Oleh:Suparto Wijoyo*
SEBUAH utasan atau sobekan kain jubah memang untuk melindungi diri dari dinginnya hawa ataupun panasnya sengat matahari, yang pasti membungkus diri. Apalagi segenggam jubah kekuasaan ekonomi meski hasil nyolong dana perbankan, terpidana bisa menjadi pangeran yang mampu menyeret aristokrat hukum. Jubah pangeran terpidana ini mengaburkan antara terpidana dan pemidananya, nyaris bergumul dalam ranjang pertemanan yang dibawa ke ranah kewenangan. Simaklah fenomena sebutan media massa atas sosok yang bernama Joker alias Djoko Tjandra yang “membungkus” beberapa petinggi penegak hukum.
Bagi Cak Mispon, pasti publik dibuat terhenyak dan terpaku tidak mampu beranjak menyaksikan realitas di luar imajinasi paling liar sekalipun: buron dan pemburunya “ngopi” bareng. Rasa geram mengeja kelindan organ negara, mulai kelurahan, keimigrasian, kepolisian dan lembaga peradilan dijadikan “ladang permainan” Djoko Tjandra. Sebuah kenyataan yang menyembulkan kekesalan klimaks: aparatur hukum “merayapi” tahtanya sendiri. Hukum dipatgulipat sekerumunan penegaknya yang “membentuk formasi aristokrat” yang menorehkan keperihan rasa keadilan. Penggerogotan hukum dilakukan serentak oleh “penoda hukum” dan “penjaga hukum”.
Tampilan aparatur negara dalam kasus Djoko Tjandra menyeret lembaga hukum ke titik memilukan. Jabatan dipertaruhkan untuk melindungi pelanggar hukum dan ini merupakan fenomena pengabaian kepatutan pemerintahan (behoorlijke bestuur) yang selama ini diajarkan di ruang-ruang perkuliahan. Pakem kenegaraan dan azas-azas umum pemerintahan yang baik sebagai pemandu legal power kian senyap seperti dongeng semata.
Dunia hukum memamerkan ontran-ontran yang dramatik dan sangat telenovelis untuk diikuti. Potret yuridis Djoko Tjandra ini sejatinya menjadi perenungan pemegang otoritas negara untuk berbenah, bukan sekadar berubah. Tugas kepolisian dan lembaga hukum lainnya adalah menjadikan dirinya masih bisa dipercaya. Jangan sampai kritik keras Gary Goodpaster dalam Law Reform in Developing and Transitional State (2007) tetap langgeng di negeri ini. Dinyatakan bahwa sistem hukum Indonesia tidak bisa dipercaya (Today, the Indonesian legal system cannot be trusted), kecuali untuk melindungi kegiatan korup (Budiman Tanuredjo, 2020).
Penegak hukum mutlak bertanggung jawab terhadap praktik hukum yang mendistorsi kepercayaan khalayak ramai kepada hukum. Kita semua paham bahwa dalam hukum memang ada beragam kepentingan, tetapi itu diorientasikan agar hukum selalu bermartabat. Sebagai kompleks kaidah, kata DHM Meuwissen, hukum bukanlah gejala netral, hukum ada dalam “atmosfer sosial” yang sarat interest. Secara konseptual hukum dibingkai tiga kepentingan, yaitu: public interest, professional interest, dan personal interest. Setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbincangkan hukum, tetapi tidak semuanya mempunyai kewenangan membuat keputusan hukum kecuali pejabat hukum, seperti yang mampu beraksi bersama Djoko Tjandra.
Menyaksikan “reality show” yang terpentaskan di “tragedi” Djoko Tjandra ini, moralitas dan intelektualitas terasa dilumpuhkan. Negara hukum dibuat kehilangan makna akibat ulah penegak hukum yang tidak elok bertindak. Saatnya hukum dikembangkan dengan aparatur yang berkarakter kuat. Para penstudi hukum harus diajak mendialogkan jabatan-jabatan hukum dalam konteks kepatutan dan profesionalitas. Para yuris selayaknya memiliki sensitivitas individual dan komunal untuk mengkaji setiap gerak penegak hukum. Ada batas yang kentara antara terhukum dan yang melakukan proses hukum. Keduanya tidak untuk dijumbuhkan melainkan dilebarkan jaraknya.
Tetapi jubah kuasa sang terpidana ternyata dalam kenyataannya dapat membungkus semaunya, terutama sang penangkap dan pemberi surat jalan. Ini tidak pantas dan melanggar tupoksi aparatur secara hakikiah. Pada sisi inilah kepolisian sebagai lembaga yang membawa mandat hukum agar membangun ornamen supremasi hukum dengan penuh kewibawaan. Sikap menjaga integritas pastilah pilihan tunggal karena betapa sulitnya untuk menjadi penegak hukum yang dipercaya. UU Kepolisian jelas menuliskan bahwa polisi merupakan alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Betapa mulia dan pentingnya tupoksi kepolisian dalam pembangunan hukum nasional (legal development). Hanya saja, sinar cemerlang polisi dapat meredup dan kelam dalam gulita yang menyorongkan kegelapan apabila pendar cahaya hukum terhalang “jubah” Djoko Tjandra.
Memiliki aparatur hukum berkarakter akan mengubah labirin hukum yang riuh dalam cemooh, menjadi mozaik indah keadilan serta memulihkan kepercayaan. Kapolri niscaya terpanggil membenahi lembaganya guna menjaga harkatnya. Pembenahan sebaiknya bermula dari insan penjaga hukum yang beraktivitas di ruang-ruang pelayanan. Dalam situasi demikian, memilih anggota polisi yang berintegritas adalah pekerjaan besar sejurus dengan perbaikan sistem kariernya. Kapolri harus selalu waspada, tanggap dan terjaga serta tidak salah bertindak, tidak gagap menghadapi situasi apapa pun. Mengikuti peribahasa Madura “Mella’e pettengnga bingong e’leggana” berarti Kapolri teguh berpegang prinsip tak goyah oleh ajakan menyimpang sewaktu menatap di kegelapan dan bingung di keluasan. Sebuah ungkapan yang menggambarkan tetap memperhatikan nalar menghadapi luasnya bentang “jubah” Djoko Tjandra.
Kapolri, tegaklah dalam menyikapi setiap “kuasa jubah” Djoko Tjandra, selebar dan sebesar apa pun kekuatan mereka. Sehubungan dengan ini, sebagai penutup, saya teringat pula Hukum ke-42 dari buku The 48 Laws of Power karya Robert Greene sebagai pengingat: “Serang si gembala, maka domba-dombanya pasti berhamburan. Masalah sering bisa dilacak dan disebabkan oleh satu individu tunggal yang kuat. Jangan menunggu masalah yang mereka timbulkan berlipat ganda dan jangan coba bernegosiasi, karena mereka tak bisa diperbaiki”. Kami menunggu langkah lanjut Kapolri agar institusinya terbebas dari jebakan jubah kuasa siapapun.
*Pengajar Filsafat Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga