlok di angka 68 pada 2017 dari sebelumnya 48 pada 2016 (viva.co.id, 31/7/2018).

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, salah satu penyebab rendahnya indeks demokrasi adalah, para aktor politik dan elite negeri ini menghambat proses demokrasi dengan mengesampingkan nilai-nilai budaya leluhur bangsa.

“Kita tercerabut dari akar kita, sehingga ini yang menjadi permasalahan dasar kita. Keadaban kita menurun drastis, semuanya dimaknai dengan kontestasi,” kata Siti dalam sebuah diskusi di Menteng Jakarta, (indopos.com, 29/8/2018).

Tak heran bila selama tahapan Pilkada Serentak 2018, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memproses 3.133 laporan dan temuan dugaan pelanggaran. Rincianya, 291 pelanggaran pidana, 853 pelanggaran administrasi, 114 pelanggaran kode etik, dan 712 pelanggaran hukum lainnya menyangkut keterlibatan aparatur sipil negara (ASN). Sementara, 619 lainnya dikategorikan tak terbukti sebagai pelanggaran setelah dilakukan pemeriksaan oleh Bawaslu.

Fakta-fakta di atas menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggaraan Pemilu 2019 agar lebih berkualitas. Sudah saatnya semua stake holder Pemilu mawas diri dan terus berbenah. Para penyelenggara Pemilu harus betul-betul independen, nonpartisan, dan professional.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat, provinsi, hingga kota/kabupaten harus mewujudkan bekerja sesuai pasal 2 UU Nomor 15 Tahun 2011, yakni “mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas”.

Sejauh ini, menurut hemat penulis, KPU telah bekerja secara baik dan hal itu perlu terus ditingkatkan. Walaupun harus diakui seperti kasus yang terjadi di Pilkada Serentak 2018 di Kabupaten Sampang, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan MK Nomor 38/PHP.BUP-XVI/2018 memerintahkan PSU (Pemungutan Suara Ulang) di Tempat Pemungutan Suara (TPS) semua kabupaten. Pangkalnya adalah ketidaklogisan Daftar Pemilih Tetap (DPT), yang tentunya itu merupakan hasil kerja KPU setempat.

Jumlah DPT mencapai 95 persen (803.499 pemilih) dari jumlah penduduk yang 844.872 orang. Dengan kata lain hampir 100 persen penduduk menggunakan hak suara, sebuah fakta yang tidak logis. Mengingat, dalam jumlah penduduk itu, ada anak-anak di bawah umur yang belum memenuhi syarat menggunakan hak suaranya.

Ini menjadi bahan pelajaran penting bagi penyelenggara Pemilu di tataran daerah maupun pusat. Bisa jadi mereka merasa sudah bekerja maksimal, namun nyatanya masih ‘kecolongan’. Dalam hal ini, cara kerja komisioner Pemilu selain keras harus cerdas, agar tidak menimbulkan dampak hukum.

Di sisi lain, Parpol dan elitenya sebagai peserta Pemilu juga memiliki tanggung jawab besar memberikan edukasi politik kepada masyarakat. Mereka harus memberi teladan serta menampilkan demokrasi dan Pemilu bermartabat.

Martabat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tingkat harkat kemanusiaan, harga diri.  Harkat adalah derajat (kemuliaan dan sebagainya), taraf, mutu, nilai, harga. Sedangkan harga diri berarti kesadaran akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri sendiri.

Bila semua pihak sepakat dan memiliki komitmen yang kuat mewujudkan Pemilu bermartabat, maka menghalalkan segala cara seperti ujaran kebencian, hoax, fitnah, money politics, tentunya bisa ditekan. Pemilu bermartabat harus menjadi cita-cita dan terus diperjuangkan hingga terwujud. *