Oleh : Anajeng Esri Edhi Mahanani, SH, MH.

BERBICARA keuangan desa, tidak dapat dipisahkan dengan bahasan salah satu sumber penerimaan keuangan desa terbesar yakni dana desa (DD).

DD menjadi sumber dana yang acapkali menjadi fokus perhatian, setelah terealisasi melalui Undang-Undang Desa yaitu UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

DD yang bergulir dari pusat ke kas desa tentu harus dikelola sebaik mungkin. DD yang memang digelontorkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBD) ditransfer oleh pemerintah pusat melalui APBD kabupaten/kota.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2014, dinyatakan bahwa DD harus dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mengutamakan kepentingan masyarakat setempat untuk kemakmuran desanya.

Peraturan yang ketat ini wajar, mengingat bahwa perolehan DD tidaklah kecil.
Kita pahami, bahwa dalam pengelolaan DD, setiap desa yang notabene-nya memiliki otonomi asli, diberikan kewenangan untuk mengatur, menggunakan, dan mengurus sesuai dengan kebutuhan dan prioritas desa.

Prinsip ini tentunya sejalan dengan prinsip otonomi yakni pengelolaan atau pengaturan rumah tangga sendiri secara mandiri.
Yang kemudian menjadi tarik ulur pembahasan dan permasalahan di lapangan adalah kewenangan pengelolaan DD yang sekali lagi tidak sedikit.

DD yang ada tentunya dapat dengan leluasa digunakan untuk mendanai keseluruhan kewenangan desa sesuai dengan kebutuhan dan prioritas DD, di lain sisi, harus dipastikan bahwa perangkat desa atau aparatur desa masing-masing memiliki rasa tanggung jawab juga untuk mengamankan penerimaan negara.

Banyak permasalahan di desa yang mengarah pada tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh perangkat desa, utamanya Kepala Desa.

Kepala Desa sebagai Kuasa Pengguna Anggaran di sini harus menyadari bahwa kepala desa memegang kekuasaan pengelolaan keuangan tingkat desa bertanggung jawab atas tugas-tugas untuk merumuskan kebijakan terkait penerapan APB Desa; menetapkan PTKPD (Pelaksanaan Teknis Pengelolaan Keuangan Desa) yang terdiri dari sekretaris desa, kepala seksi dan bendahara; menunjuk pemungut pajak desa; menyetujui pengeluaran yang ditentukan oleh APB Pedesaan; serta mengambil tindakan yang dapat menyebabkan pengeluaran, tetapi tidak dengan mengorbankan anggaran desa.

Perangkat Desa utamanya Kepala Desa harus betul-betul memahami terkait aturan-aturan Dana Desa. Setidaknya mempelajari Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitasi Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang DD yang bersumber dari APBN sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang DD yang Bersumber dari APBN.

Masyarakat pun akan lebih baik juga mengetahui dan mempelajari aturan-aturan tersebut, sehingga dalam hal pengelolaan keuangan desa, masyarakat turut andil berpartisipasi dan memonitor demi terciptanya kesejahteraan negara dari desa.

Desa bebas korupsi, perangkat desa cerdas hukum pengelolaan keuangan desa, dan tercipta masyarakat sadar hukum yang peduli kesejahteraan masyarakat, desa dan negara.

* Dosen UPN “Veteran” Jawa Timur

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry