Mujad Didien Afandi, S.S., M.Pd – Dosen FKIP

SEBAGAI bahasa internasional, Bahasa Inggris masuk dalam kurikulum sekolah karena dianggap sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan banyak ranah lainnya. Pikiran, tenaga, dan dana telah banyak diinvestasikan untuk mendukung program pengajaran bahasa Inggris di Indonesia.

Pemerintah telah melakukan inovasi pengajaran bahasa Inggris demi hasil yang lebih baik. Namun, hasilnya masih kurang memuaskan. Jarang terdengar para siswa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Ketika ada siswa berkomunikasi dalam bahasa Inggris, biasanya siswa tersebut menempuh lebih banyak pelajaran bahasa Inggris di luar sekolah. Mereka biasanya belajar bahasa Inggris secara ekstra di LBB Bahasa Inggris atau mengundang tutor di rumah.

Terdapat beberapa masalah dalam pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia. Pertama, jumlah siswa di setiap kelas bisa dikatakan terlalu banyak. Pengajaran bahasa Inggris sebaiknya dilakukan di kelas-kelas kecil sehingga setiap siswa mempunyai kesempatan untuk berlatih menggunakan bahasa tersebut dalam komunikasi nyata.

Info Lebih Lanjut Buka Website Resmi Unusa

Dengan kata lain, mempelajari suatu bahasa membutuhkan banyak latihan. Tanpa latihan yang memadai, siswa tidak dapat menggunakan bahasa tersebut dengan lancar. Kenyataannya adalah siswa tidak mempunyai cukup kesempatan untuk praktik bahasa Inggris dengan baik. Permasalahan lainnya adalah terbatasnya waktu yang tersedia untuk pelajaran bahasa Inggris.

Secara umum, waktu belajar bahasa Inggris tidak cukup bagi siswa untuk mempelajari dan menggunakan bahasa tersebut. Kebanyakan siswa belajar bahasa Inggris hanya untuk memenuhi persyaratan kelulusan sekolah. Mereka menganggap hal itu tidak terlalu penting bagi masa depan mereka.

Mempelajari bahasa asing, misalnya Bahasa Inggris adalah proses yang kompleks. Para peneliti atau pakar menawarkan pendekatan yang berbeda untuk mencapai tujuan ini. Beberapa teori mengenai pengajaran dan pembelajaran bahasa muncul dari aliran behaviorisme dan konstruktivisme. Kedua pendekatan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda.

Pendekatan pertama yaitu behaviorisme menekankan perilaku siswa yang dapat diamati untuk mendorong pembelajaran otomatis, termasuk pengajaran, praktik, dan isyarat penguatan. Peran guru adalah menentukan jenis isyarat apa yang dapat menimbulkan respons yang diinginkan, menciptakan situasi yang kondusif bagi pencapaian tujuan dengan memberikan rangsangan dalam kondisi lingkungan yang mendukung.

Menurut para penganut paham behavioris, perolehan bahasa kedua adalah perolehan perilaku baru. Lingkungan merupakan faktor terpenting dalam pembelajaran, terlibat dalam pengembangan respon terhadap rangsangan lingkungan. Jika responsnya diperkuat secara positif, maka hal itu akan menjadi suatu kebiasaan.

Jika suatu jawaban diberi sanksi, maka akan dihapus. Jadi siswa belajar bahasa dengan membentuk kebiasaan. Siswa belajar bahasa dengan meniru suara dan struktur yang mereka dengar di lingkungan sekitar. Pembelajaran bahasa dianggap serupa dengan bentuk pembelajaran lainnya. Pembelajaran melibatkan pengembangan respons terhadap rangsangan lingkungan.

Untuk mempelajari suatu bahasa asing atau Bahasa Inggris, siswa harus meniru pola yang benar berkali-kali (Patten dan William, 2008). Richards dkk. (1986) menegaskan bahwa behaviorisme mempunyai pengaruh penting terhadap psikologi, pendidikan, dan pengajaran bahasa. Perilaku dijelaskan dalam bentuk stimulus dan respon.

Proses belajar mengajar suatu bahasa dapat dijelaskan dengan istilah pengkondisian, suatu proses membentuk dan membentuk tingkah laku. Perilaku yang diinginkan dirangsang dan perilaku yang tidak diinginkan dihilangkan.

Beberapa implikasi behaviorisme terhadap pengajaran dan pembelajaran bahasa adalah bahwa bahasa hanya dipelajari melalui penggunaan dan praktik dan tidak dapat diajarkan tanpa konteks atau situasi. Menciptakan respon bahasa yang benar memerlukan usaha dan kehati-hatian. */bersambung

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry