Fakultas Hukum Universitas Jember, Sabtu (11/2/2017). (duta.co/syaifuddin)
Akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia saat diskusi di Fakultas Hukum Universitas Jember, Sabtu (11/2/2017). (duta.co/syaifuddin)

JEMBER | duta.co — Sejumlah akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia mendukung perjuangan rakyat Rembang Jawa Tengah, utamanya perjuangan hukum atas tambang PT Semen Indonesia. Kekerasan yang dialami petani memperlihatkan rusaknya sistem birokrasi yang patuh terhadap hukum.

“Sungguh memprihatinkan. Upaya warga petani Rembang yang menghendaki tegaknya hukum atas Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (MA) pada 5 Oktober 2016 harus kembali berhadapan dengan cara-cara kekerasan,” kata Herlambang P. Wiratraman, dari Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Dalam siaran pers yang dilakukan di Fakultas Hukum Universitas Jember, Sabtu (11/2/2017), diungkapkan kekerasan yang menimpa petani Rembang dalam bentuk perusakan tenda posko perjuangan penolakan tambang semen dan pembakaran mushola. Tindakan itu diduga dilakukan pendukung tambang.  “Warga penolak tambang semen terus mendapatkan kekerasan dan intimidasi hingga tadi malam,” ungkapnya.

Peristiwa itu, kata Herlambang, seharusnya tidak terjadi bila Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mematuhi putusan MA dengan mencabut ijin, bukan addendum. Karena permohonan warga sebagai penggugat adalah mencabut izin, dan hal tersebut telah dikabulkan seluruhnya.

Amar putusan PK Mahkamah Agung tersebut, pertama, mengabulkan gugatan para Penggugat untuk seluruhnya.

Kedua, menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 660.1/17 Tahun 2012 tanggal 7 Juni 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk, di kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah.

Ketiga, mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tangga 7 Juni 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. “Ini artinya, izin berikut operasi pertambangan semen PT Semen Indonesia sudah seharusnya dihentikan,” tegasnya.

Setelah Putusan Peninjauan Kembali MA, lanjutnya, Gubernur justru abai dengan membuat addendum AMDAL dan mengeluarkan ijin baru. “Di sisi lain, situasi buruk penyelenggaraan pemerintahan ini seakan dibiarkan pemerintah pusat, sehingga tidak lagi peka atas kenyataan penolakan dan kekhawatiran kerusakan lingkungan,” ujarnya didampingi sejumlah akademisi Fakultas Hukum.

Masih menurut Herlambang, situasi tersebut memperlihatkan rusaknya sistem birokrasi yang patuh dalam kerangka negara hukum Indonesia. Pengadilan seakan bukan lagi tempat untuk mencari keadilan sosial dan keadilan ekologis bagi masyarakatnya. Karena penyelenggara pemerintahan dengan mudahnya berakrobatik secara administratif dalam mengeluarkan kebijakannya.

“Bila ini semua terus menerus dibiarkan terjadi, maka sesungguhnya pemerintah, khususnya Gubernur Ganjar Pranowo, semakin jelas posisinya tidak peduli terhadap nasib kaum tani dan penyelamatan lingkungan di wilayah pegunungan Kendeng,” tuturnya.

Para akademisi yang tergabung dalam Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia itu menilai dari hari ke hari kian pemerintah memperlihatkan arogansi kekuasaan, baik itu di birokrasi maupun dukungannya terhadap pengusaha tambang. Pembiaran peristiwa pembakaran dan perusakan menandai reproduksi kekerasan dan konflik sosial yang justru melemahkan komitmen perlindungan HAM dan ekologis.

Melihat situasi atas kasus tambang Rembang itu SEPAHAM Indonesia, pertama, mendesak Presiden Joko Widodo untuk bersikap tegas menunjukkan komitmen penegakan hukum, HAM, dan penyelamatan lingkungan dengan menghentikan izin dan operasi Tambang PT Semen Indonesia.

Kedua, mendesak pemerintah pusat mengevaluasi secara lebih hati-hati, bijak, dan kokoh, terhadap semua rencana usaha pertambangan dan meneguhkan upaya perlindungan hak-hak konstitusional warga negara serta hak atas lingkungan.

Ketiga, mendesak Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, untuk taat hukum terhadap Putusan Mahkamah Agung PK No. 99 PK/TUN/2016, dan menghormatinya sebagai petanggungjawaban konstitusional pejabat negara, dan membatalkan ijin lingkungan kegiatan penambangan.

Keempat, mendesak kepada Kapolri untuk mengusut tuntas segala bentuk kekerasan dan pembiaraan oleh aparat penegak hukum kepolisian di bawah jajarannya, sebagai upaya perlindungan hukum bagi hak-hak masyarakat yang telah diberikan kemenangan putusan Mahkamah Agung.

Kelima, menegaskan bahwa hilangnya investasi negara dalam Perusahaan BUMN adalah akibat pemerintah jawa tengah itu sendiri yang tidak menghormati proses peradilan yang berjalan. “Dan hal ini telah diingatkan warga dan dalam forum peradilan itu sendiri,” jelasnya.

Dalam pers rilisnya, akademisi yang tergabung dalam SEPAHAM Indonesia berasal dari berbagai perguruan tinggi, mulai dari Universitas Jember, Universitas Airlangga, Universitas Indonesia, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Universitas Surabaya, President University Jakarta, Universitas Gajah Mada Yogjakarta, Universitas Lampung. (aif)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry