Supangat, M.Kom., Ph.D., ITIL., COBIT., CLA – Ketua Program Studi Sistem dan Teknologi Informasi (Sistekin) Untag Surabaya

DEMOKRASI memegang peran krusial dalam sistem pemerintahan, meskipun implementasinya bervariasi antar negara. Konsep demokrasi mengakui kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sehingga menjadikan rakyat sebagai sumber kekuasaan yang menentukan arah dan pengelolaan negara.

Dalam era globalisasi dan transformasi digital yang terus berkembang, muncul sebuah paradoks bahwa demokrasi digital perlu mendapat perhatian serius. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 menunjukkan peningkatan penetrasi masyarakat di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa.

Pertumbuhan interaksi masyarakat dengan dunia maya secara signifikan mempengaruhi kehidupan sosial, politik, dan negara. Manfaat nyata dari kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam politik adalah perluasan fungsi-fungsi sosial dari para pelaku politik, hubungan antara warga negara dan warga negara lainnya lebih mudah.

Demokrasi digital (e-democracy) menerapkan demokrasi tanpa terikat oleh batasan ruang, waktu, atau kondisi fisik, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) serta Computer-mediated Communication (CMC). Demokrasi digital berperan dalam memperluas cakupan partisipasi publik, memberikan nilai tambah dengan mewujudkan kesetaraan bagi setiap warga negara untuk turut serta dalam kehidupan politik.

Namun, meskipun teknologi memberikan akses yang lebih luas terhadap informasi dan memberdayakan partisipasi masyarakat dalam proses demokratis, perkembangan teknologi hacking memberikan tantangan serius terhadap kelangsungan demokrasi itu sendiri.

Posisi Indonesia di peringkat ke-24 dari 194 negara, seperti tercatat dalam Global Cyber Security Index 2020, mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kebebasan sejati dalam kemampuan warga negara Indonesia untuk melindungi data pribadi mereka dan mendapatkan jaminan perlindungan yang memadai saat beraktivitas di dunia maya.

Tidak semua warga negara memiliki akses yang sama terhadap inovasi TIK, yang erat kaitannya dengan disparitas ekonomi individu. Mereka dengan tingkat pendapatan memadai memiliki akses lebih besar, tetapi minat terlibat dalam dunia internet tidak selalu sejalan dengan kemampuan daya beli yang memadai.

Data dari salah satu konsultan terkemuka, McKinsey & Company, setengah dari total populasi dunia, sekitar 4,4 miliar orang, masih hidup tanpa akses internet. Ini terjadi meskipun dalam satu dekade terakhir, sekitar 2,7 miliar individu telah menjadi bagian dari populasi online global. Lebih dari 60% dari seluruh populasi global belum terhubung ke internet (offline), sementara hanya 40% yang telah memiliki akses.

Kebebasan partisipasi politik melalui teknologi digital membuka peluang bagi warga negara untuk aktif dalam diskusi politik dan memengaruhi kebijakan publik. Ini memberikan kesempatan bagi warga untuk menjadi pembuat opini dan memengaruhi persepsi publik tentang isu-isu politik.

Meskipun demikian, tantangan besar muncul dalam mengelola informasi yang tersebar luas, perlu penanganan bijak agar partisipasi politik berjalan sehat dan inklusif. Masyarakat harus memilah dan memverifikasi informasi untuk menghindari disinformasi atau hoaks.

Serangan siber dan manipulasi informasi menjadi senjata untuk memanipulasi opini publik, meragukan kepercayaan pada proses demokratis, dan bahkan merusak struktur politik yang ada. Pertumbuhan teknologi hacking yang cepat menimbulkan ancaman baru terhadap integritas demokrasi digital. Oleh karena itu, kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil diperlukan untuk membentuk kerangka kerja responsif terhadap perkembangan teknologi hacking.

Etika dalam pengembangan teknologi hacking menjadi fokus utama untuk menjaga keamanan demokrasi digital. Meskipun kegiatan hacking atau peretasan oleh beberapa orang dianggap sebagai akses ilegal ke dalam sistem dan jaringan komputer, seharusnya hal tersebut tidak demikian.

Awalnya, hacking melibatkan pembelajaran bahasa pemrograman dan sistem komputer dengan tujuan untuk menciptakan inovasi dan kode program dalam menyelesaikan masalah. Seorang hacker seharusnya mengedepankan etika dan norma yang berlaku di dunia maya, dengan sikap anti penipuan, anti penyensoran, dan menolak pemaksaan kehendak pada orang lain.

Tindakan hacker dipengaruhi oleh motivasi yang bervariasi, termasuk keuntungan, kekuasaan, balas dendam, rasa ingin tahu, atau bahkan motif politik. Beberapa ahli hacking terlibat dalam peretasan berbahaya yang dilakukan oleh hacker jahat (hacker black).

Ethical hacking diperlukan untuk melawan mereka, mengidentifikasi kelemahan keamanan, serta membantu memperkuat dan mencegah peretasan. Keberadaan ethical hacking penting sebagai jaminan kredibilitas dan menjaga reputasi organisasi.

Jadi, etika bukan hanya menjadi dasar dalam menciptakan alat keamanan siber, tetapi juga dalam memastikan bahwa teknologi yang dikembangkan mendukung prinsip dasar demokrasi.Dalam ethical hacking, akses dibatasi pada sistem yang disetujui, dan hasil temuan harus dijaga kerahasiaannya untuk melindungi keamanan sistem dan efektivitas tindakan yang diambil, termasuk keamanan data pribadi.

Demokrasi digital membutuhkan partisipasi pemangku kepentingan, penekanan etika, kerjasama lembaga, dan literasi digital masyarakat untuk melawan ancaman teknologi hacking. Meningkatkan kapabilitas warga negara adalah kunci untuk membangun keamanan siber dan kedaulatan data di Indonesia.

Dalam hal ini, negara bertanggung jawab menyusun sistem keamanan siber yang tidak hanya melindungi data secara aman, tetapi juga demokratis bagi semua warga negara Indonesia. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry