Menjelang peringatan 71 tahun Proklamasi RI, 3 Staf Presiden menggelar pertemuan dengan para ‘pejuang’ korban 1965 di Kantor Staf Presiden Lantai 2 Gedung Bina Graha. Saat itu diserahkan salinan keputusan Mahkamah Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal 1965 (IPT’65). (FT/IST)

JAKARTA | duta.co – Upaya untuk mengungkit tragedi 1965 atau G30S/PKI, tak pernah henti. Simpatasi komunis di Indonesia, tampaknya, tak pernah rela, sebelum pemerintah minta maaf dan komunis dinyatakan sebagai korban.

Kini, kekuatan asing bergerak kembali. Setelah bangsa Indonesia berusaha untuk menjadikan peristiwa pemberontakan G30S/PKI sebagai pelajaran berharga, sejarah kelam yang tak boleh terulang, kini berbagai media asing mulai beraksi. Media-media tersebut menyebut tragedi itu sebagai mandi darah dan menuduh ada campur tangan pemerintah.

Sebuah laporan yang dituliskan Hannah Beech di media Amerika Serikat (AS), New York Times menyebut pejabat AS telah menyaksikan kelompok anti-komunis mandi darah lebih dari 500 juta orang Indonesia. Namun, mereka tidak menunjukkan penolakan publik, bahkan cenderung memuji kekuatan bersenjata di balik pembantaian tersebut.

Salah satu berkas dari Departemen Luar Negeri (Deplu) AS menunjukkan para diplomat mendokumentasikan dengan cermat pembersihan yang terjadi pada 1965-1966. Dalam dokumen yang dirilis Selasa itu, seorang konselor urusan politik Amerika menjelaskan bagaimana pejabat Indonesia mengatasi limpahan penghuni penjara akibat banyaknya orang yang dicurigai sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Banyak provinsi berhasil mengatasi masalah ini dan mengeksekusi tahanan PKI, atau membunuh mereka sebelum ditangkap,” kata informasi kabel yang dikirim 1965 dari Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada Deplu AS.

Informasi lain menggambarkan para ulama dari organisasi Islam berpengaruh di Indonesia menasihati para anggota mengenai ateisme. Anggota PKI diklasifikasikan sebagai kafir terendah. Penumpahan darah mereka dianggap sebanding dengan membunuh seekor ayam.

“AS mengamati apa yang terjadi dengan sangat ketat dan jika bukan karena dukungannya, Anda dapat membantah bahwa tentara tidak akan pernah merasa percaya diri untuk mengambil alih kekuasaan,” ujar seorang profesor dalam bidang sejarah di Universitas British Columbia yang menulis tentang peristiwa 1965, John Roosa.

Hannah menyebutkan, pembantaian itu terjadi saat Asia Tenggara dikuasai ideologi sosialis. Ketika AS telah menjejakkan kaki di Vietnam, Indonesia dipimpin oleh Sukarno. Negara ini menjadi rumah bagi partai komunis terbesar dunia, PKI, dan dipandang AS sebagai domino yang bisa jatuh.

Organisasi Islam (yang disebut sebagai kelompok garis keras) menyalahan PKI atas upaya kudeta yang gagal pada 1965. Kelompok China dituduh sebagai dalang. Sementara, AS tidak menentang narasi tersebut. AS memilih diam melihat korban berjatuhan di tangan tentara Indonesia, paramiliter, dan kelompok relijius.

Pembunuhan itu dianggap melanggar hukum dan menyasar etnis Tionghoa, kaum pelajar, serikat pekerja, dan siapa yang yang berlawanan. Akhirnya, Sukarno yang dikenal anti-Amerika dan simpati terhadap kaum sosialis tumbang digantikan Suharto. Ia memegang kekuasaan selama 32 tahun dan melembagakan kebijakan untuk menghidupkan kembali ekonomi melalui bantuan luar negeri dan investasi, yang disebut Orde Baru.

Di bawah kepemimpinan Suharto, bantuan Amerika mulai mengalir. Dalam beberapa informasi kabel digambarkan, diplomat Amerika bersukacita dalam transisi politik yang mendadak itu. Bahkan, mereka mencatat peningkatan jumlah korban dan menyebut perubahan politik itu sebagai tombol fantastis.

Selanjutnya, Hannah menyebut Presiden Joko Widodo telah berbicara tentang kebutuhan untuk menginvestigasi kembali kekerasan HAM tersebut. Disinggung pula tentang peningkatan sensibilitas kaum anti-komunis di Indonesia.

Media Australia, ABC Online, menggambarkan narasi ketika tentara Indonesia memperingatkan seorang pejabat Belanda di Sumatra bahwa seorang kokinya akan ditangkap karena dicurigai sebagai komunis. Pejabat tersebut meminta agar penangkapan dilakukan setelah jam makan siang. Permintaan itu disetujui dan koki ditangkap selepas bekerja.

Laporan yang ditulis oleh koresponden Asia Tenggara, Adam Harvey ini menyebut isu tragedi 1965 masih bergaung di Jakarta hingga saat ini. Histeria anti-komunis dan anti-China muncul secara berkala, terutama saat terjadi demonstrasi terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

ABC juga merujuk pada dokumen diplomatik AS yang berisi sekitar 30 ribu halaman. Laporan itu menyebutkan, eksekusi terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI terus meluas. Mayat-mayat ditemukan dengan mudah di sungai-sungai, stasiun kereta api tak berawak, dan berbagai tempat lain. Dokumen itu menyebut pemuda Muslim tak segan membunuh siapa saja yang berani mengkritik Islam. Para tentara disebut menyerahkan 15 tahanan kepada warga setempat setiap malam untuk dieksekusi.

ABC mengkritik massa yang mencoba menutup diskusi kritis tentang masalah ini. Film Jagal dan Senyap karya Joshua Oppenheimer dilarang di Indonesia. Sebagai gantinya, pihak militer justru menyelenggarakan pemutaran kembali film Pengkhianatan G30S/PKI. Media ini juga menyebut beberapa organisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan NU yang masih sangat kuat hingga saat ini.

Media Inggris BBC News juga membahas laporan diplomatik AS yang menyebut tragedi 1965 sebagai pembantaian dan pembunuhan indiskriminasi. Rebecca Henschke menyebut peristiwa itu sebagai pembantaian terburuk sepanjang abad 20. Ia menyayangkan sikap AS yang diam melihat hal tersebut.

Mengutip pendiri dan direktur proyek Dokumentasi Indonesia dan Timor Timur Brad Simpson, Rebecca menyebut dokumen tersebut menunjukkan detail bagaimana para pejabat AS sadar akan banyaknya orang yang terbunuh. Dengan laporan tersebut, masyarakat Indonesia dapat membaca apa yang terjadi pada negaranya di masa lampau dan memelajari peristiwa sejarah penting ini sebagai bagian perjuangan keadilan dan akuntabilitas.

Media lain yang membahas tentang isu ini antara lain RT News dari Rusia, The Hindu dari India, The Australian, Asian Corresspondent, NikkeiAsian Review, Macau Daily Times, The Japan Times, The Straits Times, dan sebagainya.

Inilah kenyataan, bahwa, simpatisan PKI masih terus bergerilya. Meski sudah ada upaya kuat untuk melakukan rekonsiliasi alami, buktinya, sampai sekarang masih ada kekuatan komunis yang ingin mengerahkan bala bantuan dari pihak luar. Semoga masalah PKI ini bisa terselesaikan dengan tanpa mengasah dendam. (rep,net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry