Gus Yasien (kanan) dan Cak Anam (Drs Choirul Anam) dalam sebuah pertemuan. (FT/MKY)

SURABAYA | duta.co – Warganet, khususnya nahdliyin, sedang ramai dengan berita Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir yang mengingatkan agar negara tidak bermahzab. Jika itu terjadi akan membahayakan bagi kemajemukan yang selama ini menjadi mozaik Bangsa Indonesia.

“Indonesia ini dibangun di atas fondasi persatuan bagi semua. Di negara dengan kemajemukan yang tinggi perbedaan pandangan yang sifatnya cabang bukan pokok itu menjadi suatu yang biasa, saling tasamuh,” begitu Haedar saat Tabligh Akbar dan Peresmian Masjid Islamic Center Plupuh, Kabupaten Sragen, Ahad (30/10).

Berita ini tayang di berbagai media. Sementara yang viral terkutip dari muhammadiyah.or.id. Tidak sedikit warga NU yang ikut komentar. “Saya kira apa yang disampaikan Pak Haedar juga terjadi di NU pada zaman Orba. Tetapi, Alhamdulillah, tokoh-tokoh NU tidak merasa kecil hati, lalu komentar ada mazhab kecil yang kuasai negara,” demikian komentar balik salah seorang warganet terpantau duta.co, Selasa (8/11/22).

Pernyataan Haedar memang lumayan keras. Menurut Guru Besar Sosiologi ini, tidak boleh saling menyesatkan, merasa kelompoknya yang paling benar dan yang lain salah. “Apalagi ada yang merasa mazhabnya besar dan kuat lalu ingin menguasai seluruh umat, ingin menguasai negara. Itu tidak betul, baik tidak betul dari segi ukhuwah, juga tidak betul dari segi ketatanegaraan,” ujarnya.

Haedar menegaskan bahwa tidak boleh ada satu golongan atau satu mazhab yang ingin menguasai Indonesia untuk kepentingan mazhabnya untuk kepentingan mereka sendiri.

Indonesia Milik Bersama

Haedar juga menambahkan, bahwa, Indonesia ini milik bersama. Ini merupakan makna dari persatuan Indonesia dan makna dari gotong royong. “Jangan sering bicara gotong royong, persatuan, atau ukhuwah, lalu bicara tentang Pancasila, kebhinekaan tapi sifatnya, wataknya, prakteknya eksklusif. Eksklusif itu tadi merasa paling benar, paling kuat, paling besar lalu menyalahkan yang lain dan merasa Indonesia itu sebagai miliknya,” tegasnya.

Dia menegaskan bahwa yang mengaku warga Muhammadiyah tidak boleh ada yang memiliki sifat seperti itu. Dirinya mendorong supaya warga Muhammadiyah untuk selalu berada pada garis haluan organisasi dan kepribadian Muhammadiyah, yang bisa bergaul dengan siapapun, beramal salih yang banyak tidak merasa paling benar dan tidak ingin menguasai orang lain, maka dia yakin keberkahan dan dibukakan pintu surga.

Ketika aktif Bermuhammadiyah, imbuhnya, harus kita niatkan murni karena Allah SWT sebagai usaha memperbaiki ibadah dan menambah ibadah melalui gerakan amal nyata untuk kemanfaatan bagi seluas-luasnya masyarakat.

Perlu Komunikasi

H Tjetjep Mohammad Yasien, aktivis NU yang dekat dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, memang merasakan adanya kesenjangan komunikasi akhir-akhir ini. “Ini berbeda ketika Ketum PBNU almaghfurlah KH Hasyim Muzadi. Kuncinya komunikasi, sehingga tidak saling curiga. Sekarang, ada yang merasa ‘sumuk’ dengan model kepemimpinan NU. Tetapi, semua itu bisa cair kalau kita mau berkomunikasi,” terangnya.

Menurut Gus Yasien, pimpinan NU dan Muhammadiyah harus sering duduk bersama. Jangan hanya bicara fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan, ketika di depan. Tetapi merasa tertinggal ketika berada di belakang. “Sebagai orang bawah, kami ingin ada forum komunikasi rutin antara tokoh NU-Muhammadiyah,” tegas alumni PP Tebuireng ini.

Masih menurut Gus Yasien, NU-Muhammadiyah itu soko guru Indonesia. “Kalau kedua ormas Islam terbesar ini, tidak kompak, maka, pihak ketiga lebih mudah untuk merusak persatuan Indonesia. Tidak ada cara lain kecuali kita bangun ukhuwah islamiyah. Ketika pimpinan memberikan contoh ukhuwah dengan baik, maka, umat akan rukun, guyub. Dan inilah NU-Muhammadiyah zaman Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry